Aku dan David berjalan beriringan ke ruangan Bapak. David menggenggam tanganku. "Aku kan udah bilang. Kita jalani sama-sama. Kau nggak sendiri."
Aku mengangguk pelan. Begitu kami sampai di ruangan Bapak, aku segera duduk di bangku sebelah kiri bangsal. Ku raih pergelangan tangan Bapak. "Bapak, aku takut," ucapku lirih. Bapak membuka kedua matanya pelan-pelan. Senyumku mengembang. "Selamat ulang tahun, Pak!" kataku.
Bapak mengulas senyum. "Bapak di mana ini?" tanya dia. "Rumah sakit, Om," jawab David. Bapak melirik David, kemudian terdiam. "Maaf sudah buat kau repot-repot," kata Bapak.
David menggeleng kecil. "Nggak apa-apa, Om. Saya senang temenin Om di sini," jawabnya.
Bapak tersenyum singkat. "Oh iya, Pak. Kami ada kado." Aku mengeluarkan jam tangan dari dalam saku. Bapak mengernyitkan dahi. "Apa ini, Boru?" tanya dia.
Aku tertawa kecil. "Kalau aku kasih tau, enggak kejutan lagi namanya."
Bapak ikut-ikutan tertawa. Dia meraih kotak jam tangan tersebut. Begitu melihatnya, dia terdiam. Dia menatapku bingung. "Buat apa kau beli barang semahal ini?" tanyanya.
Aku menggeleng. "I—ini nggak mahal. Lagi pula, ini tabungan Uli."
Bapak menghela napas. "Harusnya kau pakai uang kau buat beli perlengkapan sekolah. Bukan beli yang nggak penting kayak gini."
Aku hendak menjawab, namun David lebih dulu. "Om. Om udah dengar belum, alasan Uli beli jam tangan ini buat, Om?" tanyanya.
Bapak menggeleng. "Tapi, petani nggak perlu lah pakai jam kayak gini."
Uli meraih tangan Bapak, kemudian segera memakaikan jam tersebut di pergelangan tangan kirinya. "Supaya Bapak nggak lupa waktu kalau lagi kerja. Uli juga mau Bapak panjang umur. Uli mau habiskan sisa hidup Uli sama Bapak."
Pada akhirnya, bapak tersenyum. Dia segera memelukku. Ku balas pelukan hangatnya. David batuk. Dan aku tau itu hanya pura-pura. Bapak tertawa kecil kemudian mengajak David untuk kembali berpelukan dengan kami.
*****
Kami segera di perbolehkan pulang oleh Dokter. Tadi, kami menaiki mobil pick up milik tetangga. Jarak rumah ke rumah sakit cukup jauh. Sebenarnya di sini ada puskesmas, tapi karena keadaan Bapak yang benar-benar buat panik, kami segera membawanya ke rumah sakit Pangururan.
Hari juga sudah sore. Aku dan David berdiri bersisihan sembari menikmati langit sore yang semakin menjingga. Sementara bapak ada di depan dengan sopir pick up.
"Dav," panggilku. Dia menoleh kecil. "Tadi, orang tuamu menyuruhmu pulang. Padahal ini udah sore, kau belum pulang juga."
"Aku nggak peduli."
"Kenapa?"
"Mending aku tidur di kolong jembatan, dari pada tidur di rumah."
Aku menghela napas panjang. "Apa sampai sekarang, kau belum bisa menerima keputusan orang tuamu?"
David hanya diam. "Mamamu juga berhak bahagia, Dav. Jadi menurutku nggak salah kalau dia punya keputusan untuk nikah."
David lagi-lagi diam. Ku raih tangannya. "Kau sayang Mamamu kan?"
Dia mengangguk. "Itu berarti kau juga mau dia bahagia. Belajar menerima takdir, Dav. Mungkin Mama dan Papamu belum di takdirkan berjodoh hingga akhir hayat."
David mengeratkan genggamanku. Aku menatap matanya. Mata itu, ada siratan luka di sana.
***
Bapak sudah ada di dalam kamar untuk istirahat. Aku dan David duduk berhadapan. "Makasih untuk hari ini, Dav," kataku. David tersenyum. "Sampai jumpa besok di ulangan fisika," ucapnya. Aku tertawa kecil.
Kami berjalan beriringan ke arah pintu. David kembali memakai sepatunya. Setelah itu dia menatapku. "Titip salam sama Om," katanya. Aku mengangguk. David tersenyum lebar.
"Good night, Pacar." Dia kembali berucap. Aku mengangguk kecil.
"Good night, to."
David menaikkan alisnya. "Kenapa cuman good night, to?"
"Jadi?"
"Pacarnya mana?" tanya David lagi. Aku tertawa kecil. "Good night, pacar," ucapku cepat.
David mencium jari telunjuk dan jari tengahnya. Kemudian dia rekatkan tepat di pipiku. "Aku pulang," katanya.
Aku malah mematung di tempat. David menoleh kecil, kemudian menatapku. Dia tertawa nyaring. Segera dia memakaikan helmnya. Dia menyalakan motornya. Segera motornya berlalu pergi dari hadapan rumah. Hatiku seketika menghangat. Motornya perlahan menghilang. Segera aku menutup pintu.
***
~BECAUSE OF FATE~
KAMU SEDANG MEMBACA
Because Of Fate [END]
Teen Fiction"Kalau memang perbedaan antara kita berdua menjadikan kontra sama Bapakmu, aku nggak masalah, Uli. Apapun yang terjadi nanti, kita tetap jalani berdua. Akhirnya gimana, kita serahin ke Tuhan," kata David. "Tuhanku, atau Tuhanmu?" tanyaku. David dia...
#Good Night Pacar!
Mulai dari awal