"Apakah aku harus memastikannya?" Bright terduduk dari posisi berbaringnya. Terdiam sejenak kemudian meraih ponsel pintarnya yang tergeletak tak jauh darinya. Ia men-dial sosok yang saat ini sangat ingin ia temui. Ia tidak ingin menundanya lagi.

Sia-sia, mungkin dia sudah tahu bahwa orang itu tidak akan mengangkat panggilan darinya. Karena terakhir kali mereka bertemu, orang itu menyuruh Bright untuk tidak menemuninya lagi. Mungkin berkunjung ke rumah orang itu adalah pilihan yang tepat dan pilihan satu-satunya saat ini.

Bright menggunakan baju yang sedikit rapi kali ini, karena ia akan bertamu ke rumah yang dulu sempat ia datangi. Rumah yang cukup mewah, dengan salah satu anak pemilik rumah itu yang juga sama mewahnya dengan rumah itu. Kaos berkerah dan celana selutut yang bisa disebut outfit untuk mengajak -main- keluar.

Bright masih ingat betul jalan menuju rumah Win, walau dia hanya beberapa kali diajak ke rumah mewah itu. Dan itu sudah sangatlah lama, namun ia tidak pernah melupakannya.

Bright memarkirkan mobil Porche 718 cayman miliknya yang berwarna merah di halaman rumah super mewah itu. Sepertinya penjaga pintu di rumah itu masih mengenal wajah Bright, walaupun sudah bertahun-tahun Bright tidak mengunjungi rumah itu.

"Ingin bertemu Tuan Win? Mari silahkan masuk," penjaga itu mempersilahkan Bright untuk mengikutinya masuk ke dalam rumah itu.

"Siapa?! Oh! Bright! Apa kabar mu?" seorang wanita yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu terkejut melihat kehadiran Bright.

"Baik Mae, apakah Win ada?" Bright masih ingat betul keitka pertama kali berkunjung ke rumah ini dan bertemu Ibu Win. Dan Ibu Win yang selalu menyuruh Bright untuk memanggil dengan sebutan 'Mae'.

"Duduklah, akan Mae panggil Win. Tunggu sebentar oke?" ujar Ibu Win kemudian berjalan meninggalkan Bright.

Suara ketukan pintu dari luar kamar Win sedikit mengusik ketenangan laki-laki yang sekarang masih betah berbaring. Ketukan kali ini lebih berisik dan lebih memaksa Win untuk bangun dari posisi malasnya dan berjalan ke arah pintu untuk sekedar membuka dan menjawab seruan Ibunya.

"Mae, Win sudah bilang..."

"Ada Bright," begitulah yang diucapkan Ibunya.

Win yang mendengar ucapan Ibunya sedetik kemudian membulatkan matanya, ia bahkan tidak berekspektasi akan hal ini. Apakah keputusannya memutuskan panggilan Bright tadi merupakan karma untuknya? Terlalu cepat karma itu datang padanya.

"Suruh saja dia pergi Mae,"

"Mae tidak tahu ada masalah apa antara kalian berdua, tapi bukankah sejak dulu Mae selalu menasihatimu untuk menyelesaikan masalah bukan dengan cara melarikan diri? Temui dia, jika tidak nyaman berbincang dan menyelesaikan disini, ajak keluar. Mae yakin Win bisa menyelesaikan dengan menghadapi bukan dengan melarikan diri,"

Setelah sepuluh menit bergulat antara menghadapi atau melarikan diri -lagi- akhirnya Win memutuskan untuk menemui Bright. Ia juga sudah cukup lelah untuk terus melarikan diri, jika ini merupakan hal yang menyakitkan maka harapannya adalah ini terakhir kali ia merasakan sakit yang sama. Selanjutnya ia ingin bahagia.

"Win," ucapan lirih itu keluar dari bibir Bright kala melihat Win yang berjalan kearahnya. Win memutuskan untuk menemuinya.

"Ada apa Phi? Bukankah aku sudah munyuruhmu untuk tidak menemuiku?"

"Apakah kita akan menyelesaikan disini?" Bright sama sekali tidak menanggapi pertanyaan Win barusan.

Win memilih untuk mengikuti Bright masuk ke dalam mobil berwarna merah mencolok milik Bright. Win pikir Bright akan membawanya ke suatu tempat yang sepi, agar jika terjadi baku hantam diantara mereka maka tidak akan ada saksi mata. Namun dugaan Win salah, Bright malah membawanya ke rumah milik Ibu Bright.

"Untuk apa kita kesini Phi?" Win panik bukan main ketika Bright malah turun dari mobil dan meninggalkan Win. Akhirnya Win juga ikut turun dari mobil itu, tak lama Bright keluar dari rumah itu sambil menggandeng anak kecil yang sangat tidak asing bagi Win, siapa lagi kalau bukan anak semata wayangnya. Tine.

"Sekarang Tine duduk bersama Paman Win ya, kita akan pergi ke kebun binatang. Oke?" ujar Bright sambil membawa Tine kearah Win yang hanya diam saja sejak tadi.

"Oke Papa," Tine menjawab pertanyaan Bright lalu melepas genggamannya dan berjalan menuju Win kemudiann menggenggam tangan Win yang bebas. "Ayo Paman," Tine sedikit menarik tangan Win.

Didalam mobil Win tidak banyak bicara, ia hanya mendengar beberapa ocehan antara Ayah dan anak. Posisi Tine yang menghadap padanya membuat Win bisa melihat berbagai macam ekspresi anak kecil itu, kurang lebih mirip dengan Sarawat yang sama bawelnya dengan Tine. Bedanya Tine sedikit lebih tenang dibandingkan Sarawat yang menurutnya amat sangat ribut bila sedang bercerita.

"Kenapa Paman diam saja?" tanya Tine tiba-tiba pada Win. Matanya membola lucu kala melontarkan pertanyaan simple itu.

"O-oh. Tidak, Paman hanya senang mendengar Tine bercerita."

"Kenapa paman bisa cantik? Salawat bilang kalau Paman Win itu cantik seperti Mommy-nya Salawat dan setelah Tine lihat sendili telnyata Paman cantik, belalti Salawat tidak bohong,"

"Kenapa begitu?" tanya Win.

"Tine hanya penasalan, apa benal ucapan Salawat. Hehe, Paman cantik padahal laki-laki," ujar Tine sangat polos sambil menyentuh pipi Win. "Aku ingin cantik sepelti Paman,"

"Bolehkah Tine tidak panggil Paman?" Tine tampak takut-takut bertanya, wajahnya menunduk dalam dan tanganya terpaut satu sama lain, takut jikalau Win marah.

"Eoh, memangnya Tine ingin panggil Paman apa?"

"Mommy,"

Baik Win maupun Bright sama terkejutnya dengan apa yang barusan dilontarkan Tine. Untuk sesaat Win dan Bright saling menatap satu sama lain.

"Tapi.. tapi.. tidak apa-apa kalau Paman Win tidak mau," suara Tine tiba-tiba terdengar serak seolah menahan tangis dan takut secara bersamaan.

"Ohh~ tidak apa-apa Tine. Paman tidak keberatan bila Tine ingin memanggil Paman dengan sebutan apapun, termasuk Mommy. Paman tidak akan marah oke, mulai sekarang Tine boleh panggil Paman dengan sebutan apapun oke?" Win mencoba mengangkat wajah Tine yang sejak tadi tertunduk, sudah ada air mata disudut matanya yang siap jatuh kapanpun.

Ia tidak ingin membuat anak kecil menangis, cukup Sarawat saja yang pernah ia buat menangis karena janjinya. Permintaan kecil Tine bukanlah masalah besar bukan? Memanggil Win dengan sebutan Mommy.

"Baiklah kalau begitu, kita akan bermain bersama Mommy ke kebun binatang!" Bright berseru cukup keras layak seorang Papa yang menghabiskan akhir pekannya bersama keluarga kecilnya.

"AYOO!!" Tine berteriak keras sambil memeluk leher Win erat.

Kenapa Win merasa senang ketika Tine dan Bright menyebutnya Mommy? Tunggu Win belum menyelesaikan masalahnya dengan Bright. Ingat itu.

*

*

TBC


See you next chapter, don't forget to voment.

Veni, Vidi, Vici [BrightWin] ✓Where stories live. Discover now