Aku tersenyum tipis meskipun tahu dengan jelas maksud dari perkataan Bu Ribut. Akulah orang yang paling tahu kalau perkataan beliau bukan sebuah pujian. Kulangkahkan kakiku mendekati sofa, menghiraukan ekspresi heran dari keempat dosen yang tidak melepaskan tatapannya padaku. Mereka cukup terkejut saat mendapatiku duduk di salah satu sofa tunggal, berseberangan dengan Bu Lusy yang mengernyitkan dahi lantas membuang pandangannya ke arah Bu Ribut.

"Nggak ketemu Bu Adelia? Bukannya tadi bilang ada urusan dengan yang bersangkutan?" Bu Ribut jadi orang pertama yang menyuarakan ketidaknyamananannya saat mendapatiku duduk di salah satu sofa yang sama dengan mereka. "Lagian, kok sampeyan malah duduk di sini? Bukannya menyelesaikan tugas macem mikirin masalah mahasiswanya yang nggak lolos seminar proposal mungkin?" Sindiran-sindiran itu masih saja keluar dari mulut Bu Ribut.

Saat aku bilang kalau aku butuh tenang itu untuk ini.

Hampir saja aku kelepasan tertawa. "Terima kasih sebelumnya karena Ibu-Ibu sudah mengingatkan tujuan awal saya datang ke .sini, tapi rasanya menghabiskan waktu sepuluh menit untuk mengobrol bukan masalah yang patut untuk dibesar-besarkan. Bukannya Ibu-Ibu sekalian juga sudah banyak menghabiskan waktu untuk mengobrol mengenai saya?" Kalimatku barusan membuat Bu Lusy berdeham pelan. Sebelum dia berniat untuk menjawab, aku lebih dulu memotong alur pembicaraan. "Tenang, saya cuma mau ajak Ibu diskusi kok."

That expression says it all, and I can't bring myself to smile in front of them right now.

Kunci untuk membuat orang gegabah yang dengan percaya diri mengkonfrontasi kita, bisa sadar kalau tindakan yang mereka ambil sama sekali tidak mempengaruhi kita adalah dengan tetap bersikap tenang.  Setelahnya, dari sana kita bisa tahu seberapa  keras usaha seseorang menjatuhkan kita lewat jawaban yang mereka berikan. Beberapa orang akan tetap bertahan dengan apa yang mereka katakan dan bersikap keras kepala. Yang lain, akan bersikap gugup dan mulai mencari-cari kesalahan lain untuk tetap mengukuhkan perkataan mereka demi mengejar sebuah pembenaran. Well, that's my own theory. Setidaknya, itu yang aku amati selama ini ketika menghadapi konfrontasi semacam ini—konfrontasi tangan kosong—it's easy to win over in this kind of confrontation—at least for me—but that's not my goal.

Sambil melepaskan dua kancing blazer, aku menatap keempat dosen itu secara bergantian. "Mari kita bahas satu per satu. Ibu-Ibu sekalian diperbolehkan berpendapat secara bebas kok."

Mungkin selama ini aku yang selalu memilih diam dan mengalah, membuat mereka merasa kalau aku cenderung tidak punya kuasa—mengingat umurku yang jauh lebih muda—bahkan dinilai penakut. Tidak, bukan itu alasannya. Aku sudah terlalu sering mengatakannya. Ada sesuatu bernama 'kredibilitas' yang aku jaga. Tapi, hari ini—hanya hari ini—akan aku buat mereka mengerti kalau apa yang mereka lakukan sekarang adalah hal yang salah dan harus dihentikkan.

Pandangan kami terarah pada fokus yang sama saat Faiza—salah satu dosen honorer—berdiri dari sofa. "Maaf, sepertinya saya nggak seharusnya ikut mendengarkan," ujarnya membungkukkan setengah badannya.

"Duduk, Bu Faiza," ucapanku barusan menghentikkan langkahnya yang hendak melewati sofa Bu Lusy. "Santai, Bu. Ini forum diskusi terbuka. Siapa saja boleh gabung kok. Silakan." Tangan kananku menunjuk sofa Bu Ribut, mempersilahkan dia kembali duduk di tempat sebelumnya.

Dia pikir aku bakal melepaskannya dengan mudah setelah kata 'dibesarkan dengan duit korupsi' keluar dari bibirnya?

"Untuk masalah seminar proposal salah satu mahasiswa saya yang tidak lolos... Terima kasih banyak sebelumnya atas perhatian Ibu-Ibu sekalian." Cara yang kugunakan sekarang sebenarnya cukup bijak untuk membuka suatu obrolan, mengingat kami bukan mengobrol dengan tujuan yang sama seperti obrolan mereka sebelumnya. Aku kembali mengulas senyum, "tempat yang Ibu-Ibu sekalian injak ini bernama kampus—sekolah—tempat untuk belajar, dan kegagalan tidak pernah dianggap sebagai sesuatu yang salah dan fatal. Harusnya. Tapi, sepertinya pemikiran semacam ini sudah dilupakan. Semua pengajar merasa tidak berhasilnya siswa  melakukan atau mengerjakan sesuatu sebagai sebuah kegagalan mereka dalam mengajar dan mendidik siswa, sementara siswa juga merasa 'kegagalan' dalam proses belajar adalah hal yang tidak seharusnya mereka lakukan karena adanya tuntutan-tuntutan dari banyak pihak. Padahal, menurut saya sendiri kegagalan dan ketidakberhasilan siswa itu akan terus terjadi selama mereka belajar. Itu yang dinamakan proses. Proses itu yang membuat mereka belajar banyak hal dan berusaha untuk tidak mengulang hal yang sama. Saya memaklumi kesalahan, kegagalan atau ketidakberhasilan. Karena, saya dan Ibu-Ibu sekalian pasti pernah mengalaminya. Tapi, rasanya pemikiran saya dan Ibu-Ibu berbeda.

CONNECTED (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang