Preparation

Mulai dari awal
                                    

Saad sendiri langsung menginformasikan kepada keluarganya perihal tawaran Ben. Dan kepala keluarga alias Bapak Umar menyetujui permintaan anaknya dan maklum jika Saad menetap di sana tanpa pulang ke Bandung. Toh mereka masih bisa video call seperti biasa.

"Seriusan, gue pas denger Ben bilang: Khuliqol insaanu dho'ifa. Gue langsung kayak kena tabok," kata Saad yang sesaat menghentikan kegiatannya. "Emang, di saat begini, kita kudu banget sadar bahwa kita tuh lemah. Kita tuh butuh Allah, Mas."

Saad tertegun, sedangkan Hamas berusaha memahami apa yang karibnya ini katakan.

"Wa khuliqol insaanu dho'ifa, dan manusia diciptakan dalam kondisi lemah, ada di surat An Nisa ayat 28," ucap Saad dengan anggukan pelan. "Iya banget ya, Mas. Gimana ngga lemah? Ngadepin makhluk Allah yang ukurannya 100 nano meter aja, jutaan manusia sampe kewalahan. Ribuan manusia tumbang, lainnya ngisolasi diri. Sekolah-sekolah tutup, masjid ngga bisa jamaah, jalanan sepi..."

Hamas cuma diam. Teringat Papi-nya tidak lagi berangkat ke kantor setiap pagi dan di rumah seharian bersama Mami. Sampai-sampai Hamas berpikir, ternyata hanya wabah yang bisa mencegah Papi-nya yang seorang workaholic untuk tidak berada di kantor. Kalau bisa Hamas bilang, kondisi seperti ini sungguh lebih baik. Kondisi yang diharapkan bisa dia dapatkan ketika dia masih remaja dulu. Tapi kinerja perusahaan juga jadi terganggu. Hamas sempat dengar Papi berkata tentang pemutusan hubungan kerja dengan beberapa pegawai, atau sekadar dirumahkan hingga kondisi stabil, dan lain sebagainya. Sebab Papi memegang tanggung jawab bukan hanya kepada 50 atau 100 orang karyawan, tapi bisa mencapai lebih banyak dari itu jumlahnya.

"Ini virus kecil banget. Tapi bisa bikin orang-orang tumbang, tenaga kesehatan kewalahan, tapi masih juga banyak orang yang ngambil kesempatan buat ngeruk keuntungan," kata Saad lagi.

"Iya tuh, harga masker ngga kira-kira," ucap Hamas dengan gelengan kepala heran. "Udah gitu, banyak yang nipu lagi!"

"Subhanallaah," respons Saad. "Emang deh, sebagai pihak yang lemah, kita butuh banget kepada Dzat yang Maha Kuat. Harusnya kita bergantung ke Allah, kayak yang Allah bilang: Yaa ayyuhannasu antumul fuqara u ilallaah, wallaahu huwal ghaniyyul hamiid. Wahai manusia, kalian itu fakir alias butuh Allah dan Allah, Dia-lah yang Maha Kaya, ngga butuh apa-apa. Dan Dia-lah yang Maha Terpuji..."

Hamas udah paham banget nih kalau Saad udah bahas-bahas bahwa kita itu butuh kepada Allah. Selalu, Saad selalu bilang untuk minta ke Allah.

"Kita tuh butuh banget ke Allah, yaa Ukhayya," Saad menghela napas, melepas sesak yang menderanya. "KIta butuh taufik dan hidayah dari Allah, biar segala-galanya tuh dilindungin sama Allah."

Pelan, Saad menoleh dan mendapati Hamas manggut-manggut.

"Gue always doain antum biar dijaga Allah, jadi kalau main ke sini selalu dalam keadaan aman dan gue juga terjaga," kata Saad. "Gue seneng sih, Mas, antum masih sering main ke sini. Awal-awal gue paranoid bahwa gue akan jadi silent carrier kalau dengan begitu gampangnya interaksi dengan orang lain, terus bayangin gue sendirian di kontrakan. Tapi alhamdulillaah ada antum. Gue juga nolak ke Bandung, ya itu tadi: khawatir jadi silent carrier buat orang rumah. Waktu awal-awal diimbau buat ngejalanin pola hidup bersih sehat, gue cuci tangan terus, ke mana-mana pakai masker. Tapi yang utamanya ya itu tadi... Gue itu fakir dan butuh banget ke Allah. Jadi ya selain PHBS, gue sekuat tenaga doa, biar Allah lindungin gue terus. Selemah itu emang ya, Mas..."

"Iya," Hamas menopang punggungnya dengan kedua tangan di belakang. "Gue juga seneng banget elu masih bolehin gue bolak-balik ke sini," jelasnya, mendadak serius. Dalam hati menahan keinginan untuk menjelaskan bahwa dia juga berdoa dengan serius agar dirinya beserta keluarganya juga Saad dihindarkan dari virus ini. Kalau dipikir-pikir, Hamas merasa ini adalah doa paling serius yang pernah dia punya.

Cengiran Saad tercetak. "Allah sebaik itu emang," ucapnya. "Kita butuh hidayah, Allah selalu kasih."

Saad kembali merapikan kopernya, lalu bergerak untuk menutup kopernya yang tidak terlalu penuh terisi, lalu tertawa.

"Lah, ngapa tawa lu?"

"Kangen, Mas," jawab Saad.

"Kangen gue yaaa? Ciyeeeh..."

"Kangen shalat di depan Ka'bah," jawab Saad, yang kini teringat tahun lalu mereka melaksanakan Ramadan di Haramain bersama yang lain selama sebulan penuh setelah sebelumnya berwisata rohani ke Masjidil Aqsha. Lalu kini, mereka menyambut Ramadan dengan self isolation di kawasan Puncak.

"Sama," timpal Hamas yang jelas-jelas menyenangi masa-masa dirinya shalat dengan Saad berada di sampingnya. "Abis pandemi, umrah lagi kuy?"

Mendengar itu, Saad tertawa lagi. "Dibayarin lagi? Jangan lah, gue nabung dulu aja," ucapnya. "Dibayarin mulu, jadi enak guenya."

Hamas terbahak. "Sabi ae lau!" ucapnya. "Eh, sama gue mah santuy ae, boi. Kayak sama siapa aja dah. Wey, ini tuh rezeki lau lewat Papi. Udah, sans! Lagian enakan ngiter sama elu kan daripada sama pembimbingnya."

Tapi Saad memang sedemikian tidak enak hati karena Hamas selalu jadi sponsor utama setiap kali mereka ke Tanah Suci. Dua kali umrah, dan satu kali haji furoda pada tahun lalu.

"Wa khuliqol insaanu dho'ifa, Mas..."

"Kamsud?"

"Ya gue mah lemah kalau diajak ke Haramain. Mau-mau aja, hahaha! Gue nabung juga lah, semoga abis pandemi, tabungannya Allah cukupin."

"Ya dah, aamiin!" kata Hamas. "Tuh, gue aminin yak! Pokoknya gasin!"

"Thayyib, yaa Ukhayya!"

"CAKEP!"

Tapi berteman karena Allah itu memang begitu. Sekatnya sudah tiada. Tembok tinggi telah runtuh. Yang ada, senantiasa ingin bersama.

[]

SHALIH SQUAD Special ConditionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang