Amice

27 1 2
                                    


Seorang pemuda terlihat membolak-balikkan posisi tidurnya. Seolah tak menemukan posisi yang diinginkannya dia membanting kaki kesal di tempat tidur sambil mengeram. Dia berdecak sebal, jam menunjukkan hampir pukul tiga pagi dan ia belum juga masuk dalam dunia mimpi. Bagaimana jika ia terlambat? Tertidur lagi di kantor? mendengkur saat rapat? Oh, ayolah walau itu sering terjadi tapi siapa yang bisa memecatnya kalau dia sendiri adalah bos.

"Sedikit hiburan mungkin bisa membuatku tidur." Dengan malas pemuda itu beranjak dari singgahsananya. Dia duduk di depan layar komputer LCD yang menampilkan proses booting. Setelah selesai, jemari lentiknya bergerak lincah di atas keyboard. Senyum terkembang di bibirnya, pencahayaan yang hanya bersumber dari layar komputer membuat itu terkesan seperti seringaian nakal.

Rentina beriris biru kehijauan itu tak henti-hentinya melihat maupun membaca setiap deretan kata dan gambar yang tertera di layar komputer. Baginya surga duniawi itu adalah ini, internet; tempat dimana ia bisa mencari teman, pacar, berkomunikasi, sumber segala sumber wawasan, bisnis atau sebagai referensi pemuasan nafsu birahinya sebagai seorang pria.

Tiba-tiba muncul pop-up e-mail masuk. Merasa kesal karena baru saja ia menikmati "hiburan" singkatnya lalu terintrupsi oleh sebuah e-mail. Ia menarik napas Panjang dan berusaha berfikir positif. Mungkin saja e-mail itu penting, pikirnya.

"Tapi siapa juga yang mengirim e-mail sepagi ini?" gumamnya heran kemudian.

Walau begitu tetap ia buka. Matanya membulat sempurna ketika membaca pesan tersebut.

[Hello, Tuan! Aku telah menyita semua aset-aset berhargamu. Jika ingin semua itu kembali sangat mudah. Cukup datang kemari, sendiri. Sangat mudah menjual aset-asetmu itu dengan harga miring. Kutunggu kau di Paris. See you!]

"Ahahaha.. dasar hacker kurang kerjaan. Hei, kau tidak mungkin bisa mencuri aset-asetku, menembus kemanannya saja belum tentu. Jangan macam-macam. Paris? Hah, yang benar saja." Pemuda itu terlihat tak peduli dengan e-mail tersebut. Hanya seorang anak kecil yang mencari sensasi menurutnya. Karena hal tersebut mood-nya langsung berubah, dia langsung merebahkan diri di atas kasur dan lupa mematikan komputernya bahkan tidak menutup e-mail tadi. Tanpa disadari olehnya jelas-jelas di sana tidak ada nama pengirim dan hanya sebuah subjek yang bertuliskan huruf latin, AMICE[1].

Di pagi hari yang cerah, burung-burung berkicau memperdengarkan suara indahnya, matahari mulai nampak menyinari wilayah Brimingham, Washington DC, Amerika Serikat. Para penduduk memulai aktifitas rutin mereka. Kota yang baru saja tertidur kini sudah ramai kembali. Jika kita menelitik lebih dalam sudut kota ini, di sebuah apartemen pribadi, masih terlihat dengan jelas pemandangan yang sangat tak asing. Di kamar yang berukuran 75 90 m2 dengan nuansa terang; dinding bercat biru langit dan berbagai corak yang terbilang unik, terdapat seorang pemuda bersurai coklat terang masih terbaring dengan damai.

Dering ponsel mengintrupsinya dari alam mimpi, dengan keadaan setengah sadar dan sedikit menggerutu, pemuda berusia 24 tahun itu mengangkat telepon masuk tanpa membaca nama sang penelepon. Baru saja ia menekan tombol dial up dan mendekatkan ponsel ke telinga kanannya, suara di seberang sana membuat niatnya menyapa terhentikan.

"Hello... "

"Hei, boss! Where are you? What time is it, huh?" sahut orang di sana sedikit tak sabar.

Pemuda yang dipanggil 'bos' itu melirik sekilas jam tua di atas nakas sebelah kanannya lalu menjawabnya dengan malas, "7.20 a.m."

"Em, boss? Are you sleepy? You're voice like ...."

AMICEWhere stories live. Discover now