Aku menengadah sambil bangkit berdiri, pandanganku dengan laki-laki dihadapanku saling temu.

“Maaf ya.” Katanya.

Untuk sekian detik aku larut terbawa suasana menatap manik matanya yang hitam serta alis tebalnya yang terukir tegas, “Heh. Aku seharusnya minta maaf karena sudah menabrakmu. Maaf, aku kurang hati-hati tadi pas mau berbelok.”

Dia tersenyum lalu mengulurkan tangannya padaku, “Tidak apa-apa. Kenalkan aku Alaska. Bisa kamu panggil Al atau Aska. Dan namamu?”

A-l-a-s-k-a. Namamu bagus. Aku terdiam sebentar, memperhatikan tangan yang terulur padaku. Kemudian membalas jabat itu, “Aku Ileana. Panggil saja Ana. Oh iya, ini bukumu.” Aku menyodorkan kembali novelnya ke Alaska.

Dia menggapainya, “Novel ini kupinjam disini. Aku mau kembalikan.”

“Hmm, sebenarnya novel itu sudah lama kuminta agar bang Afi mencarinya untukku.” Jawabku jujur sambil terkekeh. Kami melanjutkan langkah berdampingan menyusuri lorong.

“Ah, jadi kamu perempuan yang dimaksud bang Afi. Kalau begitu ini novelnya. Kamu tidak kesal-kan karena aku meminjamnya duluan?” Alaska memberi novel padaku. Aku menerimanya sedikit canggung.
“Nggak apa-apa. Yang penting bukunya udah ada di aku.”

Alaska menjabarkan sekilas padaku mengenai alur cerita novel Pride and Prejudice. Meski terkesan, ia membocorkan bagian klimaksnya.

Aku suka jenis suaranya jelas namun halus di dengar. Seandainya aku tidak perlu lanjut ke sekolah. Pasti obrolanku dan Alaska bisa melantas panjang, mungkin kita juga bisa bahas hal lain. Semisal, bertukaran nomor telepon atau janjian bertemu di lain waktu. Ileana, kamu baru mengobrol dengannya 20 menit. Tapi sudah berharap aneh-aneh.

Sayangnya lelaki itu tidak menawarkan hal demikian. Sebagai perempuan yang gengsian, aku tidak punya nyali mau meminta nomor telepon atau mengajaknya bertemu lagi.

Aku berpamitan ke bang Afi dan Alaska. Langkahku rasanya berat meninggalkan toko baca itu. Entah mengapa, untuk pertama kali dalam hidup aku punya pikiran ingin bolos sekolah dan mengobrol dengan lelaki itu.

Astaga! Apa namanya jenis perasaan ini? Jatuh cinta pada pandangan pertama? Bukan. Bukan. Kurasa belum sampai kearah sana. Mungkin karena aku merasa cocok saja dengan Alaska. Dia juga candu pada dunia sastra terutama buku. Selama ini aku belum bertemu manusia yang sama candunya baca buku sepertiku. Iya, alasannya pasti karena itu.

Kurang lebih sepuluh langkah keluar dari toko buku baca. Alaska memanggilku di muka pintu. Aku menoleh lantas ia setengah berlari ke arahku.

“Boleh aku minta nomor teleponmu?”

Aku tercengang mendengarnya. Dia bisa baca pikiran manusia?

“Tidak boleh ya?”

“Boleh kok.” Justru ini yang aku harapkan.

Dia menyodorkan ponselnya padaku yang ia ambil dalam saku baju seragam abu-abunya, “Ini.”

Sesudah menyimpan nomorku di ponselnya. Alaska tersenyum takkala aku mengembalikan ponsel. Mendadak tubuhku ingin meleleh menyaksikan senyum itu atmosfernya sama seperti berada di tengah-tengah gurun sahara.

“Makasih. Semangat belajarnya, Ana.” Ucap Alaska.
Kayaknya aku beneran sudah meleleh deh. Lalu tubuhku melebur di antara pasir gurun sahara.

Aku diam. Mau memberi respon kalimat lidahku kelu. Jadi, aku hanya mengangguk dan senyum sekilas.

Kemudian, aku berbalik, melanjutkan langkah. Tapi seakan ada magnet yang secara paksa ingin membawa tubuhku kembali ke depan toko buku baca.

¤¤¤

Di jam istirahat aku langsung ke perpustakaan. Duduk di bangku pojok dekat jendela sambil membaca buku Pride and Prejudice, tidak ada tempat hening dan paling nyaman untuk membaca selain di perpus. Aku tidak mengajak Vanilla sebab sudah pasti gadis itu menolak. Dia suka bersin-bersin kalau lihat banyak buku, semacam alergi dengan bau buku. Beda dengan Rasi, ia pasti semangat 45’ kalau aku mengajaknya ke perpus. Meski niatnya bukan untuk membaca tapi karena mau tidur. Ah, betapa aku rindu pada sahabatku ku yang satu itu.

Ada ingatan yang tiba-tiba terlintas dalam pikiranku. Wajah Alaska yang sedang menceritakan plot novel pride and Prejudice ditambah senyumannya di depan toko buku baca tadi pagi terhadapku. Ibaratnya teh, sudah manis meski tanpa gula. Buru-buru aku mengusir sosok Alaska dalam pikiranku.

“Kau harus mengizinkanku untuk memberitahumu betapa aku sangat mengangumi dan mencintaimu.”

Aku menoleh ke asal suara di sebelahku, si lelaki yang senang memakai jaket tentara milik ayahnya, “Kamu tahu buku ini?”

“Cuma tahu judulnya.”

“Tapi bisa hapal kutipan yang di ucapkan tokoh utama laki-lakinya.”

“Pernah lihat kutipan itu di kamar sepupuku.”

Kubalas dengan ber-Oh-ria lalu melanjutkan lagi membaca halaman novel.

Hening sebentar. Timur lantas membawa kursinya pindah ke sebelahku membelakangi jendela.
Aku menyerngit dahi, “Kok pindah?”

“Biar sinar matahari tidak menganggu fokusmu membaca buku. Silahkan lanjutkan membaca, tidak usah pedulikan aku.” Jawabnya.

Bagaimana mungkin aku mampu fokus membaca kalau dia terus memandangku tanpa pernah berkedip seakan sekali berkedip saja aku bisa hilang dibawa kabur orang!

Aku melirik setiap lima menit dan dia masih saja mencalangkan matanya, fokusku membaca jadi buyar. Aku menutup buku sarkas lantas menoleh kearah Timur, “Mulai sekarang aku mau buat peraturan ke kamu.”

“Iya, apa?”

“Lima menit tatap aku bayar sepuluh ribu.”

Dia tertawa ringan sembari mengeluarkan uang limapuluh ribu dari saku seragamnya, lalu menaruhnya ke atas buku, “Ongkos menatap kamu. Berarti aku sekarang punya 25 menit menatap kamu. Yang sebelumnya belum termasuk dalam hitungan ya. Kamu kan baru menetapkan peraturannya.”

Dasar manusia aneh! Kamu itu makhluk bumi tidak sih? Jangan-jangan alien yang disuruh mengganggu dalam duniaku.

Spontan aku menepuk lengan atasnya, tapi tidak keras. “Timur!”

Dia meringis dramatis, “Aduh! Sakit nona Ana.”

“Siapa suruh becanda terus.”

“Kamu mau aku serius?”

“Tahu ah! Tanyakan pada rumput yang bergoyang sana.”

Timur terkekeh, “Kamu tuh yang ngajak becanda terus.”

Aku mulai tidak santai menanggapi ucapan Timur, “Kapan?!”

“Pas kamu buat peraturan tatap kamu lima menit harus bayar sepuluh ribu. Kamu harusnya minta segala yang kupunya demi bisa menatapmu. Sepuluh ribu terlalu sedikit untuk kamu yang berharga buatku, Ana.”

Ini kenapa pasokan oksigen disekitarku menjadi hilang, aku merasa sesak napas. Jantungku meledak di dalam. Tolong. Jauhkan manusia satu ini dari dekatku. Bisa-bisa aku punya gangguan jantung dan pernapasan bila terus mendengarnya mengucapkan kalimat yang cukup membuatku besar kepala. Padahal pasti kalimat yang ia lontarkan barusan biasa saja. Tidak bermakna apa-apa untuknya.

“Ana, kok diam?” Timur mengibaskan tangannya ke depan mukaku.

“Modusanmu itu lancarkan saja ke perempuan lain jangan ke aku. Karena tidak mempan.” Padahal cukup mempan.

Lantas aku berdiri, mengambil uang limapuluh ribu dan buku di atas meja. uangnya ku masukkan ke dalam saku seragamku dan bakunya ku dekap. Lalu mengayunkan langkah meninggalkan Timur. Aku harus pergi dari perpustakaan secepatnya. Sebelum detakan jantungku terdengar ke telinga manusia itu.

¤¤¤

ORBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang