21) Depresi

Mulai dari awal
                                    

Mana mungkin Ayna mau menikah dengannya di dalam kondisi seperti ini? Ayna menghela nafas panjang. Dia berbalik, masuk ke dalam rumah.

◽▫◽▫◽▫

Tok.. Tok.. Tok..

“Ayna, ada yang nyari diluar. Keluar dulu sayang, liat siapa yang nyari.”

Ayna berdiri. Dia membuka pintu dan berjalan keluar dari rumah. Siapa lagi?

Seorang laki-laki membelakangi Ayna. Punggungnya tegap. Dia mengenakan peci dan baju koko.

Laki-laki itu menoleh.

Afif?

Flashback

Kenapa masih belum pulang, Na?” tanya Afif.

Ayna mengernyit. “Aku masih mau berlama-lama sama Kak Azwan. Kamu kenapa masih disini?”

Angin bertiup pelan. Dedaunan jatuh berguguran. Pemakaman lumayan sepi, namun masih ada beberapa orang yang berlalu-lalang.

“Ayna, mau saya antar pulang?”

Ayna menggeleng. “Aku bisa pulang sendiri.”

Afif mengulum senyumnya. Dia berdiri di samping Ayna, seolah-olah sedang menunggu taksi juga. Ini aneh. Padahal tidak mungkin ada taksi yang tiba-tiba lewat di depan pemakaman. Mereka masih harus berjalan lagi agar bisa mendapatkan taksi.

Namun, hal inilah yang membuat Afif mengkhawatirkan Ayna dan bersedia menunggu hal yang tidak mungkin bersamanya.

“Pasti berat banget buat kamu ya, Na?”

Ayna menunduk. Matanya berkaca-kaca. Sebenarnya Ayna tidak butuh hal lain. Dia tidak butuh kata-kata,

"Yang sabar ya.."

"Jangan sedih terus.."

"Ikhlasin aja."

Tidak. Dia hanya butuh kata-kata sederhana yang Afif ucapkan barusan, Pasti berat ya?

Ayna memejamkan matanya. Air mata mulai mengalir membasahi pipinya. Ayna terisak.

Isakan tangisnya sangatlah menyiksa Afif. Dia tidak tega melihat Ayna seperti ini.

“Kalau hari ini berat, nangis aja. Saya bakalan ada disini sampai kamu lega.”

Ayna makin terisak. Dia menunduk lebih dalam. Tak mampu lagi membendung rasa sakitnya. Dia sangat terluka. Seberapapun dia mencoba untuk tegar dan mengikhlaskan semuanya, dia tetap tidak bisa.

Flashback off

Ayna senang Afif ada disini. Tapi dia tetap tidak merubah ekspresinya. Datar, dingin, dan tidak terbaca. Itu sudah menjadi bagian dari dirinya yang sekarang.

“Mau ikut ke pesantren abah saya nggak?”

Ayna mengernyit.

“Sekarang, saya ngajar di pesantren diminta sama abah. Saya mau ngajak kamu kesana hari ini. Buat menenangkan pikiran. Tadi, saya udah izin sama ayah kamu katanya boleh.”

Ayna menunduk.

“Nggak masalah kalau kamu nggak mau. Saya bisa balik sendiri.”

“Kamu dari pesantren?”

“Iya. Saya baru sampe dari pesantren tadi.”

Ayna menghela nafas berat. Dia tidak setega itu membiarkan Afif datang jauh-jauh hanya untuk mengajaknya ke pesantren lalu menyuruhnya pulang tanpa hasil.

Ayna mengangguk. “Oke. Aku ganti baju dulu.” Afif mengangguk. Dia tersenyum senang.

Ayna masuk ke dalam rumah, berganti baju, berwudhu, dan mengambil tas selempangnya. Dia memasukkan handphone dan beberapa barang penting lain ke dalamnya.

Ah ya, sejak dulu, Ayna memang selalu berwudhu. Ketika mau tidur, bangun tidur, pergi sekolah, pulang sekolah. Intinya pergi kemanapun dan apapun yang dia lakukan dia pasti berwudhu.

Ayna keluar dari rumahnya.

Afif sudah naik ke atas motornya. Ayna berjalan menghampirinya. “Saya naik motor, biar cepet. Kalau naik motor palingan dua jam. Kalau naik mobil takut macet. Nggak apa-apa kan?”

Ayna mengangguk. Tidak apa-apa. Ayna tidak pernah mempermasalahkan pergi naik motor atau mobil. Apapun yang penting sampai ke tempat tujuan.

Motor yang dikendarai Afif melaju, membelah jalanan, menjadi salah satu kendaraan yang ada di jalanan Kota Jakarta.

Dua jam. Mereka sampai ke Pesantren Nurul Falah.

Afif memarkirkan motornya tepat di depan sebuah rumah di dalam pondok Pesantren. Ayna yakin, ini rumah Afif.

“Kita masuk dulu ya?”

Ayna mengangguk.

Afif berjalan memasuki rumah diikuti Ayna. Keduanya menggumamkan salam pelan.

Di ruang tamu tak ada orang. Afif mengulum senyumnya. “Silahkan duduk dulu, Na.”

Ayna mengangguk. Dia duduk di salah satu sofa. Afif pergi, tampaknya mencari umi dan abahnya.

Tak ada yang dilakukan Ayna selain menunduk.

Suara langkah kaki terdengar. Ayna mengangkat wajahnya. Seorang wanita cantik berwajah bersih tersenyum kearahnya. Ayna berdiri.

Umi Khadijah—uminya Afif, menghampiri Ayna dan memeluknya.

“Assalamualaikum...”

Ayna tersentuh akan hangatnya pelukan itu.

“Wa'alaikumussalam..,” jawabnya.

Umi Khadijah melepas pelukannya. “Ayna ya?” tanyanya. Ayna tak tahu, apa yang Afif ceritakan pada Umi Khadijah tentangnya sampai Umi kelihatan sangat senang melihatnya, tapi Ayna tetap mengangguk.

Umi mengajak Ayna duduk. Afif tersenyum menatap keduanya. Kalau orang bertanya-tanya, adakah bidadari di dunia ini, maka akan kujawab ada. Dua bidadari sedang duduk di ruang tamu rumah abahku sekarang.

Nurul ayna muslimah (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang