"Tos!" seru Bagas sembari beradu kompak dengan anak laki-laki berusia 5 tahun yang merupakan keponakan semata wayangnya, Alif.
Melihat kakak perempuannya beserta sang suami mendekat, Bagas segera menyambut dengan bersalaman penuh hormat sebelum kemudian dirinya ditinggalkan oleh keduanya untuk memasuki rumah. Tinggallah Bagas yang kembali duduk santai sambil menikmati sisa rokok yang tadi diabaikannya bersama Alif yang ikut duduk di kursi sebelahnya lalu sibuk berceloteh riang. Bagas mendengarkan dengan seksama sambil sesekali menimpali dengan nada takjub untuk menyenangkan Alif. Tentu saja, mengetahui Om-nya begitu antusias mendengarkan celetohannya meskipun disampaikan dengan belepotan, Alif menjadi merasa bangga dan percaya diri.
"Lho... Diah, mana Alif?" tanya ibu heran ketika melihat anak perempuannya memasuki rumah hanya berdua bersama suaminya, Candra.
"Biasa, nyangkut sama Si Bagas di depan." celetuk Diah menggidikkan dagunya ke arah teras rumah mereka yang bisa dilihat dari lapisan kaca jendela rumah.
"Ck, ck, ck, Si Alif sampai lupa sama neneknya, malah main sama Bagas," ucap sang ibu lirih sedikit merajuk.
"Rasanya Bagas sudah cocok banget jadi seorang Ayah. Kapan sih adekmu itu mau menikah?" celetuk sang ibu yang semakin bersungut-sungut ketika mengintip pemandangan ceria antara Alif dan Bagas di teras rumah mereka.
"Doain aja terus anaknya cepat ketemu jodoh," hibur Diah sambil mulai mengambilkan makanan untuk suaminya.
"Iya bu, kalau jodoh nggak kemana." sahut Candra yang kini tengah tidur terlentang bebas menikmati lembutnya karpet bulu hijau zamrud tanpa sungkan di depan ibu mertuanya.
"Iya sih, tapi kan...." kata-kata si ibu terhenti sejenak seakan ia mendadak terlalu tenggelam dalam kekhawatiran yang sulit terungkap.
"Mikir apa sih, bu?" tanya Diah penuh selidik dan menantikan lanjutan kalimat yang ingin diucapkan Ibunya. Kali ini Diah meminta suaminya duduk untuk menikmati makanan yang sudah ia bawakan.
Ibu hanya menggeleng cepat sebagai tanda tak ada kelanjutan yang ingin disampaikan olehnya. Sang ibu lebih tertarik untuk keluar menuju teras menyambangi anak lelakinya.
Tapi....
"Lho, Kok Alif sendirian?" tanya sang ibu heran melihat cucunya sudah asyik main sendiri.
"Om Bagas jalan, mau minum kopi katanya." sahut Alif yang kemudian memeluk neneknya, melepas rindu.
"Udah ngilang aja." batinnya sembari melihat sosok Bagas sudah duduk manis di kursi kemudi mobil pribadinya, siap melaju meninggalkan rumah.
***
Beruntung mall yang akan dituju Ayuna hanya berlokasi di muka jalur masuk perumahan tempat ia tinggal. Mungkin ini juga salah satu faktor yang membuat Irwan mengizinkan tanpa pertimbangan. Ayuna hanya membutuhkan waktu sekitar 5 menit ke rumah ibunya untuk menurunkan Hasan dan Husein, yang terletak masih satu area dengan tempat tinggalnya dan hanya berbeda cluster. Selanjutnya Ayuna hanya membutuhkan waktu sekitar 10-15 menit untuk menjangkau mall tujuannya.
Ayuna memarkir motor dengan rapi, kemudian membenahi setiap helai rambutnya yang berantakan karena terbawa angin saat ia melaju di jalanan juga akibat melepas helm dari kepalanya. Rambutnya yang hampir mencapai pinggangnya dibiarkan tergerai polos tanpa hiasan apapun. Ayuna kemudian melihat jam tangan yang melingkar manis dipergelangan tangannya, sudah hampir jam tiga tepat. Tangannya merogoh tas dan segera mengambil novel miliknya, memeluknya dan berjalan cepat dengan langkah kecil-kecil karena ia sedang menggunakan rok payung denim selutut yang sepadan dengan baju putih lengan pendek berbentuk lonceng yang mencerminkan pribadinya yang feminim. Untungnya Ayuna selalu mengenakan sepatu flat sehingga memudahkannya berjalan meski terburu-buru.
Suasana mall terlihat ramai hampir menyerupai suasana akhir pekan, padahal kalau dipikir saat itu sedang hari kerja. Mungkin event tukar novel bestseller milik penulis kondang, Andrea Hirata, membuat para pembaca setianya menyempatkan diri mencuri waktu untuk hadir. Dan kalau dipikir lagi, pihak penyelenggara yang hanya menyediakan 30 eksemplar novel versi hardcover ini, sepertinya tidak memprediksi keramaian ini. Pastinya mereka pun sebenarnya sengaja tidak mengambil waktu di akhir pekan agar suasana kondusif terjaga.
Dasarnya manusia zaman sekarang haus akan gratisan tentu tidak akan melewatkan kesempatan langka semacam ini. Dan disinilah Ayuna, berbaur dengan keramaian dengan tujuan yang sama, tukar novel.
Ayuna terus melangkah cepat tanpa memperhatikan kanan-kiri, di dalam pikirannya ia fokus ke tujuannya menuju kafe Excelso terlebih dulu untuk menemui Pingkan. Ketika sepasang matanya menangkap sosok Pingkan yang tengah duduk manis dan melambaikan tangan padanya, Ayuna memaksakan diri berlari kecil dengan girang. Ia rindu dengan sosok perempuan yang sudah lama tak ditemuinya itu walaupun mereka berada dalam satu kota. "Mbak Pingkan!" seru Ayuna.
"BRUKKK!"
Tubuh tinggi milik Bagas tak sengaja menabrak tubuh mungil milik Ayuna ketika keduanya sama-sama tidak memperhatikan jalan masing-masing. Bagas yang juga ingin menuju kafe yang dituju Ayuna terlalu sibuk mendengarkan suara nyanyian merdu yang memekakkan telinga milik Ibunya dari gawai. Sang ibu kesal mengetahui Bagas pergi begitu saja tanpa berpamitan. Bagas memang tadinya bersemangat untuk ngopi di mall mengingat ia sedang libur di hari kerja, ini langka dalam hidupnya.
Buku novel yang sedari tadi dipeluk Ayuna melayang di udara dan sungguh ajaib mendarat sempurna di kubangan air yang memenuhi sebuah ember milik petugas kebersihan mall di sekitar mereka. Bahkan petugas mall yang tadinya sibuk mengelap kaca besar dihadapannya seketika terperanjat, terlebih lagi Ayuna.
"Laskar Pelangiku...." batin Ayuna lemas.
Bagas pun terperanjat hingga ia tanpa sadar langsung menutup saluran panggilan di gawainya tanpa berpamitan.
"Waduh, ONE SHOOOOT!" pekik Bagas dalam hati.
Bagas segera menghampiri Ayuna yang sudah menatap linglung pada novel kesayangannya. Novel tersebut basah kuyup di genggaman tangan pegawai kebersihan. Dibuang sayang, diambil pun untuk apa?
"Mbak, maaf yaa... Begini saja, saya akan belikan yang baru." ucap Bagas hati-hati dan berusaha solutif.
"Nggak usah, tadi memang saya salah, nggak lihat jalan." ucap Ayuna lirih tanpa melihat Bagas sedikitpun.
"Hah?" gumam Bagas sambil memperhatikan perempuan di depan matanya dengan seksama. Bagas terpancing menganalisa keadaan, bahkan jika dalam situasi ini mereka berdua bersalah, setidaknya perempuan ini jauh lebih merugi daripada dirinya. Perkiraan Bagas perempuan ini akan mengamuk dan menghujaninya dengan ribuan kosakata gratisan. Tapi perempuan ini malah mengambil sikap yang tenang dan.....
PASIF!
Perempuan di depan matanya ini memang lebih terlihat linglung dan mendadak seakan berada pada fase perenungan yang dalam.
Yaa, Ayuna memang sedang merenung, seharian ini ia merasa ada saja mengalami kesialan. Bagi Ayuna, apa yang ia dapatkan saat ini mungkin hukuman Tuhan akibat ego receh yang dikuatkannya dimana ia sedikit memaksa Irwan, suaminya, untuk mengizinkannya pergi menikmati hari sendiri. Ayuna juga sekelibat teringat Hasan dan Husein yang dititipkannya pada Ibunya. Mungkin seharusnya Ayuna berada di rumah saja bermain dengan kedua anaknya.
"Nggak Mbak, saya bersikeras mau menggantinya." ucap Bagas lagi menyadarkan Ayuna dari lamunan.
Novel pada akhirnya mau tidak mau berakhir di tong sampah dan Ayuna pun dalam keheningan menoleh menatap wajah Bagas.
"Bagas?" suara lirih akhirnya memecah keheningan, mencoba memastikan bahwa sosok pria yang berdiri itu adalah Bagas yang dikenalnya.
***
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
DESIRAN
Romance[TAMAT] NOTE: EXTRA PART COMING SOON! Jika Ayuna adalah seorang perempuan yang terlalu banyak menggunakan perasaan hingga hatinya babak belur, maka Bagas sebaliknya adalah seorang pria yang memilih mengabaikan perasaan hingga hatinya pun seperti me...
3. Pertemuan
Mulai dari awal