Ukuran Bahagia

560 77 3
                                    

Hamparan sawah melintang, tak lupa terik mega meradang, disertai hembusan angin panas mengganas, semakin melengkapi ketidaknyamanan di waktu siang menjelang.

Tidak.

Itu nuansa desa.

Aku ingin membahas antonim dari itu.

Orang-orang mulai lalu lalang dengan terpaksa. Melangkah pasti walau hati inginnya melarikan diri. Aktivitas sepanjang hidup masih sama. Siklus tak berujung kecuali ajal datang berkunjung. Musnah sudah.

Berbagai pasang mata telah berkali-kali bertemu. Entah sekadar lewat tak menetap, atau secuil benih desir terdalam timbul lalu berharap kembali bersua. Berpapasan, memerhatikan, melintas tak sengaja lalu putus kontak pandangan karena waktu mengejar. Berlari. Itu kerap dialami.

Melirik dari balik jendela angkutan umum, curi-curi pandang. Jika tak terdeteksi, kembali mengulang. Tidak. Bukan ke mana-mana. Hanya memandang lurus pada jajaran orang, bawaan orang, mimik wajah orang, bahan cerita orang, dan, akhirnya mengghibah di dalam hati dengan objek adalah orang. Orang-yang-bodo-amat-siapapun-dia.

Pengamen mulai bermunculan. Membuat konsentrasi menggosip tak terfokuskan. Terpaksa diam tenggelam meski otak masih terus berputar mengulang objek ghibahan. Lalai mata lalu mengarah pada kaki si Pengganggu. Tak bersendal, kulit menghitam, baju kumal. Muka, jangan ditanya. Belepotan.

Namun, senyumnya terulas. Sepotong kata tak nyambung dengan nada masih dipertahankan oleh lidahnya. Gitar dengan ujung kantung permen kosong, yang dapat dipastikan sebagai tempat menyimpan puing-puing recehan, meski belum terisi, tak menguras lengkungan tipis di sudut bibir. Keduanya, bukan hanya sebelah.

Orang ini sepertinya lebih menarik untuk dijadikan bahan bergunjing.

Kepada pengamen jalanan, penyanyi dadakan yang hadir di setiap mobil sejuta penumpang diam menanti lampu menghijau, aku penasaran, kapan kalian memikirkan suasana hari ini?

Entah mau memanggilku apa, mata-mata pun boleh, tapi terus terang aku berujar, tiap tatapku mengarah gerombolan kalian di ujung sana, berunding, yang barangkali adalah membahas lagu apa yang booming di kalangan para penyanyi tiba-tiba perempatan jalan, kalian, masih sanggup menampakkan gigi. Iya, tertawa.

Sebentar.

Lagu kalian telah habis. Mulailah si alat berputar meminta imbalan dari jasa pita suara yang tak seberapa itu. Aku diam. Tak berkutik apalagi merogoh kocek sepeserpun di balik tas. Memang tak berniat. Memang tak bisa menyumbang uang dari sebuah nyanyian, ditambah drum dan gitar, yang semakin melengkapi ketidakbolehan.

Diperlakukan begitu pun, kalian masih bersikap biasa. Keahlian tingkat tinggi kurasa. Entah anugerah dari mana. Kalau aku, mungkin sudah naik darah. Kini, kalian pergi, membawa kantung berbunyi, berjalan mengitarii, mencari pendengar lagi.

Pandanganku kembali meliar. Pada penjual sayur, buah, dan bahan makanan. Mulut penuh buih dari celotehan persuasif selalu menjadi lelucon tersendiri setiap kudengar. Kecepatan suara itu melebihi lajunya penjualan per hari. Belum lagi skill hitung-menghitung. Kalkulator tak penting. Mereka lebih jago akuntansi kalau dipikir-pikir.

Meski orang-orang hanya melirik setiap dagangan, atau sekadar lewat mencari jalan terdekat sampai kos-kosan, belum lagi yang sibuk memilih, menawar, mencoba lalu melenggang bak tak menghasilkan dosa, mereka, masih bisa tertawa. Pada tetangga sebelah. Si kawan sudah dibeli jualannya dan dia belum pun, iri dan dengki tak ada. Sanggup bertukar bahan cerita tanpa tersaingi terasa.

Siapa peduli dengan dagangan mudah layu, busuk, basi? Siapa peduli dengan balik modal tak berkeuntungan? Siapa peduli dengan bahan yang tak habis lalu dibawa pulang dengan keribetan dan keberatan? Siapa peduli. Yang penting, jualan.

Angkutan umum semakin melaju dan tentu aku kehilangan wajah-wajah mereka yang penuh peluh. Kini, bola mataku mengarah pada penjaja pakaian di kiri dua meter lagi sebelum daerah sepi.

Yang satu ini tak kalah heboh. Demi totalitas tak berbatas, tubuh sendiri pun dijadikan model tak terencana. Pedagang laki-laki menjual kerudung dan ia memakainya. Pedagang perempuan menjual pakaian bola dan ia menggunakannya. Belum seberapa, mengenakan pakaian yang harusnya privasi pun, kadang sanggup mereka lekatkan.

Jangan lupakan iklan. Sepanjang orang berlalu-lalang tetap tak bosan membacakan narasi tanpa kertas lembaran, di hadapan banyak orang, yang mereka pun tak tahu siapa. Menggombal asal-asalan, yang sebenarnya mereka tak tahu entah apa yang tadi terucapkan. Yang penting orang senang, terpesona dengan perkataan, lalu masuk ke toko mengubek-ubek barang dagangan. Tak beli? Urusan belakangan.

Dan kembali lagi, sama. Raut wajah yang tak terdeteksi emosi meninggi. Datar, netral, dan mengagumkan. Bercanda dengan rekan, sembari tak lupa tetap berisik setiap orang melintas. Terkadang naik turun suara jika mulai merasa kelelahan, tapi setelahnya, usai karena diakhiri dengan tawa orang-orang yang mendengar. Meredakan amarah mereka se-simple itu.

Heran aku, entahlah.

Bagaimana cara mereka bahagia? Ukurannya teramat luas pasti, kurasa. Pembandingnya, juga kujamin tak ternilai harganya. Rabb memang tak salah memilih. Mereka adalah sekian banyak orang yang dipercaya untuk menjalani hidup rumit. Rabb tentu sudah memperhitungkan itu sebelum penciptaan. Dan, mereka patut bangga.

Ah iya, supir angkutan umum ini pun hebat. Tak peduli kerap dicerca lantaran kecepatan berkendara melebihi ketentuan, yang penting cepat. Penghasilan yang tak kunjung berkembang pesat, tak membuatnya merasa tersendat. Yang penting kapanpun waktunya beroperasi, tetap kuat.

Heran aku, entahlah.

Aku berpikir, semua ini mungkin karena mereka tak menganggapnya sebagai beban. Tapi, aku pun coba untuk begitu, tak mampu. Barangkali hanya diperuntukkan oleh orang-orang yang sudah mudah menerima takdir. Kalau yang satu itu, bisa jadi.

Mereka yang terpaksa hidup karena tak ada pilihan, justru terlihat tenang menghadapi kenyataan. Sekalipun di belakang tidak, bagiku mereka berhasil membuat orang lain nyaman. Lain cerita jika yang hidupnya sudah berkecukupan. Bermasalah sedikit saja, wajah badmood jelas tak terbantahkan. Perbedaan yang sangat signifikan.

Aku tidak tahu pasti apa standar bahagia bagi mereka yang hidup kekurangan. Kulihat mereka tak terlalu mendekat pada sang Pencipta. Kuperhatikan mereka tak menjalankan kewajiban dengan teramat. Aku hanya bisa memandang, mereka berusaha menerima. Jelasnya, itu lebih beradab pada Rabb.

Orang-orang mengasumsikan—termasuk aku dahulu— bahwa mereka terpaksa menjalani hidup, dan kerap stress menghadapi dunia yang semakin meminta perhatian lebih. Namun sejauh aku menatap, mereka terlihat biasa saja. Ukuran bahagia mereka lebih sederhana; makan hari ini tiga kali sehari. Sungguh penerimaan tingkat tinggi, yang pasti Rabb sukai.

Kembali teringat pada desa di awal terbayang. Aku akhirnya tahu, hidup untuk berusaha cukup dan tenang, lebih bermakna dibanding banyak uang tapi pusing tak berkesudahan. Memikirkan trend, pandangan orang, penampilan, ketenangan semu yang hakikatnya agar dipandang. Itu melelahkan, begitu kata si anak desa. Anak desa murni, belum terkontaminasi oleh milenial cacat mental.

Lokasi telah di hadapan. Saatnya turun dan membayar. Berjalan santai, kemudian memandang sekitar. Tak disangka, halaman depan hancur lebur dijadikan tempat hiburan anak tetangga. Dasar memang!

Nah, kan.

Baru saja dibahas.

Terima takdir, bab puncak.

Biar bahagianya tidak terukur dan berbatas.

Teori sudah, kini langsung diberi ujian praktek oleh Rabb.

Sanggup?

---

The End.

---

Ukuran BahagiaWhere stories live. Discover now