Chapter 54 - Kenalan Baru

Mulai dari awal
                                    

"Gitu ya, ya udah, kamu cepat ya? Jangan lama-lama aku takut," kata Melati mencoba tenang.

Batara melihat kepergian istrinya. Hatinya benar-benar tidak enak. Barusan salah satu pegawainya mengatakan ada sedikit masalah. Batara meraih tangan mungil Melati sebelum memutar kenop pintu. Melati berbalik. Batara lalu mencium pelan keningnya.

"Nanti aku datang, tunggu aku." Melati tersenyum lembut. Batara tersenyum tipis. Melati keluar dari sana. Batara mengambil handphone dan juga notebook nya dan mulai melakukan pekerjaannya.

Di sisi lain, gadis itu berjalan dengan tidak ada gairah. Beberapa kali gadis itu menghela nafasnya berat. Seharusnya hari ini dia bersama dengan Batara suaminya. Aku nggak boleh egois, iya nggak! Ini demi masa depan kami, batin Melati meyakinkan dirinya sendiri.

"AWAS MBAK!!!" Melati menoleh ke asal suara. Seorang perempuan datang menarik tangannya. Lalu mereka terjatuh. Melati seperti bermimpi. "Mbak, mbak nggak papa?" kata perempuan itu pada Melati. Melati tersadar lalu tersenyum. "Eh, iya nggak papa. Makasih ya sudah nolongin saya."

Perempuan yang berparas cantik itu tersenyum.

"Mbak lagi ada masalah ya?" tanya perempuan itu. Melati tersenyum masam. Apa wajahnya sangat menampakan bahwa dia sedikit kesal?

"Kita duduk di sana aja, mbak," tawar perempuan itu. Melati mengiyakan. Mereka berdua duduk sambil menikmati air kelapa.

"Kuliah atau sudah kerja?" tanya perempuan itu.

"Eh lupa, kita belum kenalan, nama saya Nabila," katanya mengulurkan tangannya untuk berkenalan.

"Melati," jawab Melati tersenyum.

"Melati? Pantesan ayu banget, ternyata namanya Melati," ucap Nabila dengan tertawa.

"Jadi kamu masih kuliah atau kerja?" tanya Nabila lagi.

"Masih kuliah," jawab Melati seadanya.

"Tadi hampir aja kamu ketabrak, lagi mikirin yang aneh-aneh ya?" Nabila menebak.

"Sebenarnya saya sedikit kesal sama suami saya, aturannya kami liburan bareng sekarang, tapi ada pekerjaan mendadak," jelas Melati. Nabila menganggukkan kepalanya.

"Jadi kamu udah nikah? Wah kalah sama saya, padahal saya punya pacar juga belum," kata Nabila.

"Saya jadi nggak enak," kata Melati.

"Nggak papa, lagian udah biasa."

Melati dan Nabila tertawa bersama.

"Lain kali kita ketemu lagi ya?" kata Nabila tersenyum. Nabila berjalan meninggalkan Melati di sana. Hari ini dia sedikit bersyukur karena berbagi pengalaman dengan Nabila tentang kehidupan.

Melati men cek handphonenya, ada notif dari Batara.

Dimana?

Aku lagi di jalan.

Melati tersenyum.

Di pantai kemarin, Ai.

Setelah membalas pesan dari Batara, Melati fokus melihat pantai yang sangat indah itu. Dia jadi mengingat perbincangan nya dengan Nabila.

"Itu tandanya suami kamu baik, dia kan minta maaf gara-gara nggak bisa nemenin kamu jalan-jalan," jelas Nabila.

Melati terdiam, mungkin perkataan Nabila ada benarnya. "Mbak, sama siapa ke sini? Liburan juga?" tanya Melati balik.

"Nggak, ada tugas dari kantor ke sini sekalian liburan." Melati hanya menganggukkan kepalanya.

"Jadi disyukuri aja Mel, saya dulu tidak direstui sama orang tua saya."

"Hah? Masa sih? Jadi akhrinya gimana?" tanya Melati penasaran.

"Ya akhirnya putus. Orang tua saja maunya asli Lampung. Padahal mantan saya bukan Lampung," jelas Nabila.

"Terus?"

"Ya akhirnya kami pisah. Padahal saya sangat cinta sama dia. Dan sampai sekarang masih belum bisa move on, padahal udah hampir empat tahun."

Melati menghela nafasnya lega. Seharusnya dia tetap bersyukur meski Batara tidak bisa menemaninya satu hari ini. Masih ada hari esok.

Sebuah tangan melingkar di perut Melati. Terasa hangat dan nyaman. Melati tersenyum lembut. Batara lah pelakunya. "Hai," sapa Batara. Melati berbalik lalu menatap manik mata suaminya.

Terlihat jelas bahwa suaminya sedang lelah. Melati menangkup wajah Batara lalu memijit pelan kepala pria itu. Batara terlihat sangat menikmatinya. "Ai, aku minta maaf ya," ucap Melati sungguh.

"Untuk?"

"Untuk semuanya."

"Kamu pasti capek kan kerja terus?"

"Suami memang harus kerja."

"Tapi kan?"

"Diam dan pijit lagi."

Melati memilih diam lalu melanjutkan acara pijitannya pada Batara. Batara tersenyum tipis. Istrinya benar-benar gadis yang sangat pengertian. Jantung Batara berdebar setiap kali melihat wajah istrinya sedekat ini. Akhir-akhir ini memang sangat aneh dan menggebu-gebu seperti anak SMA.

"Ai, aku mau ngomong," kata Batara.

***

𝑷𝒆𝒍𝒖𝒌𝒂𝒏 𝑺𝒂𝒂𝒕 𝑺𝒆𝒏𝒋𝒂  (𝙀𝙉𝘿) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang