"Mereka ada disurga."lirihnya tertunduk.

Wanita itu diam tidak bertanya lebih. Tanpa dijelaskan ia juga tahu maksud dari perkataan Shanum.

"Maaf, Ibu nggak bermaksud buat kamu sedih."

"Iya ibu,"

Setelahnya tidak ada percakapan diantara mereka. Shanum sibuk dengan pikirannya sekarang.

"Mulai sekarang, kamu bisa panggil ibu dengan sebutan Umi."ujarnya tiba-tiba.

Shanum mengerjap.
"Umi?"wanita itu membeo. Merasa aneh namun menyenangkan tatkala menyebut kata itu.

"Iya, kamu boleh anggap Umi seperti mama kamu sendiri."

Shanum tertegun. Menatap wanita itu dalam.
"Umi?"

Tanpa aba-aba Shanum berhambur memeluk wanita itu. Sudah lama ia tidak merasakan pelukan hangat seorang ibu. Rasanya sangat nyaman.

"Makasih,"Shanum terisak pelan. Wanita itu mengurai pelukannya.

"Sama-sama sayang,"

Tanpa sadar mereka sudah tiba pada tempat yang dituju. Terlalu asyik berbincang tadi.
"Itu mobil anak Umi."tunjuknya.

Shanum mengikuti arah pandang wanita disampingnya.

"Kita kesana,"

"Umi, Astaghfirullah. kaki Umi kenapa? Umi nggak papa?"pekik seorang pria yang menghampiri mereka dengan raut panik. Pria itu memasukan ponsel yang baru saja ia gunakan kedalam saku jeansnya.

"kak Abi. Jadi, Umi ini ibunya Kak Abi?"tanya Shanum tak menyangka.

"Sha, kok kamu bisa sama Umi?"bukannya menjawab Abidzar malah balik bertanya.

"Tadi pas asam urat Umi kambuh Shanum yang nolongin."bukan Shanum yang menjawab melainkan Umi Aisyah.

"Terus kenapa nggak telpon Abidzar aja?"

"Lowbat."katanya singkat.

"Sebentar, kalian saling kenal?" Umi Aisyah bertanya. Spontan keduanya mengangguk kompak.

Kini tatapan Abidzar tertuju pada wanita disebelah Uminya yang tengah menunduk.
"Sha, makasih udah bantuin Umi saya."ujar Abidzar tulus.

"Sama-sama Kak,"balasnya tersenyum manis.

"Umi masuk mobil dulu, Abidzar masih mau ngomong sama Shanum."titah Abidzar pada Umi Aisyah.

Wanita itu mengangguk.
"Shanum, Umi masuk dulu ya Nak. Semoga lain waktu kita bisa ketemu lagi."

"Amin..."

Suasana berubah menjadi canggung. Abidzar merasakan alat pemompa darahnya didalam sana bertalu hebat. Ia ingin berbicara, tetapi mulutnya seolah terkunci rapat.
Sementara Shanum, wanita itu menunduk dalam. Tak berani menatap pria dihadapannya.

"Sha," Akhirnya Abidzar berhasil membuka suara. Meski yang ia dapatkan hanya gumaman dari Shanum.

" Pake ketemu dia lagi. Malu banget... apalagi kalau inget kejadian ditaman kemaren."batin Shanum.

Abidzar menarik nafasnya dalam.
"Kamu kenapa sih nunduk terus?" detik itu juga Shanum mengangkat wajah.

"Memangnya kenapa?"

Abidzar mengusap tengkuknya, merasa ambigu dengan pertanyaan Shanum.

"Ya... enggak apa-apa sih,"

Shanum mengangguk.
"Shanum takut khilaf,"katanya.

Kening Abidzar berkerut, membentuk tiga lipatan disana.
"Khilaf kenapa?"

Arsha (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang