1.Si Tukang Senyum

Mulai dari awal
                                    

"Himalaya ternyata panas sekali. Kupikir aku akan menikmati salju disini. " keluhku pada pria itu. Keringat sudah bercucuran di sekujur tubuhnya. Tapi dia begitu kuat seperti tak merasakan lelah sedikitpun.
"Baru pertama kali ya kesini? "

Aku mengangguk.

"Banyak gambar yang kulihat di internet tentang Himalaya, tempatnya seperti menyenangkan. Jika tau begini, lebih baik aku tidak usah liburan saja."

"Himalaya menyenangkan. Apalagi saat hujan salju. "

"Menyenangkan apanya? Gersang begini."

Belum lama aku menutup mulut, aku merasakan sebuah titikan yang dingin menyentuh tanganku.

"Ehh, apa ini? " aku menghentikan langkah, mengamati butiran yang baru saja menyentuh. Lagi-lagi pria itu hanya tersenyum.

"Apa ini salju? " tanyaku girang.

"Ya... Sebentar lagi kita akan tiba di tempat menyenangkan itu. Dan panas akan terkalahkan oleh dingin. Kamu sudah siap kedinginan?"

Aku tersenyum dan mengangguk. Salju yang menghampiriku mulai banyak seperti titikan gerimis tipis. Kedatangan ku pun seperti tengah disambut dengan lembut oleh salju pegunungan Himalaya.

****

Jalan sudah lumayan datar. Sepertinya kami tidak akan melewati tanjakan lagi. Mula-mula aku memandang saksama pria itu. Dia masih tegar dan kuat sedari tadi mengangkat tas yang beratnya luar biasa bagiku.

"Siapa namamu?"

Pertanyaan itu baru terlontar setelah kami menempuh perjalanan panjang dan cukup melelahkan. Mendadak ia menoleh kearahku yang berjalan disebelahnya. Bibirnya menyunging senyum lagi, dan kali ini manis sekali.

"Kenapa baru bertanya sekarang? Apa sejak tadi tidak penasaran siapa namaku?"

"Sudah terlambat ya aku bertanya?"

"Tentu saja. Kita bahkan sudah berjam-jam bersama. Harus nya kau bertanya sejak awal."

Akhirnya aku diam, aneh rasanya jika akan mempermasalahkan hal konyol seperti itu. Jika memang sudah terlambat, berarti aku tidak akan tau siapa namanya. Kalau begitu, dia juga tidak boleh tau namaku. Rasanya lucu jika nama akan menjadi sebuah rahasia.

"Huuhhh... "

Mendadak tubuhku menggigil. Salju sudah mulai turun dengan deras. Memasuki area dingin ini, panas seperti benar-benar dikalahkan dan lenyap begitu saja.

"Kamu kedinginan? " tanyanya

"Iya."

"Kalau begitu pakai saja jaketku"

Pria itu menurunkan tas yang digendongnya dan hendak melepas jaket. Aku kaget melihat dia begitu serius ingin memberikan jaket itu padaku.

"Ah,,, tidak usah dilepas, aku tidak masalah jika kedinginan karena salju. Aku menyukainya." ucapku dengan tersenyum menggigil.

"Yakin?"

Aku mengangguk pelan, kemudian berjalan sedikit mendahuluinya dan mencari tempat yang cocok untuk mendirikan tenda.
Mendadak, pria itu diam-diam memasangkan jaket itu padaku dari belakang.

"Ehh,, tidak usah. " aku berusaha mengelak.

"Pakai saja. Aku yakin orang sepertimu tidak akan kuat menahan dingin terlalu lama. " Ia menjawab dengan senyumannya yang manis. Tidak enak jika menolaknya lagi. Akhirnya kupakai jaket itu dan kembali melanjutkan perjalanan.

****

Samar-samar kudengar gemuruh suara orang-orang asing yang tadi menumpang truk bersamaku. Dilihat dari kejauhan, tampaknya mereka semua sudah memasang tenda dan beristirahat didalam nya. Kami mulai mendekati tenda itu dan akan menegakkan nya didekat sana sebelum menjelang malam. Saat tiba dilokasi, udara terasa lebih dingin dari sebelumnya. Salju turun begitu lebat seperti akan membekukan tubuhku. Namun, jaket yang pria itu berikan sedikit bisa membantuku bertahan.

Dari puluhan tenda, aku memilih mendirikannya ditempat paling ujung dan sedikit lebih tinggi dari yang lainnya, sehingga tak ada penghalang apapun untuk bisa menikmati pemandangan dengan melihat puluhan tenda yang tertimpa butiran salju.

"Kamu duduk saja. Biar aku yang pasang tendanya. " kata pria itu sembari mengambil tenda yang ada di dalam tas besarku itu. Ia tau kalau aku menggigil kedinginan dan hampir tidak kuat menahannya.

"Kita pasang sama-sama"
Ia mengangguk. Tak butuh waktu yang lama, tenda itu berdiri dan siap untuk ditempati.

"Bagaimana denganmu?" tanyaku kemudian. Ia menoleh seolah tak paham dengan pertanyaan ku.

"Bagaimana kamu tidur? Tendamu tidak ada kan?" aku menanyakan hal itu setelah menyadari bahwa pria ini hanya membawa tas kecil yang mungkin isinya tak lebih dari satu helai baju.

"Itu tendaku. Diujung sebelah sana"
Jawabnya santai sambil menunjuk tenda paling besar diantara puluhan tenda lainnya. Aku tercengang.

"Tendanya sudah berdiri? Sejak kapan? "

"Temanku sudah sampai sejak tadi. Dia termasuk orang yang menumpangi truk kuno itu. Mungkin kamu melihatnya didalam truk tadi? "

Aku mencoba mengingat-ingat kembali. Tapi rasanya aku tidak bertemu dengan pria berwajah Indonesia didalam truk itu. Semuanya terlihat asing.

"Aku sudah kedinginan, jadi harus segera ke tenda." ucap pria itu dan hendak lari.

"Tunggu, aku kembalikan jaketmu."

"Nanti saja."

Tanpa basa-basi, ia langsung berlari menembus udara dingin dan titikan salju menuju tenda.
Jaket ini begitu harum sejak pertama ia memakaikannya padaku. Baunya benar-benar membuat hidungku ingin terus menghirup aromanya.
Namun aku masih bingung harus memanggil pria itu dengan sebutan apa. Ia begitu menumbuhkan rasa penasaran dalam diriku. Tapi bagaimana dengannya? Apa tidak terbesit sedikitpun dalam pikirannya untuk menanyakan namaku. Hati kecilku tersenyum menertawai diri sendiri yang masih terus dihantui rasa penasaran. Aku bahkan lupa mengucapkan terima kasih atas bantuan yang sudah ia berikan sejak awal.

Pandanganku mengarah keseluruh tempat yang terjangkau oleh pandangan mata. Hari sudah semakin gelap dan puluhan tenda di sekelilingku mulai bercahaya. Lampu-lampu yang mulai hidup dalam tenda itu membuat suasana malam menjadi bersinar. Terakhir, aku memandang kearah tenda paling besar milik pria itu. Sinar lampunya lebih terang dari yang lain. Aku baru sadar, hanya aku yang masih berada di luar, sendirian. Tenda ku pun masih gelap tanpa cahaya. Sementara yang lain sudah bersantai didalam tenda mereka masing-masing. Harusnya aku tidak sendirian datang kesini. Aku tidak menganggap ini adalah kemah. Yang kulakukan hanya jalan-jalan menikmati salju digunung es yang sejak dulu ingin kujumpai.
Tidak ada api unggun yang bisa menghangatkan badan diudara yang dingin seperti ini. Tapi disekelilingku memang tidak ada kayu bakar. Semua penuh dengan salju.

Love MistakesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang