“Bukannya Daddy udah bilang? Jauhin anak miskin itu!” bentak ayahmu begitu kalian memasuki rumah.

Kamu menggigit bibir bawahmu, berusaha menahan air mata yang siap tumpah. Sementara ayahmu melanjutkan ocehannya tidak peduli seberapa sakitnya perasaanmu.

Daddy itu udah punya calon buat kamu! Kenapa sih kamu ngeyel? Apa susahnya nurut sama Daddy? Apa sih yang bisa diandelin dari anak miskin itu? Emangnya kamu betah ke mana-mana pake motor butut itu terus?!”

Kamu menatap mata ayahmu dengan tatapan marah. Tanganmu terkepal erat. Dengan segenap keberanian yang kamu punya, kamu membalas ucapannya. “Aku betah, kok. Meskipun itu motor murah, motor butut, aku nggak peduli. Mau Dad ngatain Eric anak miskin, anak nggak punya, anak pembantu kek, aku tetep sayang sama Eric dan nggak bakal ada niatan sedikitpun buat ninggalin dia!”

“Ngelawan terus! Kamu semenjak kenal si miskin itu jadi ngelawan terus! Kamu nggak sadar, dia bawa pengaruh buruk buat kamu!”

“Aku ngelawan bukan karena Eric nyuruh aku buat ngelawan sam Dad! Eric itu nggak pernah nyuruh aku ngelawan sama orang tua. Tapi, sikap Dad yang kayak gini bikin aku disrespect sama Dad. Itu kenapa aku ngelawan Dad!

“Masuk ke kamar!” Dia menunjuk ke tangga, memerintahmu untuk masuk ke kamarmu yang berada di lantai dua.

“Kita belom selesai bicara, Dad,” katamu tegas.

“MASUK KE KAMAR!” bentak laki-laki itu membuatmu terbungkam. Kamu menatap laki-laki yang berstatus sebagai orang tua tunggalmu dengan tatapan terluka sebelum akhirnya menuju kamarmu dengan langkah menghentak.

Begitu sampai di kamarmu, kamu membanting pintu dan menguncinya. Saat itu juga air matamu tumpah. Kamu mengusap air matamu kasar dan berusaha menetralkan perasaan yang berkecamuk di hatimu.

Kamu memejamkan matamu dan bersender pada pintu. Dadamu terasa sangat sesak. Sesekali kamu menghantamkan kepalamu ke pintu demi melampiaskan rasa sesak.

Itulah kenapa, kamu tidak pernah mau Eric mengantarmu sampai ke rumah.

🌹🌹🌹

Kamu mengetuk pintu apartemen Eric dan menekan belnya berkali-kali, tetapi tak seorangpun kunjung membukakan pintu. Itu membuatmu khawatir setengah mati, mengingat kejadian terakhir kali di mana Eric dipukuli oleh ayahmu.

Kamu merogoh tasmu dan mengambil gawaimu untuk menelepon Eric. Namun, panggilan malah dialihkan dan membuatmu semakin panik. Kamu kembali menekan belnya berkali-kali tak peduli kalau belnya akan rusak.

Kamu membalikkan badanmu dan menyenderkan badanmu pada pintu sambil menarik napas panjang.

Suara langkah kaki menarik perhatianmu. Alangkah terkejutnya kamu melihat Eric dengan kantung belanjaan sedang berjalan menuju ke arahmu dengan ekspresi sama terkejutnya denganmu.

Lantas kamu berlari ke arahnya dan memeluknya erat. Eric pun membalas pelukanmu meski tangannya terdapat kantung belanjaan.

“Kamu bikin aku panik, tau gak?” bisikmu lalu melepaskan pelukan.

“Lho, kenapa emangnya?” tanya Eric kebingungan. Melihat ekspresi Eric yang tidak menunjukkan rasa bersalahnya sedikitpun dan justru kebingungan, kamu mendecak.

“Aku pencet bel, ketuk pintu nggak ada yang yang bukain. Kamunya ditelpon juga nggak diangkat. Gimana orang gak khawatir?” omelmu sambil melotot.

Eric terkekeh pelan. “'Kan akunya lagi belanja. Nih liat.” Eric mengangkat tinggi-tinggi kantung belanjaannya.

“Terus, kenapa hp kamu nggak bisa dihubungin?”

One Shots [𝑻𝑯𝑬 𝑩𝑶𝒀𝒁]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang