Zanna menuju pintu kamar Zaira. Beberapa kali ketukan, dia menekan handle pintu. Matanya langsung tertuju ke arah tempat tidur, di mana Zaira tengah berbaring telentang dengan wajah dilumuri masker dan mata tertutup potongan tomat.
"Kak Zaira, pinjem motor dong."
Zaira tak bereaksi.
Zanna tahu dalam kondisi begitu, kakaknya tidak akan menyahut. Mana sudi Zaira kalau sampai waktu ritual kecantikannya terbuang percuma, apalagi sampai bikin masker dua puluh ribuannya retak-retak.
Jadi Zanna putuskan masuk ke dalam kamar menuju meja rias sang kakak.
"Gue ambil sendiri ya!" serunya sebelum membuka salah satu laci di meja rias. Benda yang dicarinya ada di sana.
Zanna terlonjak kaget, saat berbalik dan mendapati Zaira sudah dalam posisi duduk, sedang mengawasinya dengan sepasang mata penuh selidik.
"Heh, mau ke mana lo?" tanyanya dengan suara keras dan gerak bibir terbatas, menjaga agar maskernya tetap mulus tanpa garis maupun lekukan. "Udah malam nih," sambungnya.
"Masih pukul tujuh. Bentar doang kok."
Tatapan Zaira semakin menyelidik.
"Mau pacaran ya lo?"
Zanna memutar bola mata. "Pacar aja nggak punya, pacaran dari mana."
Zaira sontak tertawa. Terlihat terlalu bahagia dari seharusnya. Sekaligus bukti bahwa tawa itu bahasa lain dari sebuah ejekan. Coba saja mereka dalam situasi yang berbeda, seperti biasa Zaira pasti akan mengatainya cupu dan wejangan betapa nestapa dan hambarnya masa abu-abu Zanna karena sekalipun belum pernah punya pacar.
Oh, halo! For your information. Zanna sudah melewati masa SMAnya hampir tiga tahun, dan hidupnya damai-damai saja tanpa punya pacar. Tidak seburuk yang Zaira katakan.
Zaira segera mengatup mulut, begitu sadar tindakannya bisa menghancurkan maskernya.
"Serius, jadi mau ke mana lo?" tanyanya kemudian.
Ada satu hal yang keliru. Naluri mengintogerasi dan tingkat kekepoan sang kakak ternyata lebih besar melebihi apa pun. Sehingga dalam kondisi yang bagaimanapun dia tidak akan melewatkan kesempatan untuk mengorek informasi.
"Pinjam buku tugas."
Bersyukur Zanna sudah menyiapkan alasan masuk akal. Jadi dia bisa menjawab dengan tenang meski sebenarnya dia gugup setengah mati karena takut kebohongannya terbaca.
Zaira mengawasinya lekat-lekat, seolah dengan cara itu bisa menembus isi kepala Zanna.
"Awas jangan lama-lama," ujarnya, kali ini dengan gaya bicara hati-hati. Percuma juga sih, soalnya itu masker sudah retak di mana-mana. "Ingat ya, Na, gue nggak ngelarang lo pacaran, tapi jangan pas malam kayak gini. Banyak setannya," imbuh Zaira lagi. Sebelum mendapat reaksi dari Zanna, Zaira sudah kembali bertelentang dan meletakkan tomat di atas kedua matanya yang tertutup.
"Apaan sih," Zanna bersungut-sungut seraya meninggalkan kamar Zaira.
Bagi Zanna lebih mending menghadapi serbuan pertanyaan juga kekepoan Zaira daripada pergi ke kamar Zannet. Meminjam motor Zannet sama dengan meningkatkan resiko mengidap penyakit darah tinggi.
Setelah meminta izin kedua orangtuanya dengan alasan yang sama seperti yang dia katakan pada Zaira, Zanna bergegas keluar rumah. Motor Zaira terparkir di bawah pohon belimbing. Sekadar informasi saja, rumah Zanna tidak memiliki garasi. Bila siang hari motor di parkir begitu saja di halaman. Baru saat malam hari, motor dipindahkan ke halaman samping. Tetapi yang lebih sering memasukkan motor ke tempat itu hanya Zannet dan kadang-kadang Papa. Zaira selalu saja marah-marah tiap kali diingatkan untuk memarkirkan motornya di sana. Pasalnya halaman samping itu hanya mempunyai lebar sekitar satu meter. Hanya orang-orang berjiwa sabar nan ekonomis yang bisa memarkir motor di sana.
Sebenarnya Papa sempat menganggarkan dana untuk membuat garasi, cuma pemasangan kanopi, tapi ide itu ditentang habis-habisan oleh Zannet. Ya, siapa lagi memang yang punya pemikiran membuat garasi nyaman sebagai pemborosan. Keberadaan pohon mangga yang tinggi nan rimbun juga pohon belimbing sudah cukup membuat halaman menjadi teduh ketika di siang hari, katanya.
Zanna sudah meninggalkan lokasi rumahnya sejak bermenit-menit yang lalu. Dia mengendarai motor dengan kecepatan sedang. Terlalu berpikir mengenai banyak hal, Zanna dikejutkan oleh sesuatu yang tiba-tiba meringkuk tegak di stang motor. Alis Zanna mengernyit, sesaat sebelum dia sadar dan kemudian menjerit.
Seekor ular melilitkan tubuh di antara stang kemudi. Sontak Zanna menjatuhkan motor. Dia ikut rebah, tapi segera bangkit dan berlari menjauh dari motor, mengabaikan perih di sikunya.
Entah Zanna harus bersyukur atau bagaimana karena insiden itu terjadi di tempat yang tak terlalu ramai. Apa jadinya kalau tadi dia menjatuhkan motor saat di jalan raya, alamat bisa terlindas kendaraan karena mendadak menjatuhkan diri seperti tadi.
Zanna memperhatikan motor. Ular itu masih di sana, dengan leher yang menjulang. Besarnya hanya seruas jari, tapi tetap saja namanya ular, dapat menyemburkan bisa beracun. Napas Zanna putus-putus akibat dari jantungnya yang berdegup cepat karena terkejut. Lalu sekarang bagaimana caranya mengusir ular itu?
Dia menengok kanan kiri, satu-dua orang melintas dengan kendaraan. Tapi mereka hanya melirik Zanna saja tanpa berniat tahu kenapa motornya bisa tergeletak di jalan. Oh, betapa tidak pekanya orang-orang ini. Karena tidak tahu harus berbuat apa. Zanna akhirnya berjongkok dari jarak aman, menunggui sampai ular itu pergi atas kemauannya sendiri.
"Lar, kapan sih lo perginya? Nanti gue kemalaman nih," Zanna bermonolog sendiri.
Dilihatnya ular itu sedikit merunduk, membuat Zanna terjaga. Disangkanya ular tersebut berniat pergi. Kenyataannya ular itu malah semakin syahdu melilitkan diri di stang motor.
Dasar ular nggak ada akhlaknya.
Zanna mengerang frustasi, sampai kapan dia harus menunggu di sini?
📣
KAMU SEDANG MEMBACA
Distorsi (END) TELAH TERBIT
Teen FictionDulu Zanna mengidolakan Troy karena suaranya yang merdu. Tapi itu sebelum Zanna tahu kalo Troy pembuat onar sejati. Namanya jadi urutan teratas dalam daftar siswa paling bermasalah di SMA Nusa Bangga. Zanna mundur teratur dan berusaha menjauhkan dir...
21. Ular Nggak Berakhlak
Mulai dari awal