"Duduk sini, aku ingin bicara sebentar sebelum aku pulang ke kampung halamanku." Ucapan Al yang seketika membungkam bibir Adiva, rasa sesak menghantam dadanya dengan keras saat mendengar ucapan Al namun sekuat tenaga Adiva tetap memahat senyuman di kedua sudut bibirnya
"Kamu pulang kapan Al?" tanyanya menahan kuat-kuat agar buliran kristal yang sudah menggantung di pelupuk matanya tidak bergulir.
"Tiket keretaku lusa jam 10 pagi, kuharap kamu mengantarku ke stasiun," jawabnya dengan tatapan sendu ke dalam bola mata Adiva. Adiva tahu Al sedang mencari sesuatu dalam netranya. Tes .. buliran kristal itu mulai jatuh satu persatu tanpa bisa ia cegah.
"Please, Jangan bersedih Adiva, kesedihanmu membuatku berat untuk pergi," balas Aldebaran, ia berpindah posisi dari di samping Adiva menjadi di hadapan gadis itu.
"Aku mencintaimu Adiva, sangat mencintaimu," aku Aldebaran yang seketika membuat jantung Adiva seolah berhenti berdetak. Bibir Adiva seketika terkunci rapat tak tahu harus berkata apa, ia pandangi netra elang Al, ia tersenyum dalam lukanya, Adiva tahu itu. Netra elang itu tak pernah berbohong padanya, hanya saja selama ini Al tidak pernah menyatakan perasaannya begitu pun dengan Adiva, gadis itu memilih menyimpan sendiri di dasar hati terdalamnya.
Kini pertahanan Adiva jebol, air matanya tumpah ruah membasahi pipinya. Bibirnya bergetar menahan isak.
"Please Adiva jangan menangis, aku janji akan sering mengunjungimu saat liburan semester nanti, aku hanya ingin kau menjaga hatimu hanya untukku selama kita jauh," ucapnya yang semakin membuat air mata Adiva menderas. Ia hanya mampu menganggukkan kepala lalu menyodorkan jari kelingkingnya pada Al, lalu Al menautkan jari kelingking mereka. Tatapan Al seolah menyelam ke palung hati Adiva yang mencoba menolak perpisahan itu.
"Cup.. Cup.. Cup.. Adiva. Sudah jangan menangis lagi, hanya ragaku yang akan pergi tidak untuk hatiku. Ini.. Sudah kusiapkan spesial untukmu," seringai jahil Aldebaran kembali menguasai wajah tampannya. Adiva tersenyum lalu mengusap air mata di pipinya dengan tisu yang Al ke luarkan dari dalam saku seragam putih yang dikenakannya sambil memukul lengan remaja laki-laki itu dengan kesal. Seketika hati Adiva menghangat dengan perlakuan manis Al padanya.
Adiva tak pernah menyangka bahwa perpisahan begitu menyakitkan. Baginya Aldebaran adalah bintang paling bersinar yang selalu mampu menerbitkan senyuman di bibirnya.
***
"Jaga ini untukku Adiva!" Aldebaran menyerahkan bunga mawar berwarna ungu yang tampak segar beserta potnya. Dengan tersenyum geli Adiva menerima bunga itu lalu meletakkan bersama dengan bunga-bunga kesayangan ibunya. Safira menahan tawa geli kala menyaksikan perlakuan manis Al pada sahabatnya Adiva. Safira sudah tahu sejak lama jika kedua sahabatnya itu saling jatuh cinta. Sayangnya mereka saling mengakui perasaan disaat perpisahan telah berada di ujung mata. Dan itu adalah pilihan mutlak bagi mereka berdua.
"Kamu mengejekku ya Al? Kamu kan tahu aku nggak pernah merawat bunga trus warna ungu pula ini kan simbol warna janda," protes Adiva yang langsung disambut tawa keras oleh Aldebaran.
"Dasar Roman picisan!" ejek Safira lalu berjalan memasuki rumah Adiva, Safira sengaja memberikan ruang dan waktu yang tersisa untuk kedua sahabatnya tersebut.
"Itu mitos, kamu tahu alasanku kenapa aku ngasih mawar berwarna ungu untukmu?" Balasnya lalu mengusap kepala Adiva yang terhalang jilbab. Rona merah seketika menyapu pipi Adiva bersamaan dengan gelengan kepalanya. Karena gugup Adiva segera mengajak Aldebaran masuk ke dalam rumah untuk berpamitan kepada Ayah, ibu, dan Farhan yang kebetulan sedang berada di rumah.
"Kamu nggak ingin tahu alasanku?" Desaunya sambil berjalan mengikuti langkah Adiva.
"Apa emang?" Tantang Adiva padanya dengan kedua alis terangkat.
"Ya emang nggak ada alasan, karena cinta tidak membutuhkan alasan kan?" jawab Al dengan tawa berderai.
"Sejak kapan kamu pinter gombal Al?" cibir Adiva dengan pipinya yang merona.
"Sejak aku jatuh cinta padamu," balasnya yang seketika membuat wajah Adiva terasa memanas.
Keluarga Adiva menyambut kedatangan Aldebaran dengan hangat, mereka semua tahu Aldebaran dan Safira bersahabat dengan Adiva, Al sendiri beberapa kali bermain ke rumah Adiva. Bahkan Al mampu mengakrabi Farhan, abang Adiva, mereka sering bermain play station atau sekadar bermain catur bersama saat Al datang ke rumah Adiva.
Terdengar ayah Adiva banyak memberinya wejangan agar Al menuntut ilmu setinggi mungkin, dan tentu saja mampu membahagiakan kedua orang tuanya. Dan Al sudah melakukan satu hal saat awal memasuki kelas 12. Al, Adiva, dan Safira telah sepakat melanjutkan pendidikan di Kota Malang. Namun kedua orang tua Al menyuruhnya untuk melanjutkan pendidikan di Jakarta, kembali ke kampung halamannya. Dan Al menyanggupinya.
***
"Dan sekarang aku duduk di hadapan seorang penghulu bersanding dengan seorang laki-laki yang usianya lebih tua 15 tahun dari usiaku sedang menjabat tangan penghulu, mengucapkan ikrar suci pernikahan di hadapan ayah dan para saksi," rintih hati Adiva menahan sesak di hatinya.
Sah..
Sah..
Sah..Suara itu menggema seantero masjid, Adiva hanya membeku saat moment sakral itu berlangsung, sesuai intruksi, Adiva meraih tangan laki-laki yang kini sah menjadi suaminya dengan menunduk lalu mencium punggung tangan itu dengan penuh tawadhu'.
Sekelebat kenangan bersama Al semakin menyesakkan dada Adiva, ia mengingkari janjinya sendiri. Pandangannya mengabut saat laki-laki di hadapannya menyematkan cincin di jari manisnya dengan tersenyum lembut. Adiva sudah tak menghitung berapa kali juru foto itu mengabadikan moment sakral itu, ia hanya patuh dengan arahan perias pengantin saat juru foto itu memotret mereka hingga acara selesai lalu perias pengantin tersebut membawanya masuk ke dalam rumah yang memang berada di depan masjid tempat ijab qobul berlangsung.
"Aku kosong, tak berasa, tak bermakna Al," dengung jiwa Adiva yang meronta dalam kemanguan.
"Adiva, sabar ya? Aku yakin kamu kuat menghadapi ini semua," bisik Safira dengan terisak sambil memeluk tubuh sahabatnya tersebut dengan erat, ia adalah saksi perjalanan cinta Adiva bersama Al sekaligus saksi berakhirnya cinta mereka.
Tanpa Adiva sadari ia sudah berganti dengan gaun pengantin model kebaya dengan ekor panjang menjuntai berwarna biru senada dengan laki-laki yang menyematkan cincin di jari manisnya, mereka duduk berdampingan di atas pelaminan. Ia melirik laki-laki di sampingnya sekilas yang tampak tenang seperti tanpa beban.
"Senyuman kamu cantik," bisiknya pada Adiva, sesaat Adiva terpaku saat melihat senyum hangat itu. Senyum yang dulu tidak pernah Adiva dapati saat ia menerangkan pelajaran paling Adiva benci semasa sekolah di MTs Darul Hikmah. Ia Ustadz Azzam pelajaran Nahwu-Shorof yang khas dengan wajah kaku dan dingin saat mengajar itu kini telah resmi menjadi suaminya. Seketika Adiva memalingkan wajah ke arah lain karena rasa gugup yang mendera. Dan itu untuk pertama kalinya ia berani menatap wajah suaminya setelah penetapan hari pernikahan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiga Hati Satu Cinta (End)
RomanceRate 18+ Blurb Perpisahan dengan seorang sahabat terbaik beserta dengan cinta pertamanya tentulah hal yang tak mudah bagi Adiva Dania Khanza, gadis berusia 18 tahun itu. la terisak tatkala harus melambaikan tangannya melepas Aldebaran Malik pergi me...
1. Pernikahan
Mulai dari awal