Hingga tiba di mana Paman Zuma mengajakku ke sebuah pantai di wilayah selatan. Kami mengendarai mobil sedan putih, melewati jalanan bergelombang dan penuh dengan tanjakan. Tujuan kami ke sana untuk mengobati salah satu teman Paman Zuma. Sebenarnya sudah tiga hari ia mencoba menghubungi paman. Karena wilayah dan teknologi yang kurang memadahi membuatnya kesulitan untuk menghubungi paman.
"Ah itu dia. Kita hampir sampai." Paman Zuma berseru gembira setelah melewati jalanan yang mengerihkan ini.
Aku melihat sekitar tempat ini. Jalanan berbatuan, rumah-rumah yang terbuat dari kayu dan daun kelapa kering berjejer rapi. Mayoritas penduduk di sini memelihara babi dan ayam, sebagaian untuk di jual dan sebagaian untuk di makan.
Mobil sedan putih berhenti di depan rumah kayu paling ujung dalam pesisir pantai. Kami melangkah turun dan membawa tas serta koper peralatan Paman Zuma. Kali ini tampilanku tidak seformal seperti biasanya. Aku mengenakan kaos hitam serta celana di atas lutut, kaca mata hitam terpasang rapi di wajah.
"Selamat datang, kawan." Salah seorang menyambut kami.
"Ah, lama tak jumpa. Bagaimana kabarmu, Gado." Paman Zuma memeluk pria yang menyambutnya seperti sahabat yang telah berpisah lama.
"Baik seperti biasa. Dan bagaimana perjalanan kalian ke sini." Pria bertubuh kekar dan berkulit sawo matang itu tersenyum.
"Buruk sekali, Gado. Astaga aku sampai tidak paham kenapa kau betah tinggal di sini.." Paman Zuma menoleh ke arahku.
"Ah. Perkenalkan ini adalah anak anggkatku..." Aku melangkah mendekat pria bertubuh kekar itu. Melepas kaca mata hitamku.
"Namanya Rapael. Usianya Sembilan belas tahun, kalo tidak salah." Paman Zuma memperkanalkanku.
Aku menjabat tangan dengannya. "Astaga kau sudah besar rupannya, Rapael. Pamanmu dulu sering bercerita tentangmu saat aku masih menjadi pemburu dulu."
Aku tersenyum, dan tidak menjawab banyak.
"Aku suka dengan anak ini. Lihatlah. Tubuhnya kekar, tatapanya tajam, serta wajah tampannya membuat penampilannya sangat elok." Pria itu menepuk-menepuk bahuku.
"Yaa... sanyang sekali. Seandainya anak pertamamu adalah seorang gadis maka pasti kau akan menikahkannya dengan Rapael buakn?" Paman Zuma menyikut lenganku.
"Baiklah mari kita menuju rumahku. Istriku telah mebuatkan sesuatu untuk kalian." Pria itu melangkah di depan kami.
Kami berjalan mendaki bukit berbatuan kapur. Banyak rumah-rumah kayu yang tersusun rapi di sini. Angin pantai berhembus lembut membuat ramputku terurai. Aku memandang luasnya lautan di depan sana. Dan tepat di pelabuan di bawah terdapat kapal pengangkut turis yang sedang berlabuh. Belasan anak berenang di bawah kapal itu untuk mengambil uang koin yang di lempar para turis dari atas kapal.
"kemarilah nak, jangan sungkan-sungkan." Pria itu memanggilku yang tengah asik memandang lautan.
Tanpa di perintah dua kali aku langgsung masuk kedalam salah satu rumah kayu di depanku. Paman Zuma melirik jam tangan di pergelangannya.
"Tepat waktunya makan siang." Ia berguman di sebelahku.
Setelah menghabiskan masakan khas daerah sana kami mulai turun ke rumah-rumah di bawah. Untuk mengobati mereka yang tengah sakit. Kebanyakan dari mereka terkena DBD tapi syukurlah mereka masih bisa bertahan. Aku dan paman menggurus banyak orang di salah satu rumah kayu di sana.
Setelah selesai dengan penangan, aku melirik pergelangan tangan. Pukul empat sore, angin sepoi pantai ini terasa memanggilku untuk keluar dari rumah kayu ini. Perlahan melangkah keluar dan duduk di bawah pohon kelapa. Menikmati pemandangan langit sore di pantai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jiwa yang Hilang
Adventurekisah ini dimulai ketika seorang anak kehilangan orang yang disayangi, kehilangan hal yang seharusnya didapat, kehilangan senyuman, dan kehilangan cinta didalam hatinya. Rapael, itulah nama anak yang bernasib malang itu. ia memulai perjalanan hidupn...
Si Binatang Buas
Mulai dari awal