Ketahuan Lagi

1.4K 154 67
By BlueBlackMe7

☆ Author

Sudah hampir dua bulan berlalu sejak perjanjian yang di buat oleh Leona dengan Arya. Leona menunjukkan keseriusannya lewat profit perusahaan yang terus meningkat dengan cukup pesat, Arya sama sekali tak menyangka anak muda itu sanggup melakukannya hingga perlahan dia pun mulai mempertimbangkan hubungan antara Sorokin muda itu dengan putrinya.

Tok.. tok..

Suara ketukan di pintu ruang kerjanya membuyarkan konsentrasinya. Siang ini Arya memanggil Renata untuk membicarakan tentang perjodohannya.

"Masuk," ucap suara tegas itu.

"Papa cari aku?" Suara Renata terdengar ragu.

"Hm, duduk."

Dengan langkah pelan Renata masuk dan duduk di hadapan papanya. "Ada apa pa?"

"Gimana perkembangan hubungan kamu dengan anak pak Burhan?" Tanya Arya langsung.

"Em.. lancar pa," jawab Renata ragu.

"Benarkah? Kamu tidak sedang membohongi papa kan?" Arya memperhatikan mimik wajah putrinya.

Tidak ada jawaban dari Renata, membuat Arya melanjutkan ucapannya. "Kamu sudah terima perjodohan ini?"

"Aku gak tau pa," lirih Renata, kepalanya tertunduk karena dia merasa tak nyaman dengan tatapan tajam dari papanya.

Arya menghela nafasnya, mencoba menekan segala perasaan di hatinya. Pria itu memutuskan untuk menceritakan sedikit tentang pernikahan pertamanya.

"Dulu papa sama mama kamu juga di jodohkan, kamu tau itu kan? Bertahun-tahun kami lewati dengan baik sampai akhirnya kamu lahir. Cinta akan datang dengan sendirinya jika kamu mulai terbiasa, seperti papa yang mulai mencintai mama kamu. Tapi apa kamu tau kalau cinta bukan segalanya dalam sebuah pernikahan?" Arya menjeda ucapannya dan itu kesempatan bagi Renata untuk mengakhiri ucapan papanya.

"Cukup pa, aku ngerti. Tapi Aldo gak bisa dibandingin sama papa, dia bukan-"

"Lelaki yang baik? Dengarkan papa, keburukan itu bisa dirubah jika ada seseorang yang menuntunnya untuk menjadi orang yang lebih baik, papa rasa kamu bisa melakukannya."

"Tapi pa-"

"Kamu masih berhubungan dengan pacarmu itu?" Arya kembali memotong ucapan Renata. Renata kembali menunduk dan terdiam.

"Papa anggap diam kamu sebagai iya. Nama pemuda itu Leon Sorokin?!" Arya mengeluarkan pernyataannya. Tubuh Renata menegang mendengar nama sang kekasih disebut oleh papanya.

"Dia pemuda yang baik dan juga bertanggung jawab, tipe orang yang memegang kata-katanya, iya kan? Untuk saat ini papa akan pantau hubungan kamu, papa belum bisa mengambil keputusan untuk merestuinya atau tidak."

Renata mengernyit heran. Apa maksud ucapan papanya? Awalnya sang papa membahas tentang perjodohannya, kemudian mengungkit hubungannya dengan Leona. 'Apa papa ngasih lampu hijau buat Leona? Tapi kok bisa?' Batinnya.

"Aku gak ngerti maksud papa, apa papa ngebolehin aku tetep sama Leon?" Tanya Renata hati-hati.

"Mungkin seperti itu. Tapi papa tetep ingin kamu memberi kesempatan pada anak pak Burhan, tidak ada penolakan."

"Tapi-"

"Papa rasa sudah cukup, kamu boleh keluar sekarang," ucap Arya final. Ada keraguan di dalam hati pria itu, tapi dia mengabaikannya dan memutuskan untuk mengakhiri percakapan itu agar tak berubah pikiran.

Renata keluar dari ruangan kerja papanya, berjalan menuju kamar tidurnya dengan sejuta pertanyaan dalam benaknya. Jujur saja dia sangat penasaran dengan keputusan papanya itu.

"Apa papa mata-matain aku sama Leona ya? Atau mungkin Leona melakukan sesuatu?" Tanyanya setelah berbaring di kasur empuknya sambil menatap langit-langit kamar.

"Tapi kayaknya gak mungkin papa mata-matain Leona. Kalo emang iya, papa pasti tau kalo Leona itu perempuan. Duh aku jadi bingung sendiri!"

☆☆☆

"Maaf kamu nunggu lama ya?" Ucap Leona setelah duduk di kursi samping Renata.

"Nggak kok, kamu lagi sibuk sama kak Mona?" Balas Renata.

Renata yang masih heran dengan sikap papanya mengajak Leona bertemu di cafe milik Gilang, siapa tau Leona punya jawaban atas pertanyaannya, kan?

Oh iya, ngomong-ngomong mereka berdua sudah tidak bekerja lagi di cafe milik Gilang karena ingin fokus pada ujian yang hampir di depan mata, jadi mereka berdua menghabiskan waktu dengan belajar dan jalan-jalan untuk menghilangkan penat.

Setelah memesan minuman dan cemilan, Renata mulai menceritakan percakapan dengan papanya tadi siang. Leona mendengarkan dengan sangat serius tapi kemudian dia senyum-senyum setelah Renata mengakhiri ceritanya.

"Kenapa kamu malah senyum-senyum gitu?" Tanya Renata dengan mata yang memicing curiga.

"Ya gak apa-apa, emang aku gak boleh senyum? Aku cuma seneng aja dapet lampu ijo dari camer, hehe," balas Leona makin melebarkan senyumnya.

"Kamu aneh tau gak, sebenernya kamu sembunyiin apaan sih? Kenapa tiba-tiba papa bilang kayak gitu?"

"Ya mana aku tau? Mungkin aja papa kamu udah terbuka mata hatinya jadi pengen liat anaknya bahagia," jawab Leona asal.

"Huft, mungkin gitu ya. Tapi perasaan aku kok jadi gak enak gini?"

"Mau aku enakin?" Goda Leona sambil memainkan alisnya naik turun.

"Ih apaan sih! Muka kamu kayak om-om pedo tau gak."

"Tapi suka kan aku mesumin?"

"Leon!" Desis Renata karena Leona bercanda tak tau tempat.

Sementara kedua pasangan itu sedang asik berkencan, di tempat lain pun seorang anak sedang menghabiskan waktu liburnya dengan kedua orangtuanya.

"Coba aja kakak ikut, pasti tambah seru," keluh Alvi.

"Jadi sekarang gak seru nih ceritanya?" Canda sang bunda.

"Ya gak gitu sih bun, cuman kita jarang banget keluar bareng kakak sama ayah."

"Kamu bener sayang, tapi bunda gak bisa maksa kalo ayah gak mau pergi bareng kakak," tutur Lidya ikut bersedih. Dia selalu berdoa semoga saja sang suami yang keras kepala itu bisa bersikap hangat pada putri sulungnya, meskipun hanya sedikit saja.

"Pokoknya lain kali kita harus ajak kakak juga ya bun. Vivi bakal paksa ayah biar ikut, kalo perlu Vivi sita kunci mobil ayah biar ayah gak bisa pergi kerja," ucap Alvi dengan polosnya.

"Ada-ada aja kamu, tapi bunda setuju," Lidya terkekeh mendengar rencana si bungsu.

"Ayah lama banget sih bun! Jangan-jangan kehabisan tiket?!"

Saat ini Alvi dan Lidya sedang duduk menunggu Arya yang sedang mengantre tiket untuk menonton film. Gadis kecil itu memiliki hobi yang sama seperti sang kakak, bedanya dia kurang menyukai film horor sehingga setiap menonton dengan Renata dia selalu menghindari genre tersebut.

"Bun bun liat deh, itu kaya kak Aldo kan?" Tunjuk Alvi dengan mengarahkan jari telunjuknya.

"Mana? Oh iya bener, berarti kakak kamu ada di sini juga dong?" Ucap Lidya antusias.

"Kayaknya kakak gak ada di sini sih bun, kakak kan gak suka sama kak Aldo jadi mana mau kakak di ajak jalan-jalan sama kakak sok kegantengan itu," celetuk Alvi, Lidya tertawa mendengar nada suara anaknya yang terdengar dengan jelas ketidaksukaannya.

"Bunda juga gak suka sih sama anak itu, mukanya gak kayak orang yang tulus."

"Nah kan, kita samaan dong bun. Tapi kok ayah gak bisa ngerasain ya bun."

"Mungkin ayah punya pertimbangan lain."

"Eh bun ayah udah dateng," Alvi berbisik dan merubah sikapnya agar sang ayah tak curiga. Begitu pun dengan Lidya, untung saja Alvi memberitahunya kalau tidak maka dia akan terus meracau mengeluhkan calon menantu pilihan suaminya.

"Ayah lama ya?" Ucap Arya, di tangannya sudah membawa minuman juga cemilan untuk di dalam nanti.

"Iya ayah lama! Tiketnya gak kehabisan kan yah?"

"Nggak dong sayang, tapi hampir aja sih, hahaha."

"Tuh kan! Coba kalo Vivi gak maksa buru-buru berangkat, pasti harus nunggu lama."

"Iya iya maaf, Ayah yang salah. Kayaknya teaternya udah dibuka, mau masuk sekarang?" Alvi mengangguk antusias dengan senyum lebarnya dan meraih tiket di tangan Arya. Lidya membantu membawakan cemilan sementara minuman mereka tetap dibawa oleh Arya.

Keluarga kecil itu menikmati film dengan diramaikan oleh celotehan sang anak. Film baru di putar kurang dari satu jam tapi Arya meminta ijin untuk ke toilet, 'kebelet pup,' katanya, membuat Alvi berpura-pura menutup hidung dan mengusirnya.

Pria itu pun berlari kecil menuju toilet terdekat untuk menuntaskan hasratnya. Setelah kurang lebih sepuluh menit, Arya keluar dengan perasaan luar biasa lega. Di koridor bioskop yang sepi itu Arya menangkap wajah yang dikenalnya dan menghampirinya.

"Aldo?" Sapa Arya. Aldo yang sedikit terkejut, segera merubah raut wajah tegangnya menjadi santai lagi.

"Eh sore om. Om lagi nonton juga?" Ucap Aldo berbasa basi.

"Iya, om sama keluarga om disini. Kamu sama siapa? Renata ke mana?" Tanya Arya yang heran melihat perempuan yang bersama dengan Aldo bukan putrinya. Padahal tadi Renata pamit untuk bertemu dengan Aldo.

"Oh kenalin om ini Celine, sepupu aku. Cel kenalin ini om Arya, temen bisnis papa."

"Sore om, saya Celine." Arya yang masih kebingungan menyambut uluran tangan gadis itu.

"Lalu di mana Renata?"

"Ah soal itu.." Aldo merubah mimik wajahnya dan mulai bersandiwara. "Tadi dia nolak ajakan aku om, terus milih pergi sama pacarnya." Tak ada tanggapan dari Arya.

"Aku minta maaf ya om, padahal aku udah berusaha buat bikin Renata normal lagi tapi Renata nolak terus."

"Normal lagi? Apa maksud kamu?" Aldo menutup mulut dengan telapak tangannya, berpura-pura keceplosan.

"Aduh maaf om.. aku gak maksud.. ah gimana nih," ucapnya terbata.

"Apa maksud ucapan kamu tadi? Katakan dengan jelas!" Pinta Arya serius.

"Anu.. maaf om, apa om gak kenal sama pacarnya Renata?"

"Ada apa dengan pria itu?" Tanya Arya balik.

"Pria? Tapi.. maaf om, pacar putri om itu bukan laki-laki."

"Bukan laki-laki? Kamu ingin bilang anak saya menyimpang?!"

"M-maaf om aku gak bermaksud begitu. Tapi.. tapi memang benar begitu kenyataannya."

Arya pergi dari hadapan kedua remaja itu tanpa berkata apapun lagi. Otaknya mengulang-ulang ucapan pemuda yang baru saja ditemuinya. Tidak mungkin anaknya seperti itu kan? Apalagi baru beberapa jam yang lalu dia mempertimbangkan hubungan putrinya dengan Sorokin muda itu.

"Akting kamu bagus, hehe," ucap gadis remaja yang bersama dengan Aldo tadi.

"Iya dong sayang, untung aja tadi aku belum nyosor. Bisa gagal aku balas dendam sama si putri es itu kalo tadi ketauan, hahaha."

"Sekarang tinggal kita berdua nih," ucap gadis itu dengan manja. Kedua remaja itu melangkah tergesa menuju toilet dan melanjutkan aktivitas yang sempat tertunda tadi.

☆☆☆

Siang ini Arya sengaja meeting dengan klien-nya di restoran dekat sekolah Renata tanpa di temani oleh sang sekretaris agar tak di curigai karena dia berniat untuk memantau langsung putri sulung mereka untuk membuktikan ucapan Aldo kemarin.

Meeting berlangsung selama satu jam lebih, Arya yang tak ingin tertinggal jam pulang putrinya, segera menancap gas mobil kantornya ke dekat gerbang sekolah dan menunggu di sana. Pria itu sengaja memakai mobil kantor dan bukan mobil pribadinya agar Renata tak tau kalau dia sedang di awasi.

Di seberang gerbang sekolah, Arya memarkirkan mobilnya agar bisa melihat wajah siswi-siswi yang keluar langsung dari depan. Dia bernafas lega karena gerbang masih tertutup yang berarti jam pulang belum terlewatkan olehnya.

Cukup lama Arya menunggu sampai akhirnya dia melihat dua wajah yang dikenalinya keluar sambil berboncengan menggunakan motor matic. Dia segera men-starter mesin mobilnya dan mengikuti dengan hati-hati.

Motor yang dikendarai oleh Leona melaju dengan kecepatan normal sehingga Arya tak kehilangan jejak. Cengkraman tangannya pada setir mobil mengencang karena melihat putrinya memeluk si pengendara dengan erat, otaknya mencoba mengelak hal itu. 'Mungkin dia hanya takut jatuh jadi berpegangan seperti itu, pikirnya.

Motor yang diikutinya berhenti di depan mini market, Arya ikut berhenti tak jauh dari tempat itu dan menunggu sambil terus berpikir positif.

Tak lama, motor yang dikendarai oleh kedua remaja itu keluar dari area minimarket. Dengan sigap Arya kembali mengikuti mereka berdua hingga motor di depannya masuk ke tempat yang sepi menyerupai hutan.

Leona dan Renata turun dari motor dan mulai berjalan masuk ke dalam hutan itu sambil bergandeng tangan. Arya yang melihat dari jarak yang cukup jauh mulai geram karena melihat seragam yang mereka pakai sama, sama-sama menggunakan rok.

Perlahan pria itu keluar dari mobilnya dan mulai berjalan mengikuti kedua gadis tersebut. Sesampainya di dekat danau, Leona dan Renata mulai duduk dan mengeluarkan isi dalam kantong plastik dari minimarket tadi.

Dari balik pohon, Arya dapat melihat gerak-gerik kedua orang itu dan dapat mendengar percakapan keduanya karena suasana yang begitu sepi. Pikirannya mulai terbawa oleh emosi, dia tidak bodoh untuk bisa membedakan interaksi antar sahabat juga sepasang kekasih. Dan pemandangan di hadapannya menunjukkan dugaannya yang kedua saking intimnya interaksi mereka berdua.

Arya masih tetap mengawasi keduanya sampai akhirnya dia melihat hal yang tidak pantas dilakukan oleh kedua remaja itu. Dia benar-benar kecewa pada putri sulungnya dan tidak menyangka akan dikejutkan oleh keintiman keduanya.

"RENATA!" teriak Arya membuat kedua remaja itu tersentak dan segera melepaskan pagutan di bibir masing-masing. Keduanya berdiri dengan tubuh yang menegang. Leona merasa deja vu karena hal yang sama seolah terulang kembali, hanya saja kali ini ayah dari sang kekasih yang memergoki mereka.

"P-papa?" ucap Renata pelan.

PLAK...

Arya melayangkan tamparan pada Renata, tapi untungnya Leona dengan sigap melindungi gadis itu sehingga tamparan itu melayang ke pipinya.

"Papa!" seru Renata, sangat terkejut. Tak menyangka kalau papanya akan bermain tangan.

"Kamu benar-benar membuat papa malu, Renata! Jadi selama ini kamu berhubungan dengan seorang perempuan?!" ujar Arya dengan suara keras, suasana yang sepi membuat suara pria itu seakan menggelegar.

Renata tak berani menatap papanya, kepalanya tertunduk dalam sambil terisak. Dia tak menyangka papanya akan tau secepat ini perihal hubungan tak wajarnya dengan Leona.

"Maaf om, ini salah saya. Tolong jangan pukul Renata," ucap Leona memberanikan diri.

"Kamu!" Arya menuding Leona dengan telunjuknya. "Berani-beraninya kamu menipu saya. Berani-beraninya kalian mempermainkan kepercayaan saya?! Renata, ayo pulang!" Arya meraih tangan Renata dan membawanya dengan kasar sampai Renata terseok-seok.

"S-sakit pa, hiks," lirih Renata namun tak didengar sama sekali oleh Arya.

"Jangan kasar-kasar om," ucap Leona sambil menahan tangan Arya yang menyeret kasar Renata.

"Jangan ikut campur!" Arya mendorong bahu Leona dengan tangannya yang bebas hingga Leona tersungkur kebelakang dan kembali berjalan dengan cepat sambil menyeret Renata yang terus meronta.

"Leon," panggil Renata di sela isak tangisnya sambil menoleh ke arah Leona.

"Ren!" seru Leona setelah berdiri dan dengan cepat berlari menyusul Renata dan papanya. Tapi Arya yang sudah sampai di mobilnya segera mendorong paksa Renata ke dalam mobil dan tancap gas dari tempat itu.

"Renata!" lirih Leona hanya bisa melihat mobil yang telah berlalu dengan kencang itu.

"ARGH!" teriaknya frustasi sambil menjambak kasar rambutnya dengan kedua tangan. Dengan langkah gontai, Leona kembali ke danau untuk mengambil tasnya juga tas milik Renata yang tertinggal.

☆☆☆

Arya kembali menyeret putrinya dengan kasar setelah mereka sampai di rumah. Renata masih terisak sambil meringis kesakitan akibat cengkraman papanya yang begitu kuat.

"S-sakit pa, hiks." Keluhnya yang sejak tadi tak didengar sama sekali.

Setelah sampai di ruang keluarga, Arya menghempas kasar tangannya membuat Renata yang tak siap langsung jatuh terduduk.

"Mulai sekarang kamu kembali tinggal di sini. Papa akan ambil semua barang-barang kamu di apartment."

Alvi yang baru saja keluar dari kamarnya dan hendak menuju dapur terkejut melihat sang kakak terduduk di lantai sambil tersedu-sedu ditambah mendengar suara ayahnya yang sedang marah-marah. Segera saja bocah SD itu berlari menghampiri sang kakak.

"Kakak kenapa? Ayah. Ayah apain kakak?" tanyanya meminta penjelasan.

"Diam Alvi, ini bukan urusan anak kecil!"

"Nggak! Vivi gak akan diem aja kalo ini menyangkut kakak."

"Kamu hanya anak kecil, tidak perlu ikut campur urusan orang dewasa! Dan kamu Renata, papa akan sita ponsel kamu, papa sendiri juga yang akan mengantar jemput kamu mulai besok jadi jangan harap kalian akan bebas bertemu lagi," tegas Arya dan berlalu menuju pintu keluar, tapi langkahnya terhenti dan kembali mendekati putrinya.

"Satu lagi. Pertunangan kamu sama Aldo akan papa percepat." Setelah mengucapkan itu Arya benar-benar pergi melajukan mobilnya.

"Kak, ada apa ini? Kakak kenapa? Jawab Vivi kak."

Alvi yang masih kebingungan terus bertanya, sementara Renata hanya bisa memeluk adiknya sambil terus terisak. Melihat sikap kakaknya yang tak berniat menjawab, Alvi pun menyerah dan balas memeluk kakaknya agar segera tenang.

"Bi, tolong bawain minum buat kakak ya," pinta Alvi pada bibi yang hanya bisa melihat kejadian barusan dari jauh.

"I-Iya non, sebentar bibi ambilkan," ucap asisten rumah tangga itu gagap karena masih terkejut dengan kejadian di depan matanya.

"Kak, kita ke kamar yuk. Kakak istirahat, kakak pasti capek." Renata hanya mengangguk tanpa suara sedikitpun dan mulai berjalan menuju kamarnya dibantu oleh sang adik.

Tbc

Masih belom panas, baru di angetin..
Maafkeun kalo banyak kurangnya, hamba hanya manusia dengan otak pas-pasan 😂😂
Next chapter bakalan lebih panjang, anggep aja pengganti karena kelamaan update XD

ByeBlack 👀

Continue Reading

You'll Also Like

464K 16.2K 42
KONTEN DEWASA! ***** Sejak kecil Bian dan Fani sudah hidup saling berdampingan. Selain bertetangga, keduanya selalu berada di sekolah dan juga kelas...
281K 18.9K 64
"Bagaimana rasanya hidup di bawah belas kasihan orang lain, Cedric?" suara Eleanor bergetar, penuh luka. "Apa sesakit ini?" Cedric terdiam, tak mampu...
1.4M 14.6K 52
Romantic | Comedy | Adult 21+ Setelah kematian istrinya, Daniel seorang konsultan bisnis berusia 38 tahun, merasa terasing dan terjebak dalam rutinit...
8.5M 118K 57
GUYSSS VOTE DONGG 😭😭😭 cerita ini versi cool boy yang panjang ya guysss Be wise lapak 21+ Gavin Wijaya adalah seseorang yang sangat tertutup, ora...