Saat sedang mencari tiket penerbangan menuju Bangkok, agennya datang dan Alex menyerahkan lukisan-lukisannya pada pria setengah baya itu. Gerakannya terhenti ketika dia melihat lukisan Haken dan Isla di tengah hutan.
"Apa itu juga akan dijual?" tanya sang agen. "Aku yakin akan laku dengan harga lumayan. Aku suka nuansa pasangan di sana."
Alex tidak langsung menjawab. Tangannya mengambil kanvas itu dan mengamatinya. Sampai saat ini, dia tetap merasa itu hanya mimpi. Haken adalah perwujudan dari rasa bersalahnya karena meninggalkan tanggung jawab. Kalau tidak, bagaimana mungkin kondisi mereka begitu mirip? Mereka sama-sama tidak ingin memikul beban tanggung jawab menjadi pemimpin bagi orang lain. Sama-sama ingin melarikan diri. Haken ke Dunia Kedua dan Alex ke Asia.
Pemuda itu tersenyum pedih. Dia sama menyedihkannya dengan Haken.
"Bawa saja. Aku butuh setiap sen yang dihasilkan oleh karyaku," ucap Alex sambil menyerahkan lukisan itu. Jika dia ingin memutus masa lalunya, dia harus membuang segala yang bertautan. Jelas, dia tidak akan menyimpan lukisan yang mengingatkannya pada rasa bersalah karena dia memilih meninggalkan tanggung jawab. Meninggalkan Sienna yang menjadi bukti kegagalannya.
"Transfer saja ke rekening biasa. Ini akan menjadi karya terakhirku yang aku jual melaluimu. Aku akan pergi jauh."
Agen setengah botak itu mengangkat alisnya. "Sayang sekali! Padahal kau mulai mendapatkan nama. Beberapa kolektor menyukai lukisanmu."
Alex tersenyum sopan. "Yeah, aku akan mencoba peruntunganku di tempat lain. Kalau memang karyaku memang sebagus itu, pasti akan diterima di tempat lain. Seperti katamu, seni itu universal. Senang berbisnis denganmu." Dia mengulurkan tangan yang langsung dijabat oleh sang agen dengan hangat.
"Sampai berjumpa lagi. Nanti aku akan kabari hasil penjualannya." Agen itu mengangkut lukisan-lukisan Alex dan berjalan keluar dari apartemen.
Alex dapat mendengar suara mobil dinyalakan sebelum menjauh. Dia menunggu beberapa saat sebelum dia berjalan turun sambil membawa tas punggung dan mengambil sepeda. Nanti saja dia menyelesaikan beres-beresnya. Shiftnya akan dimulai satu jam lagi dan dia bisa memesan tiket di sela-sela waktu istirahatnya. Satu kayuhan kuat dan Alex sudah membaur dengan lalu lintas kota Los Angeles.
Sandra jelas terkejut mendapatkan surat pengunduran diri dari Alex dan memarahi pemuda itu karena tidak memberikannya kesempatan untuk mengadakan pesta perpisahan. Alex harus rela dirinya diciprati krim sebagai pesta kecil-kecilan sekaligus hukuman karena mengundurkan diri mendadak. Sandra harus mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Alex sampai mereka mendapatkan pengganti.
"I'm gonna miss you, a lot," ucap Alex seraya memeluk wanita yang telah begitu baik. Sungguh tidak bisa dibayangkan bila beberapa bulan lalu Alex tidak mengenal siapa pun di sana dan kini dia memiliki seorang yang bisa diandalkan.
"Kirimkan foto dan e-mail! Awas kalau kamu menghilang seperti hantu." Sandra balas memeluk dengan erat lalu menepuk-nepuk punggung pemuda itu. Alex tertawa kecil sebelum melepas Sandra dan ganti memeluk rekannya yang lain.
Jam menunjukkan pukul satu malam ketika Alex berhasil melarikan diri dari sergapan teman-temannya yang masih ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengannya. Ketika dia keluar dari pintu belakang, sesosok familiar telah menyapanya.
"Sepertinya kau memiliki banyak teman baik," ucap Illa sambil tersenyum.
"Menunggu lama?" Alex langsung menghampiri pria itu sambil menuntun sepedanya. Dia menyempatkan diri untuk melambai pada teman-temannya, termasuk Sandra, yang pergi lebih dulu.
"Tidak juga. Kita jalan saja, nanti jika sudah bosan, aku bisa membawamu langsung ke apartemen."
Alex mengangguk. Kadang dia tidak paham dengan pola pikir Illa. Pasti menyenangkan bisa bepergian ke manapun dan kapan pun tanpa memakan waktu, tapi sering kali Illa memutuskan untuk memakai transportasi umum. Tak jarang juga pria itu meminta mereka berjalan kaki sementara mata hitamnya mengamati kehidupan yang bergerak cepat di sekitarnya. Alex menutup mulutnya dan menuntun sepeda di samping Illa, berjalan melintasi trotoar yang tidak sepenuhnya sepi bahkan di tengah malam sekali pun.
"Bermimpi lagi?" tanya Illa basa-basi membuka pembicaraan. Dia jelas mendengar pesan yang ditinggalkan Alex tadi siang.
"Yeah." Alex terdiam sejenak, menikmati udara malam. Angin bertiup pelan memberikan hawa segar sementara lampu-lampu menerangi kota yang terus berdetak penuh kehidupan. "Tetap tentang Haken. Aku berpikir, mungkin ini semua hanya alam sadarku yang berulah."
Kali ini Illa yang tidak langsung menjawab. Matanya memandang kejauhan, ke arah jalan di mana mobil masih sesekali lewat ditimpali teriakan para pemuda yang menikmati kehidupan pesta. Rasanya sulit membayangkan kalau mereka dan Alex seumuran. Pemuda yang berjalan di samping Illa tampak begitu dewasa sementara yang lain masih sibuk mencari jati diri atau bersenang-senang.
"Apakah Lady Bedelzve mengatakan sesuatu?" Alex melontarkan pertanyaan lagi ketika Illa tak kunjung menjawab.
Illa menoleh dan memandang Alex. Langkah kakinya terhenti, membuat Alex tidak memiliki pilihan selain ikut diam.
"Paman Illa?" panggil Alex pada Illa yang masih diam. "Apa terjadi sesuatu?"
Diam lagi, membuat Alex bertanya-tanya apa yang akan dikatakan oleh Illa. Pria itu mengambil napas dalam lalu membuka mulutnya hendak menjawab.
Siapa yang setuju dengan Alex kalau Haken bucin?
Kira-kira apa yang akan dikatakan Illa soal mimpinya Alex ya? Hehehhee
Aku masih berjuang update dan nulis selama MWM! Doakan cerita ini bisa tamat segera!
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Dunia Kedua
Fantasy[Romance Fantasy] 15+ "Sanggupkah kau melawan semesta yang menentang kita?" Haken, ketua suku Haka berelemen api, bertemu dengan Isla, gadis dari suku Shui yang berelemen air. Legenda berkata, bencana besar akan terjadi ketika kedua suku bersatu...
Chapter 17
Mulai dari awal