9. Bersama Liam

Mulai dari awal
                                    

Sialan memang!

Ingin cewek itu menjambak surai legam milik Liam. Tapi sedang banyak orang di sana. Bisa-bisa Milan dituduh melakukan kekerasan. Jadi, dengan gondok dia melepas rangkulan Liam sembari berjanji tidak akan pergi.

Liam tersenyum puas lalu menepuk pipi Milan dua kali.

Menarik dan mengembuskan napas berat, Milan menatap nelangsa timezone yang kini mereka singgahi. Cewek itu kembali merasa deja vu.

Permainan yang Liam pilih sama persis dengan yang mereka mainkan dulu. Mulai dari memasukkan bola basket ke dalam ring, balapan motor, dan masih banyak lagi. Seakan memang sengaja melakukan itu. Anehnya, Milan justru ikut terhanyut. Bepindah dari satu permainan ke permainan lainnya. Milan bahkan tidak sadar jika dalam beberapa kesempatan, mereka tertawa bersama.

Mencoba peruntungan dengan mesin pencapit, Liam pun mencoba berkonsentrsi. Alis terbalnya terpaut. Sampai pada percobaan keempat, boneka monyet berhasil cowok itu dapatkan. Yang kemudian diberikan pada Milan.

Puas bermain, kedua remaja yang masih mengenakan seragam sekolah lengkap itu mampir ke gerai gelato yang cukup populer di sana.

"Lo masih suka matcha ternyata," ujar Liam memperhatikan Milan yang menyantap gelato rasa matcha-nya dengan nikmat.

Milan hanya bergumam pendek tanpa mengalihkan perhatian. "Lo sengaja 'kan?"

Kening Liam sontak mengernyit. Menelan gelatonya, cowok itu bertanya maksud pertanyaan Milan barusan.

Namun sudah satu menit lewat, tapi Milan tak lagi menyahut. Dia merasa malu jika mengatakan Liam sengaja mengajaknya mendatangi tempat-tempat yang mereka kunjungi saat pacaran dulu.

Bisa-bisa Liam menertawainya.

"Apa pun yang ada di pikiran lo, anggap aja benar." Liam melempar senyuman yang nyaris membuat Milan jantungan. "Dan makasih karena lo udah mau nemenin gue mulai dari beli kado Lana, sampai makan gelato di sini."

Tak ada sahutan dari Milan selain anggukan kecil. Sampai gelato Milan sudah habis. Cewek itu terdiam memikirkan banyak hal.

"Ini." Milan bergumam kemudian sembari mengangusrkan boneka monyet pada Liam yang menatapnya dengan satu alis terangkat.

"Kenapa lo kasih ke gue?"

"Buat kado Lana."

Ekspresi Liam berubah tidak suka. Dengan sepasang manik jelaga menatap Milan lurus. "Tapi itu gue kasih buat lo. Kenapa malah dioper ke Lana sih."

"Karena udah jadi punya gue, makanya gue bebas kasih itu ke siapa aja."

Entah kenapa, tapi yang jelas kalimat Milan barusan membuat Liam tertohok. Cowok itu sudah membuka mulut hendak mengatakan sesutu. Tapi Milan lebih dulu menyela, "Kita udah gak ada hubungan apa pun. Bahkan rasa benci gue ke elo, masih ada. Jadi, gue gak bisa nerima pemberian lo. Itu bisa jadi beban buat gue."

Karena Milan tidak ingin lagi menyimpan barang-barang pemberian Liam. Yang dulu saja sudah dia kemas ke dalam kotak yang entah di mana sekarang keberadaannya.

Dia hanya ingin melindungi hatinya.

"Oke ...."

○○○○

Malamnya, Milan berguling di atas kasur suci kebanggaannya. Yang empuk tiada dua. Mirip-mirip di awan. Makanya Milan rela rebahan seharian kalau tidak ada kerjaan.

Biasanya Milan rebahan dengan tenang sambil memainkan ponsel melihat-lihat akun instagram milik beberapa fotografer favoritnya. Dan berandai, suatu saat bisa seperti mereka. Keliling dunia, menangkap momen-momen menakjubkan yang alam suguhkan. Jangan lupakan berburu Aurora Borealis di Swedia.

My Enemy My Ex! [COMPLETED]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang