36. Coffee talk

Mulai dari awal
                                    

"Pesanan Kak Haris dan Kak Haiva!"

Tawa Haiva hampir saja menyembur keluar jika dia tidak menahan diri, ketika mendengar seseorang memanggil "Kak" Haris. Dia ingin mengejek, tapi kan dia sedang dalam mode marah. Gengsi dong.

Haris maju mengambil nampan berisi 2 minuman dan 1 slice espresso brownie, lalu mengajak Haiva mencari tempat duduk untuk mereka berdua.

Mereka mendapatkan meja kosong untuk 2 orang di pinggir ruangan. Haiva ingin mencari tempat duduk di pojok ruangan, tapi tidak menemukannya. Jadi dia terpaksa puas dengan tempat duduk yang ditawarkan Haris.

"Terima kasih sudah mentraktir saya," kata Haris sambil meletakkan gelas caramel machiato di hadapan Haiva, hot chocolate di hadapannya, dan espresso brownie di tengah meja yang memisahkan mereka. "Saya yang mengajak Iva kesini, harusnya saya yang mentraktir Iva."

"Saya bukan perempuan yang terus-terusan minta traktir," jawab Haiva dingin.

"Saya juga tidak pernah menganggap Haiva seperti itu. Saya sendiri yang mau mentraktir."

Haiva memilih untuk mengabaikan topik itu. Ia mengambil gelas berisi caramel machiato dan menyesapnya perlahan.

"Ngapain Bapak nekat ketemu orangtua saya? Saya kan semalam udah bilang nggak usah," kata Haiva kemudian.

"Seperti saya bilang kemarin. Saya ingin memperkenalkan diri dengan layak dan menjelaskan hubungan kita."

"Kita nggak ada hubungan apa-apa, Pak."

"Saya tidak bisa mendefinisikan hubungan kita saat ini. Pacaran rasanya bukan terminologi yang tepat. Tapi tadi Iva sudah dengar sendiri, jenis hubungan apa yang saya harapkan antara kita di masa depan."

Meski masih manyun, Haris dapat melihat rona merah tipis di wajah gadis di hadapannya.

"Bapak kok sekarang ngegas banget sih Pak? Bukannya Bapak dulu nggak suka sama saya, sampai nolak saya berkali-kali?"

"Saya tidak pernah bilang tidak suka sama Iva. Saya juga tidak pernah menolak Iva."

"Cuma PHP aja ya Pak," kata Haiva sinis.

"Saya juga tidak bermaksud begitu."

Haiva mendengus.

"Barangkali saya sudah lama tertarik sama Iva. Tapi saya baru menyadarinya saat hari terakhir Iva di Medika, waktu Iva mengaku cinta. Tapi saat itupun saya masih ragu. Ragu pada diri saya sendiri, apakah lagi-lagi saya salah mengartikan kebaikan perempuan. Juga ragu pada Iva, apakah Iva serius cinta sama saya, atau hanya tertarik."

"Bapak pantas ragu," kata Haiva sambil meletakkan gelas kopinya, lalu menyandarkan punggungnya dan menatap ke arah lain. "Bapak benar. Saya cuma ngefans. Makanya tadi malam saya bilang, Bapak nggak perlu repot ketemu orangtua saya. Nggak akan ada hubungan masa depan buat kita. Saya udah sadar sekarang. Maaf Pak, kali ini saya membuat Bapak lagi-lagi salah menilai perempuan."

Haris memandang Haiva dengan intens. Tapi gadis itu sengaja melarikan pandangannya ke luar jendela. Gadis itu bicara dengan suara dingin, tapi entah kenapa hati Haris menghangat.

"Apa orang yang ngefans memang biasanya mengatur-ngatur pola makan, bersekongkol dengan keponakan, bahkan sampai mendikte asisten rumah tangga orang yang disukainya?" tanya Haris.

Haiva kembali menatap Haris, kini dengan ekspresi ngeri. Raut wajah Haiva berubah karena tertangkap basah. Ia membuka mulutnya, ingin menjelaskan sesuatu. Tapi dia menutup bibirnya lagi karena tidak menemukan kata-kata yang tepat untuk mengelak.

"Maaf, Pak. Saya nggak akan menghubungi Ibam dan Pak Amir lagi," kata Haiva akhirnya. Seperti maling yang tertangkap basah. Pasrah.

Haris menggeleng sambil tertawa pelan. "Jangan minta maaf. Karena justru karena hal itu, saya tahu bahwa Iva memang tulus peduli sama saya."

Bagaimana mungkin sebuah tawa bisa setampan itu?, Haiva mengeluh dalam hati.

"Saya nggak setulus itu, Pak," kata Haiva dingin. Mencoba menutupi perasaannya yang sebenarnya. "Saya mungkin cuma memanfaatkan Bapak. Enak kan jadi pacar Bapak. Sering ditraktir, sering dibeliin barang-barang mahal. Kalau nanti udah nikah, saya nggak perlu kerja lagi. Tinggal hidup enak, belanja sana-sini, menghabiskan harta Bapak aja."

Haris mengerutkan dahinya. Bingung. Dari mana Haiva mendapatkan ide seperti itu.

"Haiva yakin bicara seperti itu?" tanya Haris bingung.

Haiva mengangguk mantap. "Saya masih muda. Bisa nikah sama laki-laki yang lebih muda dan lebih ganteng daripada Bapak. Nggak masuk akal kan saya mau nikah sama Bapak, kalau bukan buat memanfaatkan harta Bapak?"

Haris diam. Menatap Haiva lama dengan pandangan menyelidik. Sementara Haiva kembali meminum caramel machiatonya sambil memandang ke luar kafe. Mengalihkan pandangan dari Haris.

"Siapa yang menuduh Haiva begitu?" tanya Haris curiga.

"Nggak ada. Saya memang begitu."
Meski Haiva berusaha tenang, Haris dapat menangkap perubahan ekspresi Haiva selama sepersekian detik. Dan sebagai mantan Manajer QA yang sering melakukan investigasi, perubahan ekspresi mikro tersebut mengindikasikan sesuatu. Apalagi sejak tadi gadis itu menghindar menatapnya langsung.

"Apa karena itu hari ini Haiva mentraktir saya?" tanya Haris.

Haiva mengangguk. "Saya nggak mau memanfaatkan kebaikan Bapak lagi."

"Tidak ada penjahat yang mengaku sebelum dituduh."

"Ada. Penjahat yang insyaf dan berharap pengampunan," jawab Haiva. "Saya sadar harusnya saya nggak memanfaatkan Bapak. Saya minta maaf, Pak."

Haiva tidak suka melihat cara Haris memandangnya. Mata itu terlihat terluka karena lagi-lagi disakiti perempuan. Haiva tidak suka karena dirinyalah penyebab luka itu. Tapi dia memang harus pergi dari hidup Haris.

Keluarga Haris mencurigainya. Orangtua Haiva juga tidak setuju. Haris masih mencintai perempuan lain. Dan semua orang mencurigai Haiva hanya memanfaatkan harta Haris. Bagi Haiva, dengan semua alasan itu, Haiva tidak punya lagi alasan untuk bersama Haris. Berpisah adalah pilihan terbaik. Dan dia mengatakan semua hal ini agar segalanya menjadi lebih mudah bagi mereka berdua.

Haiva menghela nafas. Kemudian menegakkan duduknya, dan menguatkan hati memandang Haris.

"Saya... minta maaf, Pak."
Haiva membungkuk pada Haris. Lalu bangkit dari duduknya. Dia harus pergi sebelum pertahanannya runtuh dan air matanya luruh.

* * *

Yang pengen nampol Haiva, mana suaranya?

Yg udh pernah baca cerita ini, masih inget dong momen berkesan di bab setelah ini? Hayooo siapa yg masih inget?

CERITA YANG TIDAK DIMULAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang