Terlalu berisik.
Itu adalah pikiran pertama Mark saat dia menyaksikan satu demi satu zombie tumbang ibarat pohon yang terhempas angin kencang. Banjir darah menodai halaman tempat biasanya murid-murid bermain voli, berlari, atau sekedar duduk-duduk dengan alasan kram dan sakit perut.
Sedangkan pikiran keduanya adalah, kenapa hanya satu polisi yang menembak?
Sirene mereka masih menjerit-jerit. Warna merah dan biru lampunya bersinar layaknya mercusuar di tengah-tengah kota yang tidak siap menghadapi kehancuran. Tapi memang begitu kan sifat sejati dari sebuah bencana? Dia tidak menunggu kamu siap atau peduli apakah kamu sedang bahagia. Bencana pada dasarnya tercipta untuk satu tujuan dan hanya satu tujuan saja; tak lain untuk menimbulkan kerusakan dan duka.
Matikan sirene itu!
Mereka tidak mematikannya, dan zombie semakin gencar mengepung kendaraan itu. Mereka berkumpul secepat mereka jatuh. Tak ada habisnya!
Di belakangnya, Mark merasakan tekanan tubuh Haechan saat pemuda itu mengintip bersamanya, mencari tempat yang terbaik. Jeno di kanan, dan Jaemin di kiri. Chenle berada di sisi yang lain, hanya Grace yang sudah muak menonton dan duduk di pojok seorang diri.
Sama seperti Mark, Haechan menyadari adanya keanehan. "Polisinya cuma satu?"
"Mungkin mereka lagi manggil bantuan." Untuk kedua kalinya Mark tak mempercayai kata-katanya yang terasa berat oleh dusta. "Mungkin radionya rusak."
"Apa kita harus ke sana?" Tanya Jaemin.
Jeno menolak idenya. "Nggak. Dua senjata kita nggak akan banyak bantu."
"Kita?" Ulang Haechan dengan nada meremehkan. Terlalu pelan untuk didengar Jeno namun tertangkap indra pendengaran Mark. Ada kesan dia mencibir di suaranya, dan ketidaksetujuan terhadap pemilihan kata yang Jeno pakai. "Sejak kapan ada kita?" Dia tertawa.
Mata amber Mark memicing curiga. "Ada masalah, Haechan?"
"Oh, nggak ada." Haechan mengangkat kedua bahunya. "Nggak ada masalah yang nggak bisa aku selesaiin sendiri."
Bunyi tembakan tiba-tiba terhenti.
Tidak jelas apa yang terjadi, tapi Mark menyimpulkan polisi itu kehabisan peluru. Dia berusaha mengisinya kembali, saat para zombie tak kunjung berhenti menggeram yang mengusik konsentrasi. Barisan monster mencakar-cakar kacanya yang tertutup, menimbulkan suara garukan yang membuat ngilu ketika kuku dan kaca saling beradu.
Suara lain meningkahi geraman-geraman itu, disusul belasan tubuh dengan seragam kusut berwajah takut yang memenuhi lapangan tersebut. Lantai seolah bergetar saat mereka berlari, menyongsong apa yang mereka kira harapan untuk selamat dari petaka ini.
Mark meninju jendela dengan kepalan tangannya. "Jangan!"
Dia terlambat.
Murid-murid serta guru Han yang tidak mendapatkan pemandangan ke lapangan pastilah telah salah mengira gerbang roboh karena ulah pahlawan yang berdatangan. Mereka tidak tahu. Oh, Tuhan, mereka tidak tahu! Mereka mendengar tembakan, mereka mendengar raungan sirene, dan tanpa pikir panjang meninggalkan perlindungan ruang kelas pojok yang aman.
Saat seorang polisi tertatih-tatih keluar dari salah satu pintu mobil patroli, sambil meratap, "Tolong!" barulah mereka sadar mereka sudah melakukan kesalahan.
Para zombie yang setia menunggu kontan menyerbu polisi itu bagai kawanan anjing yang kelaparan. Si polisi tidak sempat berlari, sebab zombie menggulingkannya dan tidak memberinya kesempatan.
Yang lain langsung mengejar kerumunan murid yang kocar-kacir berputar balik. Kepanikan menjelma jadi musuh terbesar sebab menyebabkan mereka tersandung, saling dorong, tidak terkoordinasi dengan baik. Akibatnya buruk; para zombie menang dan mereka kalah.
"Mark-hyung!" Seru Jaemin gusar, disambung kakaknya, "Kita harus nolong mereka!"
Tanpa diminta pun Mark lebih dulu meraba sakunya, mencari-cari kunci yang ia taruh di situ, di tengah-tengah suara Haechan yang mendendangkan kalimat ejekan. "Itu sia-sia, percuma."
"Nolong orang nggak pernah sia-sia!" Mark membantah, meski di suatu tempat dalam hatinya dia tahu, Haechan tak sepenuhnya salah. Dengan puluhan (atau ratusan?) zombie di mana-mana, apa yang akan mereka lakukan? "Kamu一"
Mark berhenti.
Kunci itu tidak ada!
"Apa?" Jaemin membelalak. "Jangan bilang kuncinya hilang."
"Kuncinya nggak hilang, mungkin jatuh waktu aku jalan-jalan."
Jeno mulai membungkuk, memasang mata lebar-lebar di titik-titik lokasi yang disinggahi Mark untuk duduk atau berdiri. "Kalau gitu pasti ada di sekitar sini."
Jaemin yang tak puas memeriksa kantong Mark demi mencari celah tersembunyi. "Nggak berlubang. Kenapa bisa jatuh?"
Mark tidak mampu memberi jawaban yang jelas. Dia sampai berkeringat panik, tahu betul tiap detik yang mereka habiskan guna menemukan kunci itu bisa berarti ada 1 nyawa yang melayang. "Mungkin aku meleset pas naroh kuncinya?"
"Atau mungkin ...." Ucapan Jaemin terpotong saat ia memutar badan dan melangkah mantap ke arah Haechan. Jaemin, yang postur tubuhnya cukup jangkung, merenggut kerah pakaian Haechan dengan mudah tanpa adanya perlawanan dan memaksanya berdiri. "Mana kuncinya?"
Seringai geli terbentuk di wajah Haechan. "Apa maksudmu? Aku nggak ngerti."
Intonasi suaranya yang santai membuat Jaemin kehilangan kesabaran. Dia berteriak, "Kuncinya, Lee Haechan! Ada temenku di sana! Aku tahu kamu nggak peduli sama siapapun karena kamu nggak punya temen, tapi aku peduli sama Renjun, jadi serahin kunci keparat itu sekarang!"
Sang kakak, Jeno, memaksa Jaemin mundur mewaspadai Haechan yang masih mencengkeram benda tajam berbahaya. "Hei, tenang, kenapa kamu nuduh Haechan?"
Sayangnya, Jaemin menolak ditenangkan. "Dia yang ngambil, pasti dia. Inget kan tadi dia deket-deket Mark-hyung? Buat apa dia ngelakuin itu?"
"Aku nggak ngerasain apa-apa," ujar Mark jujur. Jika benar Haechan berbuat begitu, bukankah seharusnya dia merasakannya? Lagipula, mustahil Haechan sanggup merebutnya dalam hitungan detik!
Seringai Haechan berubah menjadi tawa, dan dia melepaskan tangan Jaemin darinya. "Lain kali jangan nuduh orang tanpa bukti."
Hal selanjutnya yang terjadi adalah Chenle memekik, menunjuk jendela yang ia pilih amati dibanding ikut berdebat dengan para seniornya. "Noona!" katanya pada Grace, yang sejujurnya mengejutkan Mark. "Jisung di luar!"
Nama itu memantik reaksi Grace yang semula sekedar duduk dengan tatapan kosong menjurus putus asa.
Gadis itu berdiri, menyebrangi ruangan dengan langkah-langkah kilat untuk mengecek keakuratan laporan Chenle. Sedetik, dua detik, lalu dia turun dengan rahang mengeras yang menyembunyikan ketegangannya. Grace menyambar sekop, tampak tangguh dalam sikap tenangnya, lantas berdiri tegak menghadap Haechan dengan pose meminta. "Aku butuh kuncinya."
Bahkan Haechan pun menyadari ada yang berubah dalam diri teman sekelas Mark itu. "A-apa?"
Tanpa kata, Grace mendorong Haechan ke dinding hingga kepalanya terbentur. Lengannya melayang menahan leher si pemuda supaya dia tidak bergerak, dan memanfaatkan kekagetan Haechan yang mencoba mencerna fakta bahwa ia baru saja diserang seorang perempuan, Grace meraba sakunya...
Kemudian mengeluarkan kunci yang Mark pikir terjatuh di ruangan ini.
"Apa kamu ini? Pencopet?!" Seandainya situasinya tidak mendesak, Mark sangat yakin grace akan memukul Haechan. Tapi dia punya prioritas dan prioritasnya adalah keluar lebih dulu demi seseorang yang bernama Park Jisung.
Dengan Grace di urutan pertama, mereka keluar. Seorang zombie mendatanginya dan ia membiarkannya mendekat hanya agar ia bisa menghajarnya di jarak serentangan tangan. Dengan 2 pukulan saja, Grace melumpuhkannya diakhiri tusukan fatal di kepala. "Jisung!"
Segera usai namanya dilantunkan, pemilik nama itu memperlihatkan eksistensinya. Dia, Park Jisung, memang menuju ke sini. Jari-jarinya kurusnya mencengkeram sebuah tabung kecil berwarna biru. Kehadiran Grace memicu gurat-gurat kelegaan di wajah bayi bocah itu. "Noona!"
Tepat sebelum orang lain meraih bahunya dan mendorongnya sebagai umpan pada para zombie.
Grace menjeritkan sesuatu yang tidak membentuk kata-kata, saat 3 zombie sekaligus menubruk remaja itu dan otomatis membuatnya terkapar di lantai. Satu memegang kakinya, satu berupaya menggigit pundaknya, yang terakhir menghalanginya bangkit dengan menimpa perutnya.
"Jisung!"
Grace melesat, lebih cepat dari yang pernah Mark saksikan selama 3 tahun pelajaran olahraga bersamanya, melewati seorang pria yang mengorbankan Jisung yang terseok-seok menyentuh bahunya yang dihiasi luka cabikan menganga.
Guru Han tidak sekalipun menoleh, terlampau fokus menyelamatkan nyawanya sendiri tidak peduli bila itu berarti muridnya harus mati.
Sedangkan Jisung yang terkepung hanya bisa menghempaskan satu zombie saja. Kakinya mencoba menendang tapi zombie kedua berhasil merobek celananya. Mulut zombie itu terbuka, bernafsu dan lapar, dan ia berancang-ancang membenamkan giginya pada kaki Jisung.
Tabung mungil yang Jisung pegang menggelinding menjauh.
Semuanya seakan terjadi dalam gerakan yang diperlambat. Mark, yang mengejar Grace dengan niat menawarkan tangan tambahan, melihat kengerian di mata Jisung, juga permohonan yang tak terungkapkan pada orang yang ia panggil kakak. Namun jarak yang membentang di antara mereka terlampau luas, dan tidak akan bisa dipangkas dalam waktu singkat.
Jisung mengerti itu.
Ketika tangannya yang terulur turun lagi dan terkulai, bara api di matanya padam. Dia berganti memejamkan mata, menanti takdir yang tak terelakkan, yang datang bagai ombak ganas tak terhentikan.
Grace menggeleng repetitif. "BERHENTI!"
Tapi zombie-zombie itu tidak mematuhinya atau mengenal belas kasihan. Kulit Jisung yang terpampang menjadi sasaran empuk dan zombie itu menunduk. 15 senti, 9 senti. Dia akan menggigit Jisung dan tamatlah riwayatnya. 5 senti, 3一
Sebuah tangan ramping mendadak menjambak si rambut zombie dan menyingkirkannya seperti orang lain membuang sampah. "Ck ck ck, mau makan harus di masak dulu." Tangan yang sama menghunuskan cutter ke dahinya dan memastikan dia benar-benar sudah mati lantas menendangnya.
Teman berambut pirang si kembar mengelap tangannya yang basah oleh darah ke celananya dengan ekspresi jijik.
Grace mengurus zombie yang tersisa dan membantu Jisung berdiri. Dia bertanya berulang-ulang, "Kamu nggak apa-apa? Nggak ada yang luka kan?"
Alis pemuda itu terangkat kagum berkat aksinya. "Bagus."
"Huang Renjun?" Tanya Mark, dan dia mengangguk. "Jaemin nyari kamu."
"Mana dia?" Renjun celingukan, menoleh ke kanan dan ke kiri, dan tersenyum saat orang yang ia cari muncul dalam jarak pandang. "Jaemin! Masuk ke lab, ambil gunting! Gunting!"
Sementara mereka mendiskusikan strategi, Mark melesat ke lapangan untuk membantu siapapun yang membutuhkan. Namun dia malah mendapati tak ada yang bisa ia lakukan. Alasan sebagian besar zombie-zombie itu tetap tinggal di lapangan, adalah karena mereka sibuk makan di sini.
Monster-monster itu berpesta selagi suhu tubuh santapan mereka masih hangat.
Orang-orang yang dikenal Mark, orang-orang yang berpapasan dengannya di kafetaria dan kerap menyapanya, semuanya mati.
Besarnya hantaman kesedihan yang Mark rasakan nyaris membuatnya jatuh berlutut.
Diakah yang menyebabkan kejadian ini?
Belum reda kekagetan Mark, sesosok tubuh bergegas melewatinya, berbekal gunting yang sisi tajamnya diacungkan. Haechan menerobos lautan mimpi buruk ini dengan sepatu putihnya yang ternoda. Siapapun yang menghalangi ia habisi, dengan tujuan jelas ke mobil patroli polisi. Berniat kabur? Mark merutuki kebodohan anak itu.
"Haechan! Haechan, jangan bunuh diri. Kamu nggak bisa ngurus semuanya sendiri!"
Panggilan lain membuatnya berpaling. Mark terkejut bukan main saat Jinho melambai padanya dari bawah tubuh seorang pria yang menimpanya. Kaki kanannya tertekuk ke arah yang salah dan lebam parah. "Mark? Mark, tolong." Suaranya tercekat. "Kaki aku ... Gara-gara lari."
Mark segera mengangkat tubuh pria itu dan memapah Jinho, meski ia berhenti sejenak untuk mengawasi apa yang Haechan perbuat.
Haechan ternyata membuka pintu mobil polisi bukan untuk kabur, melainkan memungut senjata yang takkan berguna untuk mereka yang sudah jadi mayat. Ia melucuti si polisi kedua, menyimpan pistol, magasin cadangan, dan pisaunya. Lalu kembali berlari membawa seluruh persediaan berharga itu.
Mark mengikutinya sembari setengah menyeret Jinho. Grace serta Jisung telah pergi, dan si kembar terbukti menunaikan tugas mereka dengan telaten dengan membersihkan koridor dari zombie-zombie yang hidup, menyisakan mayat-mayat yang bergelimpangan dan berbau busuk. Mark baru hendak berbelok ke ruang tari, saat Jeno memberi isyarat dari pintu lab. Di kaki Jeno, terdapat jasad seorang wanita yang tergenang darah dari pusat luka di kepalanya.
"Ke sini! Ruang tari dikunci guru Han."
Kesal bercampur murka, Mark menyesal tidak menjegal pria itu saat ada peluang. Dia membisu, terlalu marah untuk mengumpat. Dilangkahinya jasad si wanita dan masuk ke lab.
Chenle dan Jaemin buru-buru menutup pintunya dan menumpuk meja agar pintu itu kian sulit ditembus. 9 orang, termasuk dirinya dan Jinho, kini berkumpul. Duduk di lantai atau kursi dengan napas tak teratur yang terhembus dari paru-paru yang bekerja keras hari ini.
Haechan mengusap keringat di dahinya dan menatap Jinho. "Siapa ini? Kenapa dia di bawa ke sini?"
Grace, musuh bebuyutan Jinho, melempar pandangan tidak setuju. "Keluarin dia, Mark."
Oh, hebat. Sekarang mereka berada dalam tim yang sama.
Mark meraih sebuah kursi untuk Jinho dan mempersilahkannya duduk. "Dia Jinho, Grace, inget? Aku tahu dia kadang-kadang nyebelin, tapi kita harus saling bantu di situasi ini."
Grace bersikukuh dengan penolakannya. "Nggak. Dia bukan tipe orang yang bisa diajak kerja sama."
Jinho tertawa gugup. "Ayolah, Grace. Apa mau kamu? Ngusir aku yang lagi cedera?"
"Ya. Baguslah kalau kamu bisa nebak."
"Grace一" Mark maju pada gadis yang emosi itu, menyentuh bahunya. "Jangan kayak gini. Dengerin aku一"
Tahu-tahu, Huang Renjun berdiri. Rambut keemasannya agak menutupi matanya saat ia menunjuk Jinho tepat di kakinya yang kesulitan berjalan. "Lihat itu."
Di kaki Jinho, tidak disadari Mark lebih awal, rupanya ada 3 goresan kemerahan berdarah yang tak pelak lagi, berasal dari cakaran kuku-kuku zombie yang cukup panjang.
Hihi karena di sini Jisung perannya murid teladan yang kiyowo, jadi gua bayangin rambutnya pendek kek gini 😳👉