"Abang Tirta, itu Mama Ara. Minggu depan kita main kesini lagi ya," ajaknya.
Tirta mengangguk.
Ara berlari dan tidak lupa melambaikan tangan pada anak lelaki baik hati yang telah memberikan ice cream pada dirinya tadi.
"Den, mari kita pulang. Sudah sore, takut Nyonya dan Tuan sudah pulang juga."
Tirta menoleh. Ternyata supirnya.
"Oh iya pak," lalu Tirta berjalan untuk meninggalkan taman itu.
Tiba-tiba ada orang menjerit dan hal itu berhasil membuat Tirta kaget.
"Tolong! Ada anak kecil ketabrak!"
Tentu saja hal itu membuat Tirta langsung teringat dengan Ara. Karena dia melihat tadi Ara berlari ke seberang jalan untuk menemui Mamanya.
"Pak, kita kesana dulu. Teman Tirta itu," rengek Tirta pada supirnya.
"Den, itu kecelakaan. Kita jangan kesana ya," jawab Pak Supir.
"Nggak pak. Itu teman Tirta. Ayo pak," Tirta langsung menangis tersedu-sedu sambil menarik tangan supirnya.
Tapi supir Tirta tidak menghiraukan anak dari majikannya itu. Lebih baik dia menggendong dan membawanya pulang dari pada dia dimarahi oleh kedua majikannya nanti.
Tirta menangis sejadi-jadinya sampai dia pingsan.
Flashback Off
"Ara!" tiba-tiba Adnan berteriak dan terbangun dari tidur karena mimpi buruk yang baru saja dialaminya.
Aneh, sudah sering sekali dia bermimpi seperti itu. Dia bahkan bisa mengetahui nama anak perempuan dalam mimpinya tapi tidak dengan wajahnya.
Setelah terbangun dia memutuskan untuk langsung mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat subuh.
Walaupun sudah menjadi seorang pimpinan perusahaan besar, hal itu tidak lantas membuat Adnan melupakan kewajibannya sebagai seorang muslim. Dia tetap melaksanakan shalat lima waktu tanpa pernah meninggalkannya sekalipun.
Adnan selalu teringat dengan pesan terakhir mendiang Ayahnya.
"Kalau lelaki itu akan jadi pemimpin dalam keluarga. Kalau pemimpinnya tidak kokoh dalam hal agama, maka runtuhlah rumah tangga."
Dan sampai saat ini Adnan tetap berpegang teguh pada prinsip yang ditanamkan ayahnya dari dulu.
Ketika mengingat pesan itu Adnan kembali mengingat kenangan lain seperti permintaan maaf ayahnya sebelum dia meninggal. Ayahnya selalu meminta maaf pada putra kebanggaannya itu karena merasa gagal menjadi orang tua yang selalu memperhatikan perkembangan anak semata wayangnya bahkan selalu jarang untuk bertemu. Ayah Adnan juga merasa bahwa Adnan tumbuh dewasa tanpa kasih sayang yang cukup. Hal itulah yang membuat almarhum ayahnya selalu merasa bersalah pada Adnan.
Sempat terpikir dalam benak Adnan, kenapa orang tuanya selalu meninggalkan dia dirumah hanya dengan asisten rumah tangga dan supir pribadinya.
Tapi Adnan faham sekarang, bahwa orang tuanya sedang bersusah payah untuk mencukupi kehidupan mereka dengan cara bekerja yang tidak kenal waktu. Dan hasil itu sudah terlihat sekarang. Gedung besar milik Cakrawala Corp, adalah salah satu bukti nyata kerja keras orang tua Adnan.
Selesai memanjatkan doa Adnan langsung turun ke lantai bawah rumahnya untuk berolahraga. Dia memutuskan untuk berenang saja hari ini. Adnan memang sangat suka berenang. Karena dia mengetahui olahraga yang satu ini dari mendiang ayahnya juga. Dan menurutnya, berenang bisa menjernihkan pikiran karena lelah dengan pekerjaan di kantor yang semakin hari semakin membuatnya sibuk.
Tiga puluh menit kemudian Adnan sudah siap dengan pakaian santai tapi tidak melupakan kesan casual pada dirinya. Dia berencana akan pergi ke supermarket untuk membeli beberapa bahan makanan yang telah habis persediaannya.
Adnan memang sudah terbiasa untuk berbelanja bahan masakan sendiri. Tapi, jangan berpikir bahwa dia tidak memiliki asisten rumah tangga, karena sudah pasti dia memilikinya. Bahkan Adnan mempunyai sekitar lebih dari sepuluh asisten rumah tangga. Yang terdiri dari tukang kebun, tukang cuci baju, supir, juru masak, tukang setrika dan sebagainya.
Tidak mungkin juga bagi Adnan yang memiliki rumah sebesar itu mampu membereskannya sendirian. Apalagi dia seorang pimpinan perusahaan besar yang sangat sibuk di kantor.
Namun, lain hal nya ketika soal berbelanja bahan masakan, biasanya dia lebih memilih untuk berbelanja sendiri dari pada meminta tolong pada asistennya. Alasannya sederhana, karena Adnan menyukai hal itu.
Pakaian yang dipilih Adnan hari ini adalah sebuah jaket hitam berkerah serta kaos merah bertuliskan angka 92. Kaos itu merupakan kaos kesayangan miliknya yang dia beli di Bandung dua tahun lalu.
***
Hari ini Rani sengaja bangun lebih pagi karena sudah ada janji bertemu dan berjalan-jalan dengan Adin.
Dan sekarang dia sudah sampai ke tempat dimana dia bertemu Adin kemarin. Dilihatnya jam yang melingkar di tangannya.
"Baru jam 08.45 ternyata," gumamnya.
Lalu dia duduk di kursi dan dengan posisi yang sama seperti kemarin. Dia betul-betul menikmati pemandangan indah di depan matanya sekarang.
"Mbak Maharani Atmajaya!"
Rani langsung menoleh ke arah suara yang terdengar memanggilnya itu. Ternyata dia adalah Adin. Orang yang sedang ditunggunya.
Lelaki itu langsung duduk di sebelah Rani dan tersenyum.
"Pagi Mbak, udah lama ya?"
"Baru aja sampe. Ngomong-ngomong kamu bisa nggak manggil aku jangan lengkap banget gitu? Aneh tau rasanya," jawab Rani.
"Terus aku harus manggil Mbak siapa dong? Mbak aja nggak ngasih tau nama panggilan Mbak siapa," jelas Adin. Dia sebernarnya tadi juga bingung mau memanggil temannya itu dengan sebutan apa. Jadilah dia memutuskan untuk memanggil nama lengkapnya saja. Seperti yang Rani perkenalkan kemarin.
"Iya juga ya," balas Rani lalu tersenyum. "Kamu juga sih nggak nanya dulu," sambungnya lagi.
"Yah, Mbak sih nggak peka orangnya. Harusnya itu langsung kasih tau aja. Apalagi kemarin kan aku baru selesai ujian. Jadi nggak kepikiran."
"Apa hubungannya ujian sama lupa nanya nama panggilan?" tanya Rani kebingungan.
"Baru aja kenal Mbak, udah ngomongin hubungan. Agresif deh," ledek Adin dan langsung di hadiahi pukulan dari Rani. Lagi, lelaki itu hanya tersenyum.
"Ih. Nggak lucu. Buruan kasih tahu," ancam Rani.
"Ya kan kemarin aku baru selesai ujian. Jadi otak di dalam kepala ku ini masih berasap. Makanya lupa mau nanya nama panggilan Mbak."
"Ah bisa aja kamu. Masa iya otak bisa berasap," ujar Rani.
"Bisa dong. Mbak aja kemarin nggak lihat.Sibuk melamun sih. Mikirin apa coba?" tanya Adin pada gadis yang duduk di sebelahnya ini.
"Em... Sebenarnya," ucap Rani.
Hallo my readers. Selamat membaca karya sederhana seorang author amatiran ini. Kalo ada kritik ataupun saran, tinggalin aja di kolom komentar ataupun bisa langsung DM. Xoxo
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Terbaik untuk Maharani
RomanceKetika sebuah takdir tidak pernah terpikir dalam logika. Maka mengikhaskan adalah hal yang paling penting dalam sebuah realita. -JODOH TERBAIK untuk MAHARANI-
Part 6
Mulai dari awal