Di seberang sambungan, Julian terus meneriakinya tanpa henti.

Tetapi Elsa, terlalu tenggelam dalam emosinya. Ia mengalami kesulitan memproses segala rentetan kalimat yang Julian lemparkan padanya, maupun meresespon.

"Kamu bilang, kita cuman punya satu sama lain! Tapi, apa?! Kamu pergi juga?!" Jerit Julian, sama berantakannya dengan Elsa.

Ia, sama emosionalnya, tidak dapat berucap apa-apa selain menggelengkan kepalanya. Berharap Julian dapat melihat tindakannya dan menenang.

Tenggorokannya tercekal sampai satu kalimat dari Julian seketika menghentikan seluruh isak tangisnya. Otaknya berhenti bekerja, suara Julian menggelegar lebih keras daripada apa pun yang pernah Elsa dengar. Dalam sekejap, tubuhnya membatu,


"Aku akan lempar diri aku ke jalan! Aku akan mati di depan kafe ini!"


Elsa, saat itu juga, kehilangan kendali atas dirinya. Suara-suara mobil yang berisik dari sisi Julian memperburuk segalanya, "Yan — !!"

Seseorang merebut ponselnya!

Elsa berusaha menggapainya kembali. Dunianya gelap, hanya ada Julian di dalam kepalanya. Demi apa pun, dunianya sedang berada di ambang kiamat! Ia harus segera menyelamatkannya!

"Bagus!" Bentak mamanya. "Malah ada di sini! Tidak tahu kamu semua orang mencari-cari kamu dari tadi?!"

Elsa tidak peduli, ia masih terus berusaha meraih ponselnya dari tangan sang ibu. Air mata sudah mengucuri wajahnya dengan derasnya. "Kembalikan ponselku Ma! Aku harus berbicara dengan Jul — !!"

Teriakannya seketika terpotong, tergantikan dengan kedua manik mata yang membola tidak percaya, menyaksikan nasib naas ponselnya di bawah injakan sadis sepatu berhak tinggi mamanya, di saat Julian sedang melakukan percobaan bunuh diri...

Elsa seketika histeris.

Ia memerosot jatuh, tangannya bergetar menyaksikan satu-satunya objek yang bisa menjembataninya menolong Julian baru saja diputus.

Ia tak lagi memiliki apa pun padanya yang dapat digunakan untuk menyelamatkan kekasihnya, menyelamatkan dunianya...

Ia saat itu juga berdiri. Hendak berlari, memesan tiket pertama untuk sampai ke sisinya. Namun, lengannya ditarik. Ia memberontak. "Lepaskan! Aku harus ke sana! Julian —"

PLAK!

Sebuah tamparan keras menghantam pipinya. Mengantarnya tersungkur ke atas tanah. Ia menatap mamanya tidak percaya.

"Anak kurang ajar!" Hardik mamanya. "Tidak ada yang berpergian hari ini! Kamu tidak akan menemui siapa pun hari ini, selain Niko di altar! Cepat kembali dan benahi riasanmu! Berhenti menjadi aib keluarga dan penuhi kewajibanmu satu kali saja!"

"Ma... Tolong, tolong Elsa. Julian —" Ia mengingsut. Menundukkan kepalanya, berusaha meraih kedua pergelangan kaki wanita yang ia panggil 'mama' itu, menurunkan harga dirinya sendiri dan memohon. Benar-benar memohon hanya satu kesempatan saja untuk menyelamatkan dunianya.

Namun, ia hanya di dorong begitu saja. Seakan ia tidak ada harganya sedikit pun bagi wanita yang ia telah panggil 'mama' seumur hidupnya, selain suatu persembahan untuk keluarga Bosquet yang akan menguntungkan perusahaan mereka.

Kata-kata, yang mencapai telinganya selanjutnya, menyulut seluruh sisa emosi yang masih hidup di dalam dirinya,

"Julian, Julian, Julian; berhenti menyebut nama bedebah itu! Ia tidak lebih dari seekor sampah yang dibuang keluarganya! Cepat masuk dan benahi riasanmu. Apa pun yang terjadi, hari ini, kamu akan menjadi bagian keluarga Bosquet! Titik tanpa koma, atau Julian-Julian itu yang akan mendapatkan imbasnya!"

Ia diseret masuk.

Hari itu juga hidup Elsa berakhir bersamaan dengan Julian yang tidak ia ketahui hidup-matinya.

Ia membiarkan dirinya ditarik, dirias, digamit, diantar, dan diserahkan pada pria yang tidak ia kenali. Dipaksa mengucap sumpah kosong, ia menjadi mayat hidup di hari mana ia seharusnya menjadi orang terbahagia di dunia.

Ia tidak pernah membayangkan akhir hidupnya akan menjadi demikian. Hari ia mengantar kedua orang tuanya ke bandara, ia bersumpah; ia tidak akan pernah lagi menginjakkan kakinya kembali ke tanah Indonesia.

Hidup Elsa tidak ada lagi artinya semenjak hari itu. Ia sibuk merusak dirinya.

Baginya, sudah tidak ada lagi Julian yang tersenyum ke arahnya tiap ia menutup buku tebalnya.

Tidak ada lagi Julian yang menyambutnya, tiap ia keluar dari ruang ujian.

Tidak ada lagi Julian yang akan mendekapnya, tiap satu pencapaian kecil berhasil mereka dapatkan.


Tidak ada lagi Julian yang masih hidup dan bernapas di dunia ini, dan semua itu karena Elsa...


Ia memukul-pukul dadanya sendiri. Berusaha menekan kesakitan yang ia rasakan di sana. Ia ingin kembali bisa bernapas tanpa hambatan. Ingin air matanya berhenti mengalir.

Entah sudah berapa botol minuman keras yang ia tenggak. Bayangan Julian tidak mau meninggalkan benaknya.

Bahkan saat botolnya yang sudah setengah kosong itu diambil tanpa izin, akal sehatnya — yang pasti sudah berhenti bekerja — mengelabuinya, pria itu tiba-tiba ada di hadapannya.

Ya, Julian, pria yang sangat ia rindukan. Pria itu datang, siapa pun yang berada di atas pasti terketuk hatinya melihat kondisi menyedihkan Elsa saat itu.

"Berhentilah minum, Elsa. Kamu akan merusak tubuhmu sendiri dengan seluruh kadar alkohol yang kamu masukkan ke dalam tubuhmu." Ah, ya, benar; itu juga suara yang sangat Elsa rindukan.

Ia lantas menarik pria itu, memagut bibir pria itu cepat. Tidak ada lagi yang lebih ia harapkan di dunia ini daripada menghapus jejak pria asing yang telah ia nikahi berminggu-minggu silam, dari bibirnya. Yang mengotori bibirnya, di saat bukan bibir itu yang seharusnya mengakui kepemilikkan atas dirinya hari itu.

Bibir inilah yang seharusnya bertemu dengan miliknya, di depan ratusan orang dan dunia, di hari itu, demikian pikirnya meskipun Elsa merasa janggal dengan lebar bahu yang ia remas. Ukurannya sedikit berbeda, tetapi persetan; Elsa mabuk dan rindu. Ia takut — sangat takut — Julian akan menghilang lagi begitu ia membuka matanya.

Ia terus memperdalam pagutannya, menarungkan lidah mereka hingga akal sehatnya menghilang. Elsa berada di dunia lain. Ia mendesah, nama Julian terus-menerus berulang keluar dari bibirnya bak sebuah lagu pujian.

Ia bahagia, untuk pertama kalinya, merasakan pria yang begitu ia cintai berada di bagian terdalamnya di sana. Kecupan-kecupan lembut menggelitik tengkuknya. Tangannya meraba-raba naik-turun punggung tegap prianya yang rata. Nafasnya tak lagi beraturan dengan segala ekstasi dan kepuasan yang saling beradu, mengaburkan benaknya.

Namun, tawa dunia menyertai. Yang terlelap di sampingnya, ketika ia membuka matanya, bukan Julian. Pria itu adalah Niko. Elsa menertawakan dirinya sendiri hingga ia kembali tertidur dengan segala derai air matanya hari itu.

Dan, ketika dua minggu kemudian, dua garis merah menatap balik ke arahnya, Elsa marah. Ia melempar barang tipis itu.


Dunia tidak pernah adil padanya semenjak Niko datang. Ia terus hidup dalam mimpi buruk tanpa Juliannya.


****


Let us start the game ~


Choices (WonHui GS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang