13 | Rencana masa depan

Mulai dari awal
                                    

Belum sampai Alya mengatakan alasannya untuk menolak, Ibunya sudah mempertanyakan rasa sayangnya pada dirinya dan papanya. Alya sayang pada orang tuanya, siapa anak yang tidak sayang pada orang tuanya? Alya rasa tidak ada. Dan Ibunya meminta untuk didengar, tapi apa selama ini orang tuanya mendengarkan Alya?

Tidak pernah.

Permintaan Alya sederhana, bahkan sangat sederhana, ia ingin orang tuanya selalu ada disaat ia sedang membutuhkan mereka, tak apa jika keadaan mereka sudah tidak bersama, asalkan setiap Alya butuh sandaran atau butuh tempat cerita orang tuanya selalu ada untuknya. Tapi, pada kenyataannya Alya ditinggal sendiri, orang tuanya masih lengkap, tapi setiap hari ia merasa seperti yatim piatu, orang tuanya datang sebulan sekali hanya untuk memberi uang. ia tidak butuh uang itu, sungguh ia rela jika harus hidup melarat asal mendapat kasih sayang orang tuanya.

Setelah semua hak yang seharusnya ia dapatkan dirampas begitu saja oleh orang tuanya, apakah kini hak untuk menentukan masa depannya sendiri pun juga harus hilang?

Ia tak mampu untuk sekedar mengutarakan keinginan untuk menikmati masa remajanya. Ia masih ingin bermain bersama teman-temannya, bukan justru bergelut dengan pekerjaan dapur dan rumah. Ia ingin merasakan jantungnya berdegup kencang saat detik-detik pengumuman kelulusan, ia ingin melihat wajah tegang teman-temannya saat Ujian Nasional nanti. Apakah ia tidak bisa merasakan semua itu?

Disaat hatinya yang berkecamuk ibunya kembali membuka suara, "Alya anak baik, kan, sayang? Ya sudah, Ibu pamit, Assalamualaikum."

Ibunya pergi begitu saja, tanpa memberi pelukan pada Alya, boro-boro pelukan, menepuk singkat bahu Alya pun tidak.

"Waalaikumsalam," balas Alya tepat ketika pintu ditutup oleh Tiffany.

Kini yang tersisa hanya Alya dengan air matanya yang mulai turun membasahi pipi dan sofa yang menjadi saksi bisu akan bungkamnya Alya di depan Tiffany.

Ya, ini sosok asli Alya. Alya yang ceria, polos, lugu, dan tidak tahu malu semua itu hanya topeng untuk menutupi semua gundah hati dan kenyataan hidup yang begitu pahit untuknya.

Kesadaran Alya kembali saat seorang waitress membawakan kopi susu dan americano yang sebelumnya telah ia pesan.

Tenang, Alya tidak akan meminum dua-duanya, ia sedang menunggu seseorang.

layar ponselnya nyala bersamaan dengan sebuah notifikasi masuk. Segera ia mengecek dari siapa notifikasi tersebut, ternyata Shifa.

Shifa gelo
gimana?

Alya
belum dateng

Shifa gelo
owh
gila, gue ikutan deg-degan

Alya
yeu, si bocah
santai gapapa kok

Shifa gelo
yaudah
jan lupa kabarin

Alya
Siap bu boss

Setelah membalas pesan Shifa, pikiran Alya kembali melalang buana entah kemana.

Alya sudah memberitahu Shifa dan Lexa perihal perjodohan gila itu di hari yang sama saat Tiffany memberitahunya. Itu sebabnya kenapa saat Alya tidak ikut main karena harus bertemu Adimas, Shifa lah orang yang terlihat paling cemas.  Tapi pertemuan itu dibatalkan sepihak oleh Adimas dengan alasan yang tidak Alya ketahui, lalu hari ini Adimas mengajaknya bertemu sebagai pengganti hari itu.

Alya yakin pembahasan kali ini tidak akan jauh-jauh dari perjodohan dirinya.

Ngomong-ngomong soal Shifa dan Lexa, mereka adalah orang yang sangat berharga untuk Alya. Mereka yang selalu siap meminjamkan bahunya untuk sandaran Alya, mereka yang selalu mendengar keluh kesah dari mulut Alya, dan mereka juga selalu menghapus air mata yang turun dari mata Alya.

Tidak berlebihan jika Alya menganggap Shifa dan Lexa adalah anugerah terindah dari Tuhan untuk hidupnya yang penuh kepahitan. Entah bagaimana nasib Alya jika Shifa dan Lexa tidak pernah hadir dalam hidupnya.

Setelah hampir satu jam menunggu, akhirnya papanya datang. Alya melemparkan senyum pada Adimas yang duduk di hadapannya. Canggung, tentu saja. Mereka tidak pernah sekalipun berbincang sebagai ayah dan anak semenjak Adimas dan Tiffany resmi bercerai.

"Apa kabar, Pa?" tanya Alya berusaha menyingkirkan kecanggungan diantara mereka.

"Baik, kamu?"

Alya tersenyum sangat manis, di balik senyum manisnya tersirat sebuah arti bahwa ia sedang tidak baik-baik saja. "Baik, Alya selalu baik-baik saja."

Adimas mengangguk.

"Ibumu sudah bicara, kan?" tepat seperti dugaan Alya, papanya pasti mengajaknya bertemu untuk membicara perjodohan gila ini.

"Iya."

"Menurutmu bagaimana?"

Hening sejenak.

Alya menatap dalam pada kedua manik Adimas mencoba mencari keterpaksaan disana, tapi ia tidak menemukannya, artinya papanya melakukan perjodohan ini tidak atas dasar terpaksa.

"Memangnya Alya bisa menolak?"

"Bagus, kalau begitu. Secepatnya Papa akan mempertemukan kalian," ucap Adimas yang membuat Alya ragu kalau papanya yang begitu ia sayangi juga menyayanginya.

"Pa, Alya ijin ke Samarinda untuk mewakili sekolah di koferensi."

"Iya, hati-hati," ucap Adimas singkat.

Alya menunduk menahan segala sesak yang tanpa ijin hinggap di dadanya.

"Papa pergi dulu," pamit Adimas. ia pergi tanpa menunggu jawaban Alya.

Senyum Alya terbit di balik rambut yang menutupi wajahnya, senyuman untuk memberi kekuatan pada dirinya sendiri, senyuman dengan sejuta sirat kesedihan.

Tanpa permisi air matanya turun begitu saja. Sekali lagi Alya berubah menjadi sosok aslinya, Alya yang begitu menyedihkan.

Shifa gelo
gimana?
Al
Al
p
p
Alya
Alyaa
Ranalya
Ranalya Syakilla
jawab dong beruk!!

Alya
:)

tbc.

paham kan sama alurnya?
saya gak pakai flashback on flashback off
jadi alurnya bermain pada narasi.

h-10 lebaran gais👐

Seano Magara✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang