Sejak menginjakkan kaki di Pacitan enam bulan lalu, tidak banyak kegiatan yang dilakukan Agung. Baginya kehidupan di desa sangat monoton. Sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani maupun buruh tani, yang sehari-harinya bekerja di ladang. Kehidupan yang sangat berbeda dari yang selama ini dia ketahui saat hidup di Surabaya. Selain bermalas-malasan di rumah, terkadang Agung berkeliaran sekedar mencari angin segar dan cuci mata. Sesekali, Kusnan memaksanya ikut serta melihat-lihat tanah dan ladang milik keluarga. Sang ayah ingin menunjukkan semua aset keluarga karena suatu saat Agung yang akan mewarisi seluruh kepemilikan dan usaha Kusnan. Namun, tetap saja Agung tidak menunjukkan ketertarikan.
Untuk mengusir rasa jenuh, Agung setiap hari menyempatkan menulis dalam jurnal hariannya dan menggambar, yang merupakan dua kegiatan kesukaannya. Kadang kala saat berjalan-jalan lalu menemukan suatu titik yang menarik, Agung akan berhenti dan menggambarnya dalam buku sketsa yang selalu dia bawa. Sedangkan, kebiasaannya menulis adalah turunan dari sang paman. Pamannya selalu berpesan untuk selalu mencatat setiap kegiatan kesehariannya dan kejadian-kejadian penting agar tidak lupa. Dari kebiasaannya menulis jurnal, berkembang kepada gairahnya akan menulis. Apapun akan ditulisnya. Dan sejak pulang ke Pacitan, dia semakin rajin menulis. Tidak dapat dipungkiri, suasana asri dan tenang di desa memberinya banyak inspirasi.
Salah satu inspirasinya sekarang datang tidak terduga dua hari yang lalu, seorang gadis desa manis dan sederhana mampu membuat Agung terpesona. Mencari keberadaan sosok gadis itu adalah misinya, baru kali ini dia menunjukkan sikap antusias dan semangat sejak kepulangannya ke Pacitan.
Hari mulai sore, Agung sudah mulai merasa frustasi berpikir akan menyudahi pencariannya hari ini. Sebelum pulang ke rumah, dia membelokkan langkahnya ke arah sanggar tari milik kakak sepupunya, Puspa. Dari kejauhan saja, sudah terlihat sanggar itu ramai dengan anak-anak dan para gadis desa yang sedang berlatih menari. Agung mencari keberadaan Puspa yang ternyata sedang berbincang dengan salah satu guru tari lainnya di sudut sanggar.
"Tumben kamu kemari? Pasti menghindar dari bapakmu ya?" Puspa menggoda, begitu Agung menyapanya.
"Nggak kok Mbak. Aku bosan saja di rumah", Agung membela dirinya sendiri, "sudah selesai ngajarnya, Mbak?" Tanya Agung sambil melayangkan pandangan ke arah para murid Puspa yang kebanyakan sedang duduk bersantai di lantai.
"Belum, lagi istirahat sebentar. Tiga bulan lagi kita mau tampil, jadi mulai sekarang ini harus sudah serius latihannya." Puspa memberi penjelasan.
Agung hanya membalas dengan sebuah anggukan kepala.
"Mbak kemarin ke rumah, kata bulik kamu lagi pergi. Ke mana? Padahal mau aku ajak ke pantai lho kemarin itu." Puspa bertanya.
"Kemarin aku jalan-jalan sendiri Mbak. Biasa, cari angin." Jawab Agung nyengir.
"Jalan-jalan terus saja kamu ini, cari apa tho? Mbok ya sekali-kali bantu bapakmu. Siapa lagi yang bisa diandalkan bapakmu selain kamu, Gung?" Puspa memberikan ceramah.
"Aku cuman jalan-jalan saja, Mbak. Masak ya salah." Balas Agung kesal.
"Nggak sih, tapi daripada kamu melakukan kegiatan yang nggak jelas kan mending bantu-bantu bapakmu. Atau jangan-jangan kamu lagi tebar pesona sama perempuan-perempuan di sini. Hati-hati jangan macem-macem kamu, Gung. Bapakmu bisa murka." Ucap Puspa panjang lebar.
"Mbak ini, suka mikir yang nggak bener," balas Agung, "tapi sebenarnya aku memang lagi cari seorang perempuan, Mbak." Agung akhirnya berkata jujur.
"Tuh kan benar dugaanku. Perempuan mana yang kamu cari?" Puspa penasaran.
"Aku nggak kenal, baru hari Kamis kemarin ketemu di ladangnya bapak. Cantik anaknya. Mbak tahu?" Tanya Agung mengira kakak sepupunya memilik jawaban.
"Kalau perempuan tercantik di desa sini aku tahu siapa?" Puspa berkata sambil memegang dagunya.
"Siapa?" Agung menuntut jawaban segera.
"Aku dong." Puspa langsung menjawab dengan lantang, diiringi suara tawa lepas kedua saudara itu yang menarik perhatian para murid tari.
"Yang serius dong Mbak. Sudah dua hari ini aku muter-muter desa nyari dia, tapi belum juga ketemu." Nada Agung terdengar putus asa.
"Ciri-cirinya gimana?" Puspa bertanya.
"Tingginya kira-kira segini," Agung mengarahkan tangannya ke pundak, "rambutnya hitam panjang, tapi waktu ketemu rambutnya dikucir dua. Kulitnya sawo matang, matanya belo, bulu matanya lentik, hidungnya nggak mancung tapi nggak pesek juga. Pokoknya gitu wes Mbak. Kayaknya dia waktu itu ke ladang mau ketemu sama salah satu buruhnya bapak karena aku sempat lihat dia tolah-toleh kayak cari orang. Mungkin cari bapaknya." Agung memberikan penjelasan panjang.
Puspa berdiam sejenak, mencoba mencerna setiap perkataan dari adik sepupunya itu. Bisa saja ternyata Puspa tahu siapa yang dimaksud oleh Agung. Dia mencoba memilah-milah beberapa kemungkinan di dalam otaknya. Agung terlihat menunggu jawaban dengan sabar. Pandangan matanya tiba-tiba beralih dari Puspa ke arah kerumunan para murid tari yang ternyata sedari tadi memperhatikannya sambil saling berbisik-bisik satu sama lain.
"Ganteng ya?"
"Iya ganteng, anak kota itu."
"Oooo anaknya Pak Kusnan."
"Kamu tahu nggak namanya?"
"Nanti kita tanya Mbak Puspa ya, hihihihi."
Itulah beberapa percakapan dari para murid yang bisa didengar oleh Agung di tengah keramaian sanggar tari itu.
"Jangan-jangan itu Lestari." Ucapan Puspa mengagetkan Agung.
"Lestari? Benar dia Mbak?" Tanya Agung meyakinkan.
"Pasti dia. Bapaknya memang buruh tani yang kerja di ladang bapakmu. Dulu Lestari sempat jadi muridku di sini. Narinya lumayan bagus tapi dia..., " Puspa tidak melanjutkan kalimatnya.
"Kenapa?" Agung tambah penasaran.
"Lestari itu selalu menjadi bulan-bulanan warga desa. Kasihan dia. Cuman karena ibunya pergi dan nggak kembali, jadi beredar banyak gosip jelek. Ada yang bilang ibunya pergi cari kerja di kota terus nikah lagi, kabur sama laki-laki lain, nggak kuat hidup miskin, sama masih banyak gosip lain semacam itu. Lestari jadi ikut kena getahnya." Nada Puspa merendah mengingat perlakuan penduduk desa kepada Lestari.
"Kok aneh gitu? Kenapa warga sampai bergosip seperti itu, Mbak?" Agung tiba-tiba merasa kasihan kepada Lestari yang bahkan belum dikenalnya.
"Aku juga nggak tahu, Gung," Puspa mengangkat bahunya, "eh, coba kamu tanya ke Sekar tentang Lestari. Dia itu teman dekatnya Lestari. Malah setahuku, dia satu-satunya teman Lestari." Lanjut Puspa.
"Sekar anaknya mbok Wati? Anak perempuan centil yang kerja di rumahku itu?" Agung seakan tidak percaya.
Puspa menganggukkan kepalanya membenarkan.
Sekar dan sang ibu, Wati, sama-sama bekerja di rumah Agung sebagai asisten rumah tangga. Wati bertanggung jawab untuk segala urusan rumah dan Sekar ikut membantu. Meskipun masih berumur lima belas tahun, tetapi Sekar sangat rajin bekerja pada keluarga Agung. Hanya saja ada yang tidak disukainya, Sekar sering kali berusaha berdekatan dan mencari perhatian Agung. Itu membuatnya risih.
"Terimakasih infonya ya, Mbak. Aku pulang dulu. Jam segini mungkin Sekar masih ada di rumah." Agung bersemangat.
Setelah saling mengucapkan salam perpisahan, Agung langsung berlari pulang ke rumah. Pencarian yang sudah dua hari dilaluinya, akhirnya membuahkan hasil. Agung akan segera menginterogasi Sekar tentang Lestari begitu sampai di rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lestari [TAMAT~> terbit eBook]
Historical FictionJika saja sang ibu tidak meninggalkannya saat kecil, pasti kehidupan Lestari tidak akan seperti ini. Dikucilkan dari masyarakat sekitar hanya karena kesalahan yang dibuat oleh sang ibu. Namun, untung sang ayah mampu membesarkan Lestari hingga tumbuh...
- 2. Pencarian -
Mulai dari awal