William mengangguk.

"Dia sudah membunuh banyak nyawa, tidakkah kau merasa prihatin padanya?" Mary kembali bertanya.

William menggigit bibirnya. 

"Jika aku bisa, aku sangat ingin menyelamatkan gadis itu. Bagaimanapun juga, dia adalah teman perempuan pertamaku selama 3 tahun ini. Meskipun Black hanya membawanya kemari karena perintah konyol itu, aku tetap berterimakasih padamu karena sudah membawa gadis itu kepadaku... Sungguh, aku ingin menyelamatkan Mio." ucap Mary. Ia seperti menahan tangis disana. Mio, ia sudah menganggap Mio sebagai teman yang berharga setelah keberadaan Kakaknya dan Leo. Juga sahabat perempuan pertamanya. Tidakkah terasa menyakitkan begitu mengetahui teman terbaikmu, orang berhargamu harus menderita dan menjadi seorang pembunuh berdarah dingin? Membantai nyawa manusia dengan mudahnya. 

Mary kemudian menatap wajah Kakaknya yang tertunduk. Tidak ada sahutan selama ia mengungkapkan isi hatinya membuat Mary merasa tidak nyaman dengan tingkah laku Kakaknya. Dengan satu tarikan napas dan tanpa pikir panjang, Mary menarik lengan William dan menyuruhnya dengan paksa menatap wajahnya.

"Kenapa kau hanya diam saja, William. Hey jawab aku! Apakah kau benar-benar tidak ada rasa simpatik pada Mio? Apakah kau benar-benar datang hanya untuk memanfaatkannya?" seru Mary.

"White." William menepis tangan Mary dari pundaknya. "Bisakah kau membiarkan aku sendirian? Aku akan pulang."

Mary tidak menyangka mendengar jawaban Kakaknya. Mata hijaunya berkilau mengeluarkan air mata. "Tidak akan kumaafkan. AKU MEMBENCIMU, JANGAN PERNAH DATANG KESINI LAGI."

William nampak terkejut dengan teriakan Adiknya. "Jika itu maumu baiklah." dan hanya kalimat itu yang keluar dari bibirnya yang makin membuat Mary mencampakkannya.

"Omong kosong! Hanya karena sosok itu kami harus bertengkar? Sejak awal dia memang sengaja menggunakanku untuk mendekati Mio! Kau memang bejat." ucap William dengan senyum mirisnya.

Kasus pembunuhan yang terjadi....

"Aku sudah muak mendengarnya." William segera mematikan televisinya, mengambil jaket merahnya dan ia berlari meninggalkan rumahnya. Berlari membelah kota Hellsalem's Lot dengan sekuat tenaga dan air mata yang tertahan. Ini adalah keputusan yang William buat yang ia yakini berasal dari lubuk hatinya sendiri tanpa campur tangan dari sosok lainnya. Apapun hasilnya nanti, ia hanya ingin memenuhi hasrat hatinya saat ini. Bukan demi Adiknya, dan bukan demi siapapun. Ia murni ingin menolong dan menemukan Mio saat itu.

"MIO..."

***

Mencari keberadaan satu orang di kota yang besar ini cukup sulit rupanya. William sudah mengelilingi sekitaran pinggiran kota tapi ia tidak menemukan Mio sama sekali. Ia tidak ingin Libra dan pihak lainnya lebih dulu menemukan gadis itu dan merasa ia harus bisa berhadapan langsung dengan gadis itu. Mencari, mencari dan mencari bahkan sampai ke tempat kejadian pembunuhan itu terjadi. Bau darah tercium pekat disana membuat William sedikit menutup hidungnya. Ia juga melihat Libra ada disana dan matanya menangkap keberadaan Leo. Ia segera pergi darisana sebelum Leo menyadari keberadaannya.

William kembali mencari dimana kira-kira Mio berada dan ia kemudian menemukan satu tempat yang menurut firasatnya mengatakan gadis itu ada disana. Tempat yang jarang disentuh oleh penduduk kota, wilayah pusat bekas kehancuran tiga tahun lalu.

Tales of Lost ButterflyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang