Claudia mendecak kesal. "Gua tegasin sekali lagi, gua itu gak pernah suka ataupun cinta sama dia dan gua udah gak perduli lagi. Udah deh gak penting banget pembahasan nya"

Sontak Revan, Nicho dan Reo tercengang

Lantas raut wajah Revan berubah menjadi penuh amarah, lalu ia bergegas pergi dari sana. Nicho yang tersadar bahwa Revan sudah melenggang pergi terlebih dahulu langsung menepuk pundak Reo untuk segera menyusul Revan.

*Flashback off

"Gua gak habis pikir, ternyata selama ini lu cuma di permainin sama dia" ucap Reo

"Gua bodoh kan?"

Nicho dan Reo saling tatap satu sama lain.

"GUA ITU BODOH!!" pekik Revan wajahnya pun kian memerah

"Van sekarang tenangin diri dulu okay?"

"Selama ini rasa tulus gua cuma buat kepalsuan semata dan gua baru sadar sekarang, dengan entengnya lu nyuruh gua tenang Re?" Revan menggelengkan kepala, "Gak akan bisa!"

Revan bangkit dari duduknya dan langsung menghantam kembali samsak itu dengan bertubi-tubi. Nicho dan Reo hanya bisa pasrah, membiarkan Revan meluapkan seluruh emosinya lantaran mereka sudah tak tahu lagi harus bagaimana.

****

Sirine ambulan terdengar nyaring memasuki pekarangan rumah sakit. Para suster pun segera berdatangan.

Sepanjang koridor Nadiva tiada henti-hentinya menangis, sembari mengusap-usap punggung tangan Rachel yang telah berlumuran darah.

"Hhel... Ggua.. m..mmohon... bbertahan..." lirih Nadiva dengan getir

Sesampainya di ruang ICU salah satu suster memberhentikan langkah Nadiva dan menyarankannya untuk tidak masuk kedalam. Nadiva sempat menolak namun suster itu tetap saja tidak mau mengizinkan. Hal itu membuat Nadiva semakin menangis histeris. Ia menjatuhkan tubuhnya sambil menghentak-hentakan kaki dan tangan.

"Ini semua salah guaa! Harusnya gua gak ngebiarin Rachel celaka, GUA GAK BECUS BANGET JADI SAHABAT!!" teriak nya

Tak perduli sama sekali dengan orang disekitar yang kini tengah memandanginya dengan tatapan aneh.

"Gua harus ngomong apa sama orangtuanya Rachel"

Nadiva segera mengeluarkan handphone mencari nomor seseorang lalu menelfon nya.

"Hallo"

"Aku butuh bantuan kamu sekarang juga"

****

"Gua sama Liska gak mau ya ikut campur sama masalah lu ini!"

Claudia memberhentikan mobilnya dengan mendadak.

"Ya gak bisa gitu dong kita udah sepakat kerjasama dari awal"

"Tapi semua kan juga rencana lu sendiri" sahut Liska

"Oh jadi gitu kalian gak mau disalahin?ngebiarin gua yang tanggung ini semua tega ya kalian!"

Dian menggeram kesal. "Bukan gitu Clau harusnya tuh lu gak perlu ngelakuin hal gila kayak tadi itu gak termasuk dalam rencana"

"G-gua refleks, lagian juga gua gak sengaja ngedorong dia namanya juga emosi"

"Terus sekarang harus gimana coba, kita gak mungkin diam aja bisa-bisa kita dilaporin ke polisi!" ucap Liska merasa panik

Claudia terdiam sebentar memikirkan cara agar bisa lolos dari permasalahan ini. Tak butuh waktu lama Claudia segera menjalankan mobil dengan kecepatan tinggi.

****

Semua mata tak terlepas pada pintu ICU. Sintya, menangis histeris sambil menyebut nama Rachel. Pasalnya sudah lama dokter maupun suster tidak keluar sama sekali dari ruangan sejak kedatangan mereka.

"Kita terus berdoa ya ma, ayah yakin Rachel bisa bertahan" ucap Hardi sembari mengelus pundak sang istri

"Gua bukan sahabat yang baik!" gerutu Nadiva

Nicho tak tega jika Nadiva terus-terusan menyalahkan dirinya sendiri sambil menangis tiada henti, padahal kedua matanya sudah sangat sembab dan membengkak.

Jemari Nicho terangkat menghapus air mata Nadiva. "Hey ini bukan sepenuhnya salah kamu, stop nyalahin diri kamu sendiri"

"Tapi.."

Sontak Nadiva terkejut, lantaran Nicho yang tiba-tiba menaruh kepalanya pada dada bidangnya.

"Sstt.. tenang ya kamu itu orang yang baik. Jangan berpikir seolah-olah kamu yang jahat disini, itu salah besar"

Disamping Nicho, Revan sedaritadi mengepalkan kedua tangannya mendengar cerita Nadiva tadi bahwa Claudia yang telah menyebabkan Rachel celaka membuat emosinya semakin tak terkendali.

Tanpa sepatah kata pun Revan langsung melenggang pergi. Jangan tanya Reo kemana dia sedang bersama Zalva saat ini, awalnya Reo merasa tak enak namun dirinya sudah berjanji terlebih dahulu pada Zalva.

Dilain tempat Ari baru saja memasuki rumah sakit, berlari terbirit-birit menuju ruang ICU sendirian tidak ditemani oleh Azka. Saat berbelok arah Ari berpapasan dengan Revan, lantas merekapun saling menatap satu sama lain.

Ari mengerutkan keningnya, mengapa wajah Revan seperti orang emosional.

"Kenapa lu?" tanya Ari

Tanpa menjawab Revan langsung melangkah pergi.

"Dih aneh"

Ari segera melanjutkan perjalanan nya. Ia memasuki lift lalu menekankan tombol Lantai 4. Setelah sampai Ari melihat keberadaan dari orangtua Rachel dan langsung menghampirinya.

"Bu gimana kondisi Rachel sekarang?" tanya Ari pada Sintya

Sintya hanya menggeleng pelan, hal itu membuat Ari semakin khawatir.

"Sampai sekarang dokter belum juga keluar nak" jawab Hardi

Ari hendak membuka mulut untuk menanyakan sesuatu pada Sintya dan Hardi, lantas ia urungkan karena merasa tidak enak hati. Ari memutuskan untuk mendatangi Nicho dan Nadiva.

"Rachel kenapa sampe kayak gini!?"

Nicho mendekati Ari lalu membisikkan nya.

"Brengsek!" umpat Ari dengan volume suara kecil

Kemudian dokter keluar dari ruangan.

"Gimana dok keadaan anak saya?" tanya Hardi

Dokter yang bernama David itupun memandangi Sintya dan Hardi bergantian lalu menghembus napas berat.

"Aa..anak.. ss..saya baik-baik aja kan dok?" ucap Sintya

Nadiva, Nicho dan Ari segera berjalan mendekati dokter David.

"Kami sudah melakukannya dengan semaksimal mungkin, tapi maaf.."

Dokter David memberhentikan perkataan nya hal tersebut membuat orang-orang yang berada dihadapannya semakin was-was.

"APA DOK!?" lantang Ari merasa geram pada Dokter David

Gadis Senja [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang