Ungkapan Cinta Dito

Mulai dari awal
                                    

"Baiklah, maafkan aku, Syifa!"

"Maaf diterima!"

Kami sama-sama tersenyum hingga tak sadar bila kami telah menjadi pusat perhatian banyak orang. Seperti inikah rasanya jatuh cinta? Dunia serasa milik berdua. Serakah! Tanpa mau melibatkan orang lain berkecimpung di dalamnya. Sungguh, ini nyata yang aku rasakan.

***

Hari ini ternyata Pak Ruslan tak bisa menjemput diriku, karena kendala ban bocor. Bunda pun tadi sudah menelfon diriku supaya mencari angkutan umum saja untuk pulang. Aku pun tak masalah dengan hal itu. Yang penting sampai tujuan dengan selamat.

Suasana parkiran dipenuhi oleh suara kendaraan roda dua maupun roda empat. Aisyah sudah pulang lebih dulu dan tinggal diriku sendiri. Aku berjalan santai menuju gerbang dan langkah kaki ini terhenti saat tiba-tiba motor CBR berhenti begitu saja. Aku melihat seseorang yang mengendarai motor itu dengan tatapan penuh selidik. Jaket kulit warna hitam dan helm full face yang memberi kesan keren di mata siapa saja yang melihat.

"Naik!"

Suara itu bukannya milik Dito? Yang benar saja, itu memang Dito. Ia membuka helm itu dan langsung menghadiahi diriku senyuman.

"Dito, astaga ...."

"Iya, sayang. Ayo naik!"

Ya Allah. Syifa meleleh saat Dito memanggil sayang. Demi apapun, pasti pipi ini sudah merona tanpa sebab.

"Tapi—"

"Tapi apa? Sudahlah! Aku tadi dengar kalau sopir kamu nggak bisa jemput. Ayo!"

Kali ini aku kalah dengan ego yang berusaha berontak untuk menolak ajakan Dito. Toh juga kalau dipikir-pikir tak ada salahnya juga. Hanya sebatas partner pulang bersama, tidak lebih!
Eh, tunggu! Bagai mana caranya aku naik motor besar itu? Saat ini aku memakai rok panjang.

"Em, Dito. Biarkan aku naik taksi aja, ya?"

"Kenapa?"

Apa aku harus jujur saja? Okelah, bohong juga dosa!

"Syifa tidak bisa naik. Syifa pakai rok," ucapku sembari tersenyum canggung.

Dito melihat diriku. Nampaknya ia juga tengah berpikir keras. Tak lama kemudian, dia menepikan motor dan menghampiriku.

"Ayo ikut!"

"Kemana?"

"Sudahlah, ikut saja!"

Tak ingin berdebat, aku memutuskan untuk mengikuti Dito. Langkah lebar Dito membawa langkah kecilku menuju  suatu kelas yang jarang sekali aku lewati.

"Kelas Dito?" tanyaku penasaran.

"Iya, masuklah dan ganti ini!"

Aku menatap celana yang dia sodorkan padaku. Terlalu bingung, hingga aku hanya memandang saja celana itu.

"Ayo ganti ini!"

"Itu celana siapa?" tanyaku was-was.

"Celanaku, Syifa. Yakali celana Kapsek."

"Nggak, Syifa nggak mau pakai!"

"Kenapa?"

"Itu habis dipakai Dito. Syifa nggak mau!"

Dia malah terkekeh pelan. Ada yang lucu, kah? Perasaan garing, kenapa dia terkekeh? Sungguh, Dito memang membingungkan.

"Tenang saja! Tadi pelajaran olahraga gurunya nggak hadir, jadi ini masih bersih. Ayo pakai!"

"Serius, nih?" tanyaku memastikan.

"Dua rius, sayang."

Lagi-lagi dia berhasil membuatku merona. Nyatanya, panggilan sayang melemahkan diriku. Tak ingin dia melihat rona yang menghiasi wajah ini, aku langsung menyambar celana itu.

"Awas, jangan ngintip!" peringatku padanya.

"Iya, nggak bakal!"

Aku langsung memasuki kelas Dito. Susasana kelas ini sangat berbeda dengan kelasku. Hawanya juga tak sama. Sembari mengganti celana, aku menatap sekeliling kelas. Tepat di pojok belakang, ada sesuatu yang tertempel di tembok yang tentunya menarik perhatianku. Gambar seperti tanda tambah yang ukurannya tak terlalu besar itu sontak membuatku kaget.

Bukankah gambar itu adalah tanda salib? Seketika, kepalaku terasa pening. Pikiranku melayang kemana-mana. Namun, terbesit di benak bila mungkin saja penghuni kelas ini mayoritas non-muslim. Berpikir positif saja. Toh juga kebanyakan kelas ditempati oleh satu bahkan dua agama yang berbeda.

.

.

.

TBC.

3 Juli 2020.💕

Cinta Beda Agama [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang