🦑五 | Pengumuman (2) 🦑

Mulai dari awal
                                    

"Males. Lagian gue nggak bawa baju ganti."

"Hishh jorok nggak mandi. Lagian kenapa nggak bawa baju ganti? Rekaman aja lo siapin banget, masa baju nggak lo siapin."

"Nggak kepikiran, yang gue pikirin cuma lo, Win."

Wajah Winda bersemu merah, ia pun menundukkan kepalanya supaya tidak kepergok ada rona merah di pipinya.

"Win, lo tahu Ihsan?"

"Ihsan siapa?" Winda mengerutkan dahi.

"Itu ... yang sebangku sama gue."

"Oh, itu namanya Ihsan." Winda manggut-manggut.

"Dia pake topeng."

"Hah?"

"Iya, dia pake topeng, tapi transparan. Dan lo yang nggak peka terhadap sesuatu nggak bakalan bisa lihat topengnya. Tapi gue bisa."

"Serem nggak?"

"Serem banget kayak hantu di bioskop tadi."

"Ternyata lo bego, ya." Hendra menoyor kepala Winda. "Udah ah, gue mau salat terus tidur. Besok pagi kita balik ke Yogya."

***

"Win, bangun."

Winda menggeliat, lalu ditariknya lagi selimut sampai menutupi kepala. Lantas memeluk guling yang ada di sampingnya.

"Woi, kebo! Bangun. Mau balik nggak lo?" Hendra menyingkapkan selimut secara paksa, "Kalau lo nggak bangun, gue tinggal."

"Balik aja duluan sono. Nggak perlu lo temenin juga gue bisa balik sendiri."

"Diculik orang baru kapok lo."

"Ngaco." Winda berniat menarik selimutnya lagi, tetapi Hendra sudah mencekal pergelangan tangan Winda. Lantas menariknya agar terduduk.

"Susah bangun aja susah banget, sih, lo."

Winda mengucek matanya.

"Sana mandi, siap-siap balik. Udah jam tujuh, nih. Makanya, habis salat Subuh jangan tidur lagi."

Tak mau berlama-lama mendengar ocehan Hendra, Winda pun bergegas ke kamar mandi sembari menghentak-hentakkan kaki.

***

"Sarapan nasi goreng dulu, yuk!" ajak Hendra. Tentunya dengan menarik tangan gadis itu tanpa meminta pendapatnya lebih dulu.

"Win, lo ngapa, sih, ngebet banget pengin kuliah di luar negeri?" tanya Hendra di sela makannya.

"Udah cita-cita gue dari dulu."

"Tapi kenapa harus Jepang, sih?"

"Memangnya kenapa? Ada yang salah sama Jepang?"

"Ada. Masalah besar dan cukup serius."

"Apa?"

"Ah, entar lo nggak percaya sama gue."

"Memang. Lo kan suka ngaco kalau ngomong."

Winda pun fokus melanjutkan nasi gorengnya yang tinggal setengah.

Hendra menatap wajah Winda lekat-lekat.

"Ngapain lo natap gue kayak gitu?"

"Pusing gue."

"Karena?"

"Mikirin lo."

"Nggak usah mikirin gue. Percuma. Gue aja nggak mikirin lo."

"Gue nggak tahu apa yang harus gue lakuin supaya lo ngerti."

"Apaan sih, omongan lo aja susah dimengerti."

***

Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Hari paling menegangkan yang pernah dirasakan Winda.

Terlihat notifikasi dari amplop bergaris merah, email. Dengan jantung berdebar-debar dan kecemasan meletup-letup, dibukanya email yang ia tahu kalau itu pasti pengumuman diterima atau tidak.

Winda terperangah, matanya membulat sempurna bahkan seperti ingin keluar dari sarangnya. Napasnya memburu, ingin marah tapi entah marah kepada siapa. Satu kata yang pasti, Winda kecewa dengan dirinya sendiri.

Di email tersebut, tertulis kata diterima, tetapi dicoret. Yang artinya, Winda gagal. Dia gugur di medan perang.

Ponsel Winda bernyanyi. Bisa-bisanya ponsel Winda berbahagia sedangkan hati sang pemiliknya sedang terluka penuh irisan-irisan sembilu kegagalan.

"Gimana? Masih ngotot mau kuliah di Jepang?" celoteh seseorang di seberang sana.

"Bukan urusan lo!"

Ketika Winda akan menutup sambungan teleponnya, Hendra mengoceh. Dan kata-katanya sangat mengena.

"Lo bakal sukses walau kuliah di Indonesia. Percaya sama gue. Pasti ada jalan lain, dan Tuhan selalu tahu yang terbaik buat kita."

Pelik AnantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang