Awalnya, ayah Jelita menolak, tapi setelah Bahri bersedia memberinya uang sepuluh juta, restu pun hadir.
Jelita rela menikah hanya di KUA, yang penting ia punya perlindungan. Itu pikiran awalnya.
Namun, pernikahan indah itu hanya berjalan setahun pertama.
Bahri mulai tak luar biasa di ranjang, pun tak seromantis biasanya.
Tekanan ekonomi, kemiskinan, dan kekurangan harta membuat dia sering marah dan juga mudah lelah. Alhasil tak ada lagi romansa dalam pernikahan mereka.
Ejekan kawan-kawannya tentang Bahri tak bertuah karena tak mampu menghamili istri yang cantik, menjadi tekanan tersendiri juga bagi suami dari Jelita tersebut.
Amara ia tumpahkan pada istrinya yang lemah. Seolah lupa dengan curahan hati istrinya di masa silam, bahwa ia butuh perlindungan.
Jelita pun bekerja seperti dulu, jadi tukang cuci gosok dan dibawa ke rumah. Agar ketika suaminya pulang, ia tetap bisa melayani dengan sepenuh hati.
Namun, pertolongan istrinya itu tak dianggap ada. Jelita tak pernah lagi diberi uang, dengan alasan ia sudah punya penghasilan sendiri. Rasa syukur tak adanya anak kadang terlontar dari bibir tipisnya saat menghadap Illahi, karena ternyata pernikahannya tak seindah yang dibayangkan.
Baju yang ia kenakan sudah begitu lusuh. Sesekali ia membeli gamis baru dari gajinya, yang seharga enam puluh ribu rupiah. Bahri aka menyindir, minta dibelikan kaos baru juga.
Sebagai istri, ia hanya pasrah. Sama seperti ketika Bahri meminta jatah, lalu lelap setelahnya tanpa peduli istrinya puas atau tidak.
Wanita itu pun semakin kurus. Kemesraan yang Bahri tunjukkan di sosial media tentang bangganya punya istri cantik hanya bohong belaka. Karena sesungguhnya, suaminya itu seperti tak punya masa depan.
***
Hari ini Bahri mengajak Jelita ke reuni sekolahnya. Di sana, dia bertemu teman-temannya. Termasuk Reno, si pendiam yang jarang datang sebelumnya.
Reno termasuk yang paling sukses dari alumni sekolah ini. Dia memiliki usaha ekspedisi dengan sekian banyak mobil kontainer dan juga mobil yang mentereng dari yang lain.
Dulu, ia selalu malas setiap kali diajak reuni.
Bosan, karena teman-temannya hanya akan meminta bantuan dirinya untuk mendapatkan uang lebih. Termasuk Bahri si lelaki miskin yang memiliki istri cantik jelita.
Hanya saja, ia mulai penasaran dengan Bahri yang beberapa bulan ini rajin memamerkan istrinya itu. Penasaran, bagaimana wanita secantik itu bisa menikah dengan lelaki kere.
Di depan banyak orang mereka romantis, tapi tanpa sengaja, Reno melihat Bahri tengah memarahi istrinya.
"Ganjen kamu!" omel Bahri.
"Bukan ganjen, Mas. Namanya disapa masa Lita harus diam saja?"
"Sok kecakepan, pokoknya awas kalau lu sok baik lagi ama temen-temen cowok gue!" omel Bahri dengan ancaman dan bahkan mendorong kening istrinya dengan jari.
Kasar, sungguh tak pantas lelaki memperlakukan wanita demikian.
"Ada apa ini?" tanya Reno mendekat dan membuat Bahri salah tingkah.
"Enggak, Bro. Ini bini gue susah diatur banget," katanya.
"Udah lama kalian nikah?" tanya Reno menatap Jelita lalu pada Bahri.
"Dua tahun lah, tapi belum punya anak juga kita."
Reno terkekeh. Dia tahu Bahri sering marah-marah pada teman-temannya di grup jika dibahas kalau dia tak bertuah.
"Bulan madu ke mana pas nikah dulu, Mbak?" tanya Reno pada Jelita.
"Hmm, di-di rumah saja, Mas," jawab Jelita.
"Gimana sih? Istri cantik kok gak diajak bulan madu," kekeh Reno. "Nginep gih di villa gue. Gratis."
"Hah? Serius lu?"
"Iyalah, kasihan bini lu. Ini nomor telepon pengurus di sana. Bilang aja gue yang suruh, ntar gue hubungi dia juga." Reno pun menepuk pundak sahabatnya. Selanjutnya mereka membahas pekerjaan.
Lagi-lagi Bahri mengeluh dan meminta pekerjaan.
"Udah, senengin aja dulu bini lu. Kerjaan syukuri saja yang ada sekarang," katanya sambil melirik lagi pada Jelita yang menunduk sungkan.
Bahri sangat bahagia ketika bisa membawa istrinya ke villa yang mewah dan indah. Dia terus memotret dirinya berbagai pose dan lokasi, begitu juga Jelita tersenyum dengan bulan madu ke dua mereka.
Mereka pun masuk ke dalam kamar yang ditunjuk pengurus dan mulai mengulang malam pertama mereka. Namun, sama saja. Bahri tak pernah menunggu istrinya tiba pada puncak yang sama, selalu lebih dulu dan tidur setelahnya.
Tak peduli istrinya puas atau tidak. Hingga, lampu tiba-tiba mati.
"Ck, mati lampu, ya?" tanya Bahri saat hampir terlelap.
Jelita menyalakan ponsel miliknya yang masih model lama, bukan smartphone. Ponsel poliponik yang hanya bisa telepon dan sms saja.
Sementara itu, smartphone dibawa Bahri ke luar untuk menemui pengurus villa. Jelita pun terpaksa berada di kamar sendirian dalam keadaan gelap yang cukup pekat, hanya dirinya yang terlihat dari pantulan senter yang tak terlalu terang.
Merasa lama, ia pun mencoba membaringkan diri. Meski ada rasa takut di hatinya, tapi ia bahkan tak takut mati. Malah itu yang kadang ia pikirkan beberapa hari ini, agar segera mati.
Hingga pintu tertutup dan ia berusaha menoleh, tapi tak ada siapa pun. Ia pun mengira itu hanya perasaannya saja, ia kembali berbaring, tapi sebuah tengan melingkar di tubuhnya.
"Mas Bahri?" tanyanya lembut seperti biasa.
Tak ada jawaban, hanya kecupan dan sentuhan yang terasa. Kemudian sebuah kain menutup mata melingkari kepalanya. Menutup matanya.
"Ih, mulai deh terinspirasi dari tontontan sama teman-temanmu ya, Mas?" protes Jelita saat matanya ditutup dan suaminya itu mulai memuja dirinya lagi.
Jelita pasrah, karena jika ditentang Bahri akan memaki, bahkan melayangkan pukulan. Ia juga sudah sering meminta istrinya dengan berbagai trik ala video terlarang kiriman teman-temannya, dengan alasan agar dia bisa lama bertahan, tapi tetap saja hanya dia yang puas sendirian.
Ada hal yang berbeda kali ini. Tangan Bahri terasa kekar dan juga pipi yang sedikit berbulu. Sempat tersentuh Jelita, tapi kemudian dijauhkan.
Ia tak diberikan kesempatan untuk menyentuh lawan perjalannya, meski cemas mulai hadir saat merasakan sesuatu yang tak sama.
Ia lebih agresif. Dia juga seperti bertenaga lebih besar. Bahkan sesuatu yang terasa menyesakkan dan membuat sedikit perih, berbeda dengan suaminya yang begitu mudah melewatinya.
Bukan hanya itu, ia bertahan cukup lama. Bahkan sampai Jelita merasakan sesuatu yang tak pernah dia rasakan sebelumnya.
"Mas," panggilnya dengan napas yang mulai lelah. Berulang kali hendak melepas penutup mata tapi fokusnya pada mengimbangi. Hingga ia harus kembali terkulai dan mendengar suara dari pria yang bersamanya.
Berbeda.
"Mas Bahri?" Jelita membuka penutup mata. Ia tak melihat siap pun di sana. Masih gelap. Tangannya mengambil ponsel, mengarahkan ke beberapa sudut ruang, tapi tak ada siapa pun. Ruangan itu terlalu lega, sehingga tak semua terkena cahaya senter dari ponselnya.
"Astaghfirullah," ucapnya dengan gemetar. Ia mulai mencari pakaian dan memakainya. Ketakutan dan hampir menjerit, mengingat apa yang terjadi barusan bukanlah dengan suaminya.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA BERKALUNG DOSA (Terpikat Istri Sahabat)
Romance"Mas," panggilnya dengan napas yang mulai lelah. Berulang kali hendak melepas penutup mata tapi fokusnya pada mengimbangi. Hingga ia harus kembali terkulai dan mendengar suara dari pria yang bersamanya. Berbeda. "Mas Bahri?" Jelita membuka penutup...
Siapa yang Datang Ke Kamarku?
Mulai dari awal