Love and Passion

8 1 0
                                    

Tepat pada pukul 00.13 WIB. Mobil Diego masuk ke dalam rumah peninggalan kakeknya, yang sekarang Kakek itu tinggal di Belgia. Kampung halamannya.
Pria dengan postur tubuh yang tegap itu pun mematikan mesin mobil. Melirik pacarnya yang masih lelap dalam tidurnya. Dan tak lama kemudian, senyuman miring pun terukir indah pada wajahnya yang tampan: rahang tegas, netra hitam keabuan, rambut pendek klimis berwarna dark brown.
"Sexy-nya mengalahkan bidadari kahyangan. Gila! Gue mulai gila dengan Indri. Thank God.” Kata Diego, lalu pria itu mendekati Indri. Padahal perempuan yang terlelap itu adalah Nisa.
Terus terang saja, Diego belum sadar sampai saat ini. Bahkan sekarang dia sedang dimabuk hasrat yang sudah mencuat. Di ujung tanduk. Dan siap melahap apa pun tanpa memikirkan risikonya.
Nisa juga belum sadar dari tidurnya. Dia benar-benar sangat lelah setelah menari gila dengan Milo—di pesta tadi. Sungguh, kelelahan itu membuatnya tertidur lelap, hingga tidak sadar kalau sekarang dirinya dibopong Diego masuk ke dalam rumah megah.
Diego membuka pintu yang tidak terkunci, lalu dia merebahkan Nisa sejenak—di atas sofa merah. Karena pria itu hendak mengunci pintu utama dahulu, sebelum membawa Nisa ke dalam kamar, yang berada di lantai dua.
Hasrat Diego sudah menggebu-gebu. Dia membopong Nisa kembali. Tampak, otot-ototnya mengeras ketika perempuan berbadan ideal itu berada di pangkuannya.
Langkah Diego yang begitu besar, membuat dirinya cepat sampai di sebuah kamar, lalu membuka pintu tersebut. Dan merebahkan Nisa di atas bantalan awan.
Diego tahu, kalau saat ini—rumah peninggalan kakeknya itu memang sepi. Tidak ada penghuni sama sekali. Terkecuali satpam yang ditugaskan di pos jaga. Jadi, dia membiarkan pintu kamar itu tidak terkunci. Hanya tertutup saja.
Diego sudah hancur lebur benteng pertahannya. Dia membuka sepatu hak yang dikenakan Nisa, melempar ke sembarangan arah. Sehingga terjadi kebingsingan, mungkin saja mengenai sebuah benda. Iya ‘kan?
Tanpa ba-bi-bu, Diego membuka sepatu pantofelnya, melonggarkan dasinya. Dan mulai menaiki serta menindih Nisa yang sedang bebaring rapuh.
Napas pria itu menderu. Mengendus aroma parfum yang digunakan oleh Nisa malam ini. Hidung mancung menjelajah dengan luwes: Wajah, leher, dan juga daging kenyal pun ia jamah sesap hingga mampus. Dan dengan gairahnya mencuat, tangan besarnya merabah ‘apa yang belum ia pernah peagang selama ini’. Dan pria itu kegirangan—dengan permainan kecil di bawah sana.
Dan tak lama kemudian, Nisa mengeram. Ia merasakan pusing luar biasa di kepalanya.
Ya iyalah, yang namanya tidur diganggu, pasti akan merasakan pusing pada bagian kepala. Apalagi usai melakukan kegiatan yang melelahkan. Membuat sekujur tubuh menjadi lemas serta kaku.
Perlahan, Nisa menggerakkan tangannya. Dia berusaha memijat jidatnya yang terasa pusing. Lalu berusaha membentangkan kelopak mata yang begitu berat.
Sementara Diego, dia hanya tersenyum puas. Karena dia akan mendengar desahan mantap dari pacarnya.
“Sayang, tenang. Aku bantu lepaskan topengnya ya,” ucap Diego. Lalu tangan besar yang tadinya bermain girang, sekarang beralih ke topeng silver yang dikenakan Nisa.
“Hah?!” Diego membelalak dan menganga. Sampai lupa cara agar mengantup. “Kau bukan Indri?!”
Nisa yang setengah sadar pun panik bukan main. Karena sebagian gaunnya sudah terangkat, menampilkan pahanya yang mulus nan seksi.
Dirinya pun menampar lemah pipi Diego. “Kau siapa?! Di mana Milo pacar gue?”
Suara Nisa setengah lantang, mampu membuat Diego pening dan frustrasi. Karena pria itu tidak bisa menahan hasratnya, ia pun menggenggam kuat kedua tangan mungil Nisa.
“Biadab bin satan! ... Di mana pacar gue?” Nisa sedikit berontak. “Ih, tolong! Tolong! Tolong!” pekik Nisa.
“Diem!” gentak Diego dengan nada baritonnya. Hingga perempuan itu pun nurut dan terdiam kaku. “Kau  kenapa masuk ke dalam mobil gue hah?!”
Nisa yang masih ketakutan, ia pun hanya bisa menelan salivanya.
“Jawab!” gentak Diego lagi.
Berhubung yang di bawah sana sudah berdenyut karena nafsu birahi. Diego pun menghiraukan Indri pacarnya, ia memilih Nisa untuk jadi bahan pelampiasan hasratnya.
“Kau mau apa?!” Nisa panik setengah mampus. Karena Diego mendudukkannya, dan berusaha melepaskan gaun yang dikenakan Nisa.
“Kau jangan macem-macem, aku bisa nuntut kamu prihal pelecehan seksual.”
Diego menganggap itu sebagai angin yang berlalu. Ia pun mengunci semakin kuat tubuh biola itu, hingga Nisa tidak dapat bergerak sama sekali. Dan tangannya meraba hingga punggung Nisa.
Dan ia pun berhasil melepaskan penguat gaun. Hingga gaun hitam itu melorot, dan menampilkan tubuh mulus bagaikan bayi yang masih suci.
Nisa berusaha melakukan perlawanan dengan menjambak kuat rambut klimis milik Diego. Namun naas, perempuan itu larut dengan kecupan panas Diego. Hingga genggaman pada rambut itu pun terlerai. Berubah menjadi sentuhan-sentuhan sensual.
Nisa semakin ditekan kembali oleh Diego, hingga perempuan itu terengah, hampir saja mati akibat kehabisan napas. Namun sesaat kemudian, Diego menopang tubuhnya dengan kedua sikunya. Sebelum perempuan itu menyerang kembali, Diego melumat dalam-dalam leher hingga cuping Nisa. Memberikan efek geli yang luar biasa.
“Hentikan! Hihihi. Hentikan! Hihi, geli ih” pekik Nisa.
Dan Diego bekata di sela-sela lumatan “gue bakal nurut, jika kau juga nurut. Gimana?”
“Gak! Hihihi... Hentikan! Geli sumpah!” Nisa berusaha menarik rambut Diego, namun itu gagal lagi.
Diego pun percaya dengan ucapan Nisa. Dan langsung saja—pria itu menatap Nisa dengan lekat. Dari jarak dekat.
“Milo?” Nisa kaget dengan wajah Diego yang menyerupai Milo. Padahal, dia hanya melihat iris hitam keabuan saja pada mata Diego. Tapi perempuan itu menganngap kalau Diego adalah Milo.
Diego mengernyit “Milo? Gue bukan Milo. Gue Diego Larden.”
Dan sekarang Nisa yang mengernyit. Dia merasakan debaran jantung yang tidak tahu apa penyebabnya.  Atau mungkin, karena melihat Diego yang mirip dengan pacarnya itu, membuat ia jatuh cinta? Entahlah, Nisa pusing memikirkan itu semua.
“Let start, Baby!” Diego dengan nafsu membludak, siap untuk melahap.
Mendekatkan wajahnya, menghirup napas Nisa yang terengah. Tanpa ia sadari, kedua bolanya terkubur secara perlahan.
Nisa yang bingung harus apa sekarang. Dia panik setengah mati. Karena kedua tangannya sudah terkunci, begitu pun dengan kedua kakinya yang sulit untuk menyerang. Hingga pada akhirnya, otak dia bekerja encer.
“Aduh!” Diego meringis, ketika Nisa membenturkan kepalanya dengan jidat Diego. Alhasil, Diego merasa pening.
Dan Nisa juga sama. Dia membayangkan ada burung-burung beterbangan di sekeliling kepalanya. Dan padangannya pun menjadi buram.
“Lu kayaknya mantan pasien rumah sakit. Begonya kebangetan.” Diego terus merasakan pusing tujuh keliling. Dia enggan untuk memijat jidatnya, karena dia enggak mau membebaskan tangan mungil Nisa yang berada dalam genggaman.
“Elu yang gila. Main asal sosor-sosor anak orang,” sahut Nisa. Lalu dia menahan rasa geli, ketika ia merasa ada yang berdenyut di bawah sana.
“Lepasin gue!” bentak Nisa yang tidak mau kalah tanding suara dengan Diego.
“Diam!” bentak balik dari Diego.
Dan perempuan itu pun merengut. Dia tidak menyangka, kalau Diego bisa lebih galak dari sebelumnya.
Diego sudah kehabisan cara untuk merengkuh perempuan yang berada di bawahnya. Ia pun melepas kuat dasinya, dan mengikat kuat kedua tangan Nisa.
“Diam. Ini semua sebenarnya salah kau juga. Kenapa masuk ke mobil gue! Kalau gini ‘kan berabe.” Diego menghembuskan napasnya kasar. “Tenang. Gue juga gak bakal bermain kasar. Low. Dan juga, jangan salahkan gue kalau seandainya gue bakal candu dengan tubuh lu.”
Ya! Memang perlu diakui oleh Diego. Tubuh Nisa memang membuat candu dalam beberapa detik saja. Aroma tubuhnya, lekuk tubuhnya, kecantikannya. Membuat Diego candu dan suka setengah mati.
“Memang kau sudah mencobanya? Kalau sudah, berapa perempuan yang kau renggut keperawannya?” tanya Nisa, sekaligus ingin tahu tentang si pria asing ini.
Alih-alih menjawab, Diego malah menggeleng mantap.
“Jadi.” Nisa menjeda perkataannya. Dia enggan untuk menyebutkan, yang seharusnya tidak ia sebutkan. “Gimana aku bisa percaya dengan perkataan kau tadi?”
Entah apa, Nisa mau-mau saja untuk menyerahkan mahkotanya pada Diego. Entah karena kharisma Diego yang membunuh, yang mirip dengan pacarnya itu. Atau karena pusing memikirkan cara lain untuk bebas dari pria misterius ini. Ah, Nisa tidak mengerti tentang dirinya. Bahkan Nisa mengutuk dirinya, karena telah salah masuk mobil.
Kalau saja dirinya mampu mengontrol dirinya di pelataran parkir tadi, mungkin saja sekarang ia sudah tidur nyenyak di kamar pribadinya. Sungguh, dia merindukan rumah.
“Makanya coba dulu. Kita gak bakal tahu kalau belum mencobanya. Gue yakin, lu juga candu dengan tubuh gue. Karena gue bakal membiarkan elu untuk menikmati tubuh gue yang berotot ini.” Diego menguatkan semua ototnya, dan Nisa menganga melihat itu semua.
“Terus, kalau aku hamil gimana?” tanyanya polos. Dan puppy eyes Nisa begitu menarik di mata Diego.
“Gue tahu caranya biar gak hamil. Tenang aja, kalaupun hamil. Gue bakal tanggung jawab. Percaya deh.”
Entah dikata apa yang membuat Nisa percaya. Perempuan itu mengangguk, menyetujui pernyataan Diego.
Diego pun melepas ikatan di tangan Nisa. Lalu membantu perempuan itu untuk melepaskan gaun yang membalut tubuh seksi dan menggairahkan.
Diego tidak merasa ilfil sama sekali. Justru ia malah senang melihat itu semua. Melihat aset dari ujung rambut hingga kaki.
Dan tidak lama kemudian. Tubuh mereka menyatu, menabur cinta panas di atas bantalan putih bersih berseri. Semua gaya Diego jabani, mulai dari A sampai Z. Dia hafal, karena kedua temannnya telah meracuni dirinya dengan adegan-adegan di film biru.
Nisa yang menerima cinta yang luar biasa itu pun merasakan sensasi yang belum pernah ia dapatkan. Dia seperti sedang dipuja-puja oleh seorang pria yang mampu memberikannya pelukan kasih sayang serta perlindungan yang hakiki.
Diibaratkan, dia sedang berada di dalam lautan api. Tapi perempuan itu tidak terbakar, melainkan hangat dan candu yang menggebu-gebu. Karena Diego lah yang memberikan kehangatan, kelembutan serta perlindungan dari kobaran api yang meletup-letup. Sehingga perempuan itu merasa nyaman, meski tubuhnya sedang dibakar asmara.
Karena Diego juga telah merealisasikan ucapannya. Janjinya. Hingga perempuan itu semakin yakin, kalau Diego mampu membawanya ke titik terang di kehidupannya.
Dan Diego pula, dia merasa jadi lelaki perkasa. Karena telah menabur larutan hangat yang membakar di atas kulit Nisa. Beberapa kali ia tumpahkan, dan beberapa kali ia membuat Nisa mendapatkan titik klimaks yang luar biasa. Dan sungguh, itulah kenikmatan yang didapatkan keduanya. Dan tanpa mereka sadari, cinta telah merabah keduanya.
Membuat mereka hilang akal sehatnya. Merasa gila dengan tindakan mereka sekarang.
Sehingga Mereka saling mengeram, saling mendesah, saling membalas sentuhan-sentuhan panas membakar. Dan suara mereka menggema seantero kamar yang terang benderang. Juga tanpa mereka sadari juga, sang fajar sudah tiba. Dengan dentunman azan yang terdengar dari masjid komplek.
Fyuh! Diego menimpa sejenak tubuh perempuan yang sudah lemah itu. Lalu bergulir ke kanan dan merangkulnya kembali.
“Thank Nisa. Kau benar-benar membuat gue candu.” Napas Diego terengah. “Be the way, kita bisa saling tukar kontak telepon pribadi tidak?”
Alih-alih menjawab, Nisa malah menanyakan hal yang lain.
“Tas gue di mana?” Napas perempuan itu terengah-engah. “Tapi, itu beneran gak buat gue hamil ‘kan?”
“Tas kamu ada di mobil.” Diego menarik selimutnya, menarik hingga dada mereka terbalut. “Enggak, emang Nisa gak tahu tentang proses pembuatan anak?”
Nisa mengangguk. Paham dan tahu.
“Tenang aja, Nis. Kalau seandainya kenapa-napa. Hubungi gue aja. Kalau bisa, kita bisa ke luar negeri. Untuk ‘bermain’ di sana.”
Disangka akan menanggapi lagi, Nisa malah membalik badan. Membelakangi Diego. Perasaannya hancur seketika, selangkangannya terasa nyeri dan pegal-pegal.
Dia perlahan bergerak seperti orang yang baru saja bangun dari koma. Begitu lemas dan lesu. Karena ia hanya tidur sebentar saja.
Dan tak lama, dadanya sesak, air matanya sudah mengembun di pelupuk mata, akhirnya perempuan itu mendesah. Lalu diikuti isakan tangis yang tertahan.
“Nis, kenapa?” kata Deigo. Merasa tidak bersalah. “Apakah kamu bisa pulang sendiri?” tanyanya lagi.
Lalu pria itu memegang sayang otot tangan kiri Nisa. “Hei! Jawab?”
Nisa tidak menanggapi sama sekali. Dia berada dititik penyesalan yang paling terdalam. Benar-benar menyesal, karena kehilangan ide untuk bisa lari dari Diego, dan malah terbuai oleh Diego. Yang notaben tidak dikenal olehnya.
“Ah, perempuan ini mulai manja. Ok, nanti gue antarkan kamu pulang. Tapi, setelah itu, kita tukar kontak telepon ya?”
Nisa menggeleng.
“Kenapa?” bibir Diego mendekati telinga Nisa “i love you, babe.”
Nisa membalikkan badannya. Bibirnya sempat bertabrakkan dengan bibir Diego, tapi dia tidak peduli akan hal itu. “Kau gila! Gue udah punya pacar.”
Diego berdecak “perempuan zaman sekarang punya pacar satu? Yakin? ... Gue juga udah punya pacar kali. Tapi sayang, tubuh elu mampu membuat gue bergairah.”
“Mesum dan gila!”
“Ya terserah elu mau bilang gue apa. Yang jelas, sekali gue suka, gue gak bisa melepas begitu saja ... Gue bakal mendapatkan apa yang gue mau. Termasuk elu.”
Nisa berdecak kesal. Dia tidak mau meduakan Milo. Dia sudah cinta mati pada laki-laki itu. Dan dia juga takut, kalau Milo tahu semua ini.
“Please! Terima cinta gue. Ini seratus persen tulus.”
“Gak! Cinta lu palsu dan sebatas nafsu.”
“Demi Tuhan aku bersaksi, kalau kaulah yang ku cinta, Nisa.”
“Jangan pernah bawa nama Tuhan kalau kau tidak mampu menyanggupinya. Buktinya, kau sekarang malah memperani gue. Dan menduakan cewek lu sendiri ... Dah, gue mau salat. Tobat.”
Nisa beringsut dari kasur, tapi tangannya kembali digenggam oleh Diego. Dan dengan tenaga yang ada, pria itu menarik Nisa dalam pelukannya. Hingga punggung Nisa bersentuhan panas dengan otot kotak enam pada perut Diego.
“Please! Gue bakal mutusin cewek itu. Dan gue bakal setia dengan elu.”
“Gak!”
“Ya udah, kita sahabatan. Gimana?”
“Gue butuh waktu buat menjawab hal itu.”
“Ok deal!” Diego mencium-cium panas pipi Nisa kembali. Dan membopong perempuan itu ke kamar mandi.
“Turunin gue wong edan!” rengek Nisa.
Tapi Diego tetap membawa perempuan itu ke dalam kamar mandi.

To Be Continue~

Love ExchangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang