Banyak sekali yang perlu dirangkum. Namun Sena berhasil mengerjakan semuanya tepat waktu—30 menit sebelum pukul 20.00. Cewek itu memasukkan laptopnya ke dalam tas punggungnya lantas berdiri, bersiap meninggalkan rumah bak neraka ini dengan sangat senang hati.
"HACH-IH!"
Lagi-lagi suara itu membuat Sena menoleh. Cewek itu mengerutkan keningnya. Serius, dia benar-benar khawatir. Namun, dia tidak mau terlihat seperti itu. Tapi—
Ah, kenapa sisi kemanusiaan gue malah muncul di saat-saat kayak gini, sih...? Sena merutuki dirinya, putar balik dan duduk setengah meter dari Bara. "Lo beneran enggak pa-pa? Enggak sakit gara-gara hujan-hujanan kemarin?" selidik Sena memastikan. "Bukannya belagu, atau sok tau ya. Gue cuma...—" Sena berpikir keras "—cuma berusaha bertindak selayaknya pacar beneran karena kemarin lo udah bertindak semestinya."
Anjir gue ngomong apa, sih...?
"Pokoknya gitu. Gue... boleh m-megang dahi lo?" tanya Sena, gugup setengah mati.
Bara tidak menjawab. Tapi sisi kemanusiaan Sena menjawab iya dengan lantang. Jadi, cewek berambut pendek itu mengikuti kata hatinya. Ia menempelkan punggung tangannya pada dahi Bara. Panas. Jelas laki-laki ini demam.
'Gue enggak lemah kayak lo' apanya, cih, cerca Sena dalam hati. Ia mengamati wajah Bara serius, tubuhnya agak mendekat hingga membuat Bara—entah alasannya—refleks memundurkan tubuhnya.
"Ngapain lo?" ketus Bara dengan air muka tidak ramah.
"Kotak obat di mana? Kayaknya lo demam gara-gara kemaren." Sena kembali ke posisi setengah meter tadi.
"Enggak ada," singkat Bara, kembali memperbaiki posisi tubuhnya. "Gue bisa ngurus diri gue sendiri. Gue enggak lemah kayak lo. Lo balik aja," tambahnya, dingin.
Haha. Sena mencerca dalam hati, ia tersenyum pahit lantas beranjak dari sofa. Untuk apa dia menolong orang seperti Bara? Namun, tetap saja Sena adalah manusia. Dia tidak bisa membiarkan manusia lainnya menderita. Lagi pula, kemarin Bara sudah menjemputnya dan sudah bersikap sangat baik padanya.
Gadis itu menoleh setelah mengembuskan napas panjang. "Kayaknya lo kecapekan. Mending istirahat sebentar. Gue mau ke minimarket, beli obat. Lo mau nitip makan apa?"
Bara tidak menyahut. Ia masih saja fokus dengan pen tablet-nya tanpa melirik Sena sedikit pun. Satu helaan napas Sena lainnya sudah cukup jelas untuk mewakili betapa kesalnya ia sekarang. Gue cuma kasian. Cuma kasian.
Sena menutup pintu depan, keluar dari gerbang dan menemukan langit sudah gelap tanpa bintang. 25 menit lagi dan makan malamnya akan dimulai. Namun tiba-tiba pikirannya hanya terfokus pada satu hal. Obat.
"Selamat datang di Janumarket, selamat berbelanja!" Klise.
Sena langsung bergegas ke bagian obat-obatan, memilih dan akhirnya membeli tiga jenis. Untuk demam, sakit kepala dan flu. Cewek itu langsung membayar dan ingin segera bergegas kembali ke rumah Bara. Dia udah makan belum, ya? Tanpa sadar, Sena terus-terusan memikirkannya.
Sudah malam, jadi tentu saja tidak akan ada tukang bubur. Hanya ada tukang nasi goreng yang sedang berhenti di pinggir jalan. Gadis itu memutuskan untuk membelinya. Satu porsi, tidak pedas.
Ponselnya menunjukkan pukul 20.15. Terlambat. Gadis itu berdecak kesal, bingung. Pilihan pertama, dia bisa tetap makan malam bersama dengan Verrel dan meminta maaf karena datang terlambat. Pilihan kedua, tetap bersama Bara dan memastikannya baik-baik saja.
Dilihat dari sisi mana pun, jelas pilihan pertama yang lebih masuk akal bagi hati dan logikanya. Dia akan bahagia jika datang. Tapi di sisi lain gadis itu khawatir pada Bara. Ia mengulum bibirnya, berdecak dan menahan diri agar tidak berteriak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Are You Really a Bad Boy?
Teen FictionBara tertangkap basah menyimpan ratusan foto dan video porno yang sebenarnya bukan miliknya. Semua orang menuduh, memaki, bahkan orangtuanya memutuskan untuk mengusir Bara dari rumah. Saat SMA, Bara berubah total. Ia bergabung sekaligus menjadi ketu...
20 - Bara atau Verrel?
Mulai dari awal