"Kepo banget ya anda, masak harus ngasih tau kalian sih apa harapan gue."

"Gue tebak, pasti harapan lo pengen jadi jodohnya Haruto kan?" Tebak Somi cepat.

"Ih tanpa gue berdoa tujuh hari tujuh malam pun tuh anak bakal jadi jodoh gue."

"Sombong banget, gue doain lo di php in sama Hartono." Sinis Miya. Ya gimana ya, tuh anak sensi mulu dari tadi.

"Biasanya doa orang teraniaya itu manjur Qi.." celetuk Aruna, Miya pun segera menjitak pelan dahi gadis itu, "Jadi maksud lo gue orang teraniaya gitu?!"

"Gue gak bilang kalau itu lo ya.."

Qiana tertawa kecil melihat keributan yang diciptakan oleh para sahabatnya. Selama ini, hanya mereka yang selalu hadir menemani dirinya yang kesepian, walau kadang mereka selalu julid dan suka bully orang sembarangan, tapi percayalah, hati mereka tak sejahat itu. Hanya perlakuan kecil saja cukup membuat Qiana merasa tersentuh, kadang ia berpikir, jarang ada teman yang rela bangun tengah malam hanya untuk datang memberinya kejutan. Rata-rata pasti hanya mengucapkan selamat pada hari besoknya, atau paling tidak memberi kejutan saat disekolah.

"Makasih ya guys, kalian emang paling the best pokoknya." Qiana mengacungkan dua ibu jarinya sambil tersenyum manis.

"Kalau udah gede jangan manja lagi, jadi cewek juga jangan lemah. Kayak gue nih, strong.."

"Stess tak tertolong kan Na?"

"Sialan."

"Ahahaa.."

Malam ini, cukup dengan hadirnya mereka hati Qiana sudah menghangat. Mungkin akan lebih hangat lagi jika ada orang terkasihnya disini.

"Kira-kira Mama Papa inget gak ya kalau hari ini gue lahir ke dunia :/"

***

Gunanya punya pacar apa sih kalau gak saling memanfaatkan? Manusia kan makhluk sosial, jadi ya wajar kalau saling membantu dan menguntungkan. Sama juga seperti pacaran, setuju atau tidak, pacar itu hanya manusia yang wajib  dimanfaatkan. Dimanfaatkan dalam hal apa saja, terserah kalian.

Dan kini, Aruna tengah menunggu Jihoon menjemputnya. Namun Jihoon tak kunjung datang padahal jam sudah menunjukkan pukul tujuh kurang sepuluh menit. Yah sudah dipastikan ia akan terlambat nanti.

Tetap menunggu walau lelah.

"Loh Kakak belum berangakat?" Tanya Bunda Roje yang niatnya tadi mau beli sayuran malah lihat Aruna yang masih berdiri di depan gerbang.

"Belum dijemput Bun."

"Tapi ini udah jam tujuh loh, coba kamu telfon Jihoon."

"Udah Bun, tapi gak diangkat, mungkin dia lagi dijalan." Itulah untungnya memiliki pacar seperti Aruna. Terlalu positif thingking, tapi jatuhnya malah bego.

"Yaudah deh kalau gitu Bunda mau belanja dulu ya."

"Iya Bun." Sekali lagi ia mencoba menghubungi Jihoon, namun tak dapat jawaban. Dengan sedikit jengkel, ia berjalan menuju depan komplek berharap ada taksi yang lewat nantinya.

Namun sayang seribu sayang, jam segini taksi itu jarang lewat. Kalau naik angkot pun hidung Aruna terlalu manja sama bau angkot, kalau naik Bis juga sudah dipastikan hanya tinggal haltenya doang, Bisnya udah ngilang.

"Hah, yakali gue jalan kaki. Mana udah jam tujuh lagi. Tau gini gue tadi bareng sama Cla. Monyet emang, hah.." dengan mulut yang terus mendumel, Aruna berjalan menuju sekolahnya. Berharap sekali ada seseorang yang berhenti lalu menawarkan boncengan padanya.

"Ya Allah, jatuhkanlah pangeran__"

Tin.. tin..

Sebuah Motor sport ijo tiba-tiba berhenti disampingnya. Aruna menatap orang itu bingung, apa ini pangeran yang Tuhan jatuhkan untuknya?

Srett..

"Ayo naik." Aruna mendelik saat orang tersebut membuka helmnya.

"Yozi?"

"Ck, pake embel-embel Bang napa, gue kakak kelas lo."

"Oke, Bang Yozi, ngapain?"

"Ya mau berangkat sekolah lah, mau nebeng gak?"

"Yaudah deh ayo, aman nih gue gak bawa helm?"

"Aman, gue anak polwan. Tenang aja."

"Tante Hayi pindah profesi jadi polwan?"

"Iya, Polwan dirumah gue."

Ha???

###

High School WaijiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang