Maybe I'm the sinner, and you're the saint
Gotta stop pretending, what we ain't
Why we pointing fingers anyway?
When we're the same
Ariana Grande
.
.
.
.
Pak Jungkook: Jimin...
Jimin: Pak, Bapak kok gak masuk? Masih sakit ya?
Pak Jungkook: Engggak
Pak Jungkook: Aku baik-baik saja, jangan khawatir
Pak Jungkook: Aku lagi siap-siap buat besok
Jimin: Oh syukurlah, kupikir sakit
Pak Jungkook: Malam ini kau ada rencana mau kemana?
Jimin: Mmm...
Jimin: Sebenarnya teman-temanku punya rencana malam ini
Jimin: Memangnya kenapa Pak?
Pak Jungkook: Gak
Pak Jungkook: Lupakan.
.
.
.
"Hoseok oppa, aku tidak mau pergi clubbing!"
"Kenapa, Jimin!? Ayolah, ini pasti akan jadi luar biasa! Ini pesta perayaan sebelum kau berangkat ke Paris! Kau harus menghadiri pesta perayaanmu sendiri."
Jimin mengamati wujud kegembiraan Hoseok dengan curiga. "Bahkan jika pestanya hanya terdiri dari kita berdua?"
"Tiga. Yoongi juga ikut. Kita akan bersenang-senang, kau pantas mendapatkannya." Hoseok menyeringai bangga.
Lima belas menit kemudian, mereka sudah berdiri dalam antrean di Distrik Gangnam, dan setelah empat belas menit menggigil dalam hawa dingin, akhirnya mereka masuk.
Dentuman bass keras menyambut dan lampu yang berkedip-kedip membuat Jimin merasa pusing. Hoseok meraih tangan Jimin, lalu mendorong kerumunan tubuh yang menghalani jalan ke meja minum. Para bartender tampak sibuk dan tidak terganggu. Dikelilingi oleh supermodel dan gaun seksi serba terbuka yang tidak membutuhkan imajinasi kreatif lagi untuk mengintipnya. Jimin merasa masih seperti anak kecil yang tersesat dengan gaun merah lengan pendek biasa-biasa saja, yang bahkan tidak memperlihatkan kulit pundaknya.
"Tolong dua gin tonik!" Hoseok memesan kepada bartender.
Jimin berbalik untuk melihat lantai dansa. Klub itu penuh sesak. Jimin yakin jika polisi muncul sekarang, mereka akan menangkap kurang lebih seratus orang. Setidaknya. Lampu strobo membuat orang-orang terlihat seperti robot yang menari dan sekarang Jimin ingin menjadi salah satunya.
Dua gelas gin tonik muncul di depan mereka.
"Ayo sambil goyang!" pekik Hoseok kelewat antusias.
Sebelum Jimin protes, dia sudah membawa gelasnya, kabur ke tengah-tengah lantai dansa.
Jimin memaksakan minumannya masuk dalam sekali tenggak, kemudian berjalan cepat ke kerumunan para robot. Dansa dan alkohol, yang biasanya bukan kesukaan Jimin, akan menjadi kesukaan Jimin malam ini. Begitu mereka berada di tengah-tengah kerumunan, tepat di tengah keringat sementara orang-orang mendorong Jimin dari semua sisi, diiringi bass paling keras dan diterpa sorot lampu paling terang, Jimin menyerah pada musik techno yang berdentum-dentum. Hoseok berteriak "Heeii sinii!" dan mencoba melambai pada seseorang, Jimin memejamkan mata, merasa agak pening. Alkohol sudah bersatu dengan baik di pembuluh darahnya. Jimin toleransi alkoholnya rendah, jadi pengaruh dari minuman memabukkan itu datang lebih cepat dari yang Jimin kira. Ternyata masih tidak cukup, Jimin minum dari sedotan gelas Hoseok ketika cowok itu lengah. Hoseok berseru ke kerumunan, dan sosok yang dikenalnya muncul dari lautan manusia.
Mata Jimin membelalak. "Yoongi oppa!" Sedotan terlupakan. Jimin menerjangnya. Yoongi langsung memeluknya dengan pelukan hangat.
"Jimin! Senang bertemu denganmu! Apa kabar!" Yoongi berteriak mencoba mengalahkan dentuman musik, lalu merangkul Jimin dengan tangan di pundak cewek itu. "Kau tampak hebat dan jauh lebih keren."
Jimin berseri-seri, malu-malu, meninju dadanya sedikit. "Hentikan, oppa, jangan bikin aku besar kepala. Oh iya, senang bertemu denganmu." Jimin menoleh untuk melihat Hoseok di sisi lain, "Aku sangat merindukan kalian berdua!"
Mereka bertiga mulai melompat-lompat setelah Yoongi bergabung. Jimin memejamkan mata dan kembali ke musik, merasa lebih ringan. Lebih baik. Mungkin karena alkohol, mungkin juga karena Yoongi dan Hoseok. Tidak peduli karena siapa dan apa, pokoknya Jimin hanya merasa baik. Dia terhuyung, dia melompat, dia tersenyum ke arah lampu, merasakan alkohol mematikan semua kewarasannya. Terus menutupi kesadarannya, untuk menikmati momen ini. Hoseok memberi Jimin seteguk minuman lagi, kemudian berbicara dengan Yoongi. Tapi Jimin bablas minum, menghabiskan seluruhnya sampai ludes tak tersisa. Hoseok memelototi dia.
Jimin spontan menutup mulut. Perutnya bergejolak. Seluruh minumannya naik lagi ke tenggorokan, dia mau muntah minum terlalu banyak.
"Aku mau cari udara segar!" Jimin berteriak pada mereka. "Aku akan kembali sebentar lagi!"
Mereka melambai pada Jimin dengan acuh tak acuh.
Jimin melirik ke lantai dansa, melihat Yoongi dan Hoseok seperti berada di gelembung kecil mereka sendiri. Mereka kelihatan oke-oke saja ditinggal.
Jimin terus melangkah hendak menuju ke pintu. Pasti ada semacam pintu belakang.
Jimin melangkah, atau setidaknya, dia merasa seperti sedang melangkah, menuju kamar mandi dan lihatlah... di ujung lorong sebuah tanda KELUAR hijau terang menyambut Jimin, membisikkan hal-hal menggoda dan janji-janji akan udara segar.
Jimin membuka pintu, diterpa gelombang udara segar. Udara segar yang bisa dia dapatkan di dekat tempat sampah. Pintu menutup di belakang Jimin, udara membelai wajahnya. Jimin terlihat lega. Menyandarkan punggung pada dinding bata lembab yang dingin di belakangnya.
Kemudian... muncul orang itu.
Si iblis yang kita kenal muncul dari balik tembok, jalan menuju ke gang tempat Jimin menikmati udara kotor dekat tempat pembuangan sampah.
Jimin melotot, semabuk-mabuknya dia, wajah itu jelas sekali...
Tidak, tidak, dia tidak mungkin di sini. Ini mimpi buruk 'kan?
Tapi mimpi buruk itu terus berjalan, langkah cepat, setelan hitam. Sepatunya berkilauan di bawah sorot lampu kuning, lampu yang membuat bayangan keras di wajahnya.
Tapi apa dia...
Apa, apa dia menyeret seorang pria? Dia mendorong pria itu ke tanah dengan kekuatan seperti itu. Jimin hampir bersumpah dia mendengar suara retak ketika lutut pria itu mendarat pertama kali ke tanah yang keras. Apa yang dia lakukan?
Lalu, empat bayangan lagi muncul. Tangan terangkat, memegang sesuatu, menunjuk pria itu. Telepon? Tidak. Pistol? Mereka menudingkan pistol!
Ini tidak mungin terjadi...
Pria malang itu mencoba bangkit dengan sisa-sisa tenaga. Kedua kakinya belum benar-benar menjejak ke tanah, pria itu ditembak di kepala.
Terdengar bunyi pistol yang teredam. Namun ditelinga Jimin tetap saja: "DOOORR!"
Oke, ralat, MUNGKIN! SUARANYA NYATA! Ini bukan mimpi!
Tubuh tak bernyawa terbaring. Dengan mata terbelalak liar, jeritan keluar dari tenggorokan Jimin yang serak karena ini nyata. Sorot mata Jimin mengikuti genangan cairan gelap yang keluar dari lubang bundar di dahi pria itu.
Seojun?
Dia menoleh ke arah Jimin seperti elang, mata hitamnya tiba-tiba mengamati Jimin. Wajahnya berubah menjadi sesuatu yang membuat Jimin merinding. Apa jeritannya terlalu keras? Jantungnya mulai berdebar seolah hendak meloncat keluar dari dada, tapi pikiran Jimin yang berkabut tidak dapat benar-benar memahami apa yang sedang terjadi. Apakah ini nyata? Bukan mimpi yang datang menghantui Jimin? Apakah dia nyata? Jimin benar-benar mabuk berat sampai-sampai mulai berhalusinasi membayangkan Seojun?
Jimin menancapkan kuku ke telapak tangan, dicubit. Dia tidak bangun. Tapi tidak mungkin—
Ini tidak mungkin. Itu tidak mungkin. Tidak tidak tidak tidak.
"Apa yang kau lakukan di sini?"
Jimin menyipitkan mata padanya karena... what? Apa dia benar-benar mendengarnya berbicara?
Ah shit, dia bukan halusinasi!
Semuanya berputar, Jimin kembali merasa mual. Dia hampir muntah dan harus bersandar ke dinding untuk menopang tubuh sendiri. Jimin menggigil namun tidak kedinginan, matanya sakit, tidak bisa memusatkan pandangan padanya. Bahkan ketika dia berjalan ke arah Jimin dengan niat buruk, dengan tampilan yang seharusnya membuat Jimin menjerit dan lari. Sayangnya, dia terpaku di tanah. Kepanikan berputar-putar di dadanya. Jimin tersandung langkah mundur saat pria itu semakin mendekat. Mata samar-samar Jimin memvisualisasikan dia seperti setan. Jahat, bukan Han Seojun. Bukan Han Seojun yang dia kenal. Jimin tidak bisa mengatakan dia orang baik, tapi dia tidak jahat. Dia hanya posesif...
Tidak seperti ini! Han Seojun yang di kantor tidak mungkin sampai menodongkan pistol ke arahnya. Dia mengacungkan senjata! Semakin dia mendekat, semakin dia melangkah ke dalam cahaya dari tanda "EXIT", Jimin bisa melihat jelas cipratan darah orang lain di kulitnya yang putih. Matanya yang hitam membara, namun rambutnya tetap rapi.
Sebuah van menderu-deru masuk ke gang, Seojun dan para preman itu mengalihkan perhatian mereka. Pintu van bergeser ke samping. Jimin berteriak tanpa suara, memohon kepada Tuhan ketika orang-orang dari van itu turun dan meraih tubuh tak bernyawa dari tanah lalu bergegas pergi, disertai tembakan dari Seojun dan antek-anteknya. Seojun mengatakan sesuatu kepada orang-orang itu, mungkin menyuruh mereka mengejar van itu, dia masih melepaskan tembakan-tembakan yang membuat Jimin shock.
Jimin masih membeku, terengah-engah dan tidak bisa bersuara, pikirannya kacau balau. Saking kacaunya tidak dapat membentuk satu pemikiran yang komprehensif, seperti mungkin inilah kesempatan yang bagus untuk melarikan diri.
Seojun meraih lengan Jimin dan menariknya, itu terasa sangat nyata. Jimin harus mengedipkan mata ketika pria itu mengangkatnya, melihat matanya; kekosongan di wajahnya yang tampan. Jimin mengulurkan tangan untuk menyentuh rambutnya, untuk meyakinkannya bahwa ini adalah bagian dari imajinasi. Dia membiarkan Jimin melakukan itu, mengawasi Jimin dengan mata yang sekarang terlihat agak bingung.
Rambutnya lengket. Jimin melihat jari-jarinya sendiri. Merah.
Kali ini Jimin merasakan lengannya melingkari tubuh, memeluknya erat-erat. Aroma tubuhnya mengelilingi Jimin.
Jimin merasakan sengatan tajam di lehernya, dia meringis, menduga itu gigitan nyamuk.
Jimin menggumamkan sesuatu, ingin mengutuk mimpi buruk yang tidak pernah berakhir ini, memohon agar pikiran sadarnya membangunkan dia. Sebaliknya, Jimin malah mendapati dirinya jatuh ke dalam kegelapan total. Jimin menjulurkan leher ke atas untuk melihat wajah Seojun. Tampan di bawah rona oranye lampu, bahkan lebih manis dari yang Jimin ingat. Garis hidung yang tajam dengan rahang yang terlihat jantan, wajah pucatnya, sorot tajamnya. Darah adalah satu-satunya hal yang benar-benar merusak visual itu...
Oh, aku sangat mengantuk.
Jimin merasa kepalanya lebih berat, jatuh ke belakang, terlalu berat, seperti bola bowling....
Hal terakhir yang dia ingat adalah mata hitam Seojun terkunci pada matanya.
.
.
.
Ouch...
Sakit...
Jimin mencoba meraih kepalanya tapi.... rasanya berat. Sepertinya ada beban di atasnya.
Jimin meringis dan hanya bisa merasakan jari-jarinya perlahan bergerak. Jimin mencoba menekuk kakinya ke samping, tapi kaki-kaki bodohnya hampir tidak bergerak satu inci pun. Sadar kalau dia bahkan belum membuka mata.
Jimin mencoba membukanya, tapi cahaya di depan sangat cerah hingga terasa sakit. Jimin harus memalingkan kepala dari cahaya itu. Jimin takut. Nalurinya mencoba memberi tahu sesuatu, tetapi pikirannya tidak bisa benar-benar fokus pada apa pun kecuali pada cahaya. Cahaya. Sakit, kenapa sangat sakit? Jimin mencoba untuk membuka mata, rasa sakit yang tajam menusuknya. Mau menjerit, tapi mulutnya terasa seperti amplas dan yang berhasil dia keluarkan hanyalah batuk yang menyiksa.
Air.... aku sangat haus.
Batuk lagi. Meringis lagi. Mata Jimin perlahan menyesuaikan dengan cahaya, lengan dan kakinya mulai terasa kesemutan. Tangan Jimin mencengkram kain lembut di bawahnya. Seprai. Seprai mahal. Jimin mendorong telapak tangannya ke bawah. Sebuah kasur. Dia berada di tempat tidur, tapi dia sadar ini bukan miliknya. Jimin mengerutkan alis, ada aroma masuk melalui hidungnya, diproses ke dalam otak, hingga sebuah ingatan samar-samar ingin muncul, tapi sayangnya itu terlalu jauh. Jimin berhasil menoleh ke samping sedikit, merasakan betapa beratnya anggota tubuh yang memprotesnya, membenci Jimin karena mencoba terlalu banyak gerakan. Lututnya terasa kaku.
Jimin memejamkan mata lagi, sakit kepalanya mereda sedikit. Apa yang terjadi padaku? Semuanya masih tersembunyi di balik tabir yang berkabut, namun sedikit demi sedikit muncul, sebuah gambaran muncul di benaknya.
Jimin merayakan pesta keberangkatan bareng Hoseok. Gaun merah. Yoongi. Mereka pergi ke suatu tempat. Jimin menari-nari bahagia. Sebuah klub. Jimin minum terlalu banyak. Tak pernah sebanyak itu. Kemudian, dia melihat sepasang mata yang akrab.
Mata Jimin terbuka lebar. Baunya, itu dia. Itu dia, itu dia, itu dia. Sakit kepala mengambil alih dan kali ini Jimin mencengkram seprai di bawahnya.
"Tenanglah." Suara rendah dan super dalam milik seorang pria terdengar dari suatu tempat. Itu suara si iblis. "Efek samping obat itu akan hilang. Kau pasti bisa bergerak sebentar lagi."
"Aku tidak akan banyak gerak jika aku jadi kamu." Suara yang sama. Peringatan. "Obatnya belum meninggalkan tubuhmu."
Jimin ingin mengangkat kepala, tapi sayang masih terasa berat. Obat apa? Jimin tidak minum obat apa pun. Apa sih yang dia bicarakan? Apa yang dia lakukan disini? Apa yang sedang terjadi? Jimin meletakkan tangan di sisi tubuh, keduanya terkepal. Ini dia. Dorong! Dorong, sialan. Tangan Jimin gemetar, otot-ototnya menjerit minta ampun, mereka mulai terbakar tapi Jimin terus mendorong tubuhnya bangkit, ke atas, inci demi inci, hingga Jimin berhasil mengangkat dada dari kasur.
Kepala Jimin mendongak. Gelap. Jimin membuka mata dan itu gelap. Jimin berkedip berkali-kali untuk mencoba membuat matanya fokus. Kamar tidur, besar. Lantai glossy, furnitur tidak banyak. Jimin melihat ke bawah, dia berada di tempat tidur, seprai sutra putih gading. Terletak di tengah ruangan. Jimin menoleh ke samping, otot-otot di belakang lehernya terasa kaku tapi peregangan yang baik akan membuatnya lebih baik. Matanya terfokus pada tirai hitam. Dari tepi-tepi tirai Jimin bisa melihat secercah cahaya yang lolos. Tirai anti tembus pandang.
Seojun...
Aromanya mengelilingi Jimin.
Jimin menarik napas dalam-dalam, mengusap mata, jelas bahwa dia sendirian di ruangan itu. Jimin melangkah turun dengan hati-hati. Sepatu hak tingginya disusun dengan rapi di kaki tempat tidur. Setidaknya Jimin masih pakai baju. Setidaknya pembunuhan itu tidak mencakup sesuatu yang Jimin tidak inginkan, seperti pemerkosaan.
Jimin meletakkan tangan di pegangan pintu yang dingin dan menekannya, lega karena tidak berderit sama sekali. Jimin mengintip ke sana, melihat ruang tamu yang bermandikan cahaya matahari, masuk dari jendela, dari langit-langit. Ruang tamu menghadap dapur terbuka dan Jimin tergoda untuk mengambil segelas air, tetapi dengan cepat membuang pikiran itu.
Aku harus keluar!
"Mau kemana?"
Jimin menjerit dan berbalik untuk menemukan pria itu menatapnya dengan tatapan mengancam. Dia menggerakkan tangan kirinya ke pintu, dan dengan sekali klik dia menguncinya. Mengunci Jimin bersamanya.
"Kenapa kau membawaku ke sini?" tanya Jimin, berusaha terdengar tegas tapi gagal total
Alih-alih menjawab, dia menghampiri kulkas kecil di kamarnya, mengeluarkan sebotol air dingin dari kulkas dan mengosongkan isinya ke dalam gelas. Pria itu berbalik menghadap Jimin. Dia menatap Jimin, mengangkat gelas itu, meletakkannya di meja.
Seojun berjongkok di dekat Jimin, menangkup dagunya. "Kau kupulangkan ke rumahmu dengan cara baik-baik, tapi dengan satu syarat."
Teror menyelimuti Jimin, dia merasa sulit bernapas. Apa yang terjadi dengan pria ini? Kenapa dia melakukan ini? Jimin mencengkeram lengannya, berharap bisa melepaskan cengkeraman Seojun dari wajah. Dia tak bergeming. Matanya yang kejam terus menatap Jimin, buku yang sulit dibaca, jendela yang sulit didobrak.
"Apa? Apa yang kau inginkan?"
.
.
.
Hoseok Oppa
14 Panggilan Tak Terjawab
Yoongi Oppa
10 Panggilan Tak Terjawab
Jisooyaa
5 Panggilan Tak Terjawab
Pak Jungkook
20 Panggilan Tak Terjawab
Appa
8 Panggilan Tak Terjawab
Eomma
Jiiimin! Mau nginap di rumah cowok setidaknya bilang-bilang dulu! Jangan bikin teman-temanmu panik!
Yeonjun
Noona, pacarmu dtg, dia mencarimu tau. Kau dmn?
Yeonjun
Noona, ibu nyaris menelpon polisi. Cepat pulang! Jangan bkin takut!
Pak Jungkook
Jimin!
Jimin!
Hei jawab!
Kumohon...
Angkat telponnya!
Jimin!
.
.
.
Seojun menepati janji.
Dia mengembalikan Jimin ke rumah keluarganya. Tepat ke pelukan orang tuanya.
Menemui orang tua Jimin dengan senyum manis seorang atasan yang tidak sengaja menemukan Jimin pingsan di gang belakang. Lalu karena kasihan ada anak gadis malam-malam pingsan di gang gelap begitu, Seojun bawa pulang ke rumah. Dengan tambahan kalimat, "Aku tidur di sofa sepanjang malam mengawasi Jimin."
Lucunya, cuma itu satu-satunya kesaksian dia yang tidak perlu dipertanyakan.
Orang tua mana yang tidak simpati melihat atasan baik hati seperti ini? Atasan yang langsung menawarkan kasur yang hangat dan segelas teh di pagi hari untuk karyawannya yang teler di jalan.
Yang tersiksa Jimin, harus memasang wajah baik-baik saja. Seolah dia tidak pernah melihat laki-laki ditembak di gang gelap itu. Diancam untuk menghapus semua itu dari ingatannya. Jangan pernah diceritakan ke siapa-siapa. Jika mulut Jimin bocor, tanggung sendiri akibatnya.
Yah, entah siapa kali ini yang menjadi target Seojun kalau Jimin sampai bocor ke publik. Intinya Jimin dilarang membocorkan rahasia dan identitas Seojun yang sebenarnya. Berat sebelah memang kesepakatan yang Jimin harus sanggupi. Lebih banyak menguntungkan pihak Seojun.
Terpaksa... demi keselamatan keluarganya.
"Terima kasihh, Seojun-ah!" Ibunya Jimin melambaikan tangan melepas kepergian mobilnya.
Jangan berterima kasih pada iblis itu ibuuuu!
Jimin hampir menangis meratapi nasib.
.
.
.
Keluarga Kang adalah keluarga pertama yang tiba di kapal. Sorot kagum mengarah ke mereka, setiap anggota kru kapal yang mereka lewati kontan membungkuk.
Pelayaran ini ditawarkan kepada anggota masyarakat tertinggi dan mereka yang berada di dalam lingkaran itu sering kali mendapat pelayanan bak keluarga kerajaan.
Seojun berjalan tiga langkah di belakang ayah dan ibu tirinya menaiki anak tangga, masuk ke atrium utama kapal. Seojun hanya membawa ponsel dan dompet di saku celananya dan kartu kunci kamarnya di satu kantong, semua bagasi mereka telah dikirim ke kamar mereka secara langsung. Tidak ada layanan yang membuat repot para peserta pelayaran eksklusif ini, dan setiap anggota kru yang dilewati Seojun menunjukkan senyuman yang gembira dan ramah.
"Selamat datang, Tuan, Nyonya!" Mereka membungkuk menyambut Tuan dan Nyonya Kang terlebih dahulu, Seojun segera setelahnya.
Tidak menyukai perhatian saat bersama orangtuanya, Seojun menundukkan kepala dan mengekori di belakang orangtuanya.
Mereka mencapai kamar Seojun lebih dulu, kabin full interior dilengkapi jendela kecil.
"Aku akan pergi ke suite," ucap Kang Hyosung, ibu tiri Seojun, sementara Seojun membuka pintu kamar. Orangtuanya akan tinggal di suite mewah dengan balkon labar di dek paling atas, lantai dua belas. Sementara Seojun akan tinggal di dek ketujuh. Ketika dia pertama kali diberi tahu tentang hal ini, Kang Seokhwa, ayahnya bilang "Kamu harus menghemat uangmu, Nak" seolah-olah dia mengharapkan Seojun mengeluh. Sebaliknya; semakin jauh Seojun dari Seokhwa dan Hyesun, semakin bahagia dia.
"Aku akan menemuimu di sana," jawab Seokhwa kepada istrinya. Seojun mencoba rileks dan tidak menegang, mengetahui 'diskusi seru' dengan ayahnya sebentar lagi terjadi.
Seojun berjalan masuk ke kamarnya, menghapal detailnya dengan sangat cepat. Untuk satu orang, itu lebih dari cukup dan didekorasi dengan selera tinggi. Tepat di sebelah kanannya ada meja kecil dengan lemari kecil dan kamar mandi dilengkapi shower. Selanjutnya ada meja kecil dengan telepon dan brosur untuk informasi kapal, serta cermin di dinding. Ruangan diperlebar untuk menampung tempat tidur queen size, TV yang dipasang di dinding dan jendela kapal di ujung ruangan.
Setelah memastikan bahwa semua kopernya telah dikirim dan sedang menunggu di kaki tempat tidurnya, Seojun memaksa dirinya untuk berbalik dan menghadap ayahnya. Tatapan kritis Seokhwa menyipit padanya. "Ayah yakin kau ingat apa yang kami harapkan darimu dalam perjalanan ini," katanya.
"Ya, Ayah." Seojun menjawab tanpa emosi yang tampak di wajahnya. Dia benci harus bertindak seperti ini, tunduk pada tatapan tidak setuju ayahnya dan kata-kata pedasnya, tetapi dia tidak punya pilihan lain. Ya, keluarga mafia Kang Seokhwa, ayah Seojun memang sudah kaya tujuh turunan tanpa perusahaan Han Jungshin sang ayah tiri, namun itu tidak berarti Seojun memiliki akses bebas ke uang orangtuanya, dia belum sepenuhnya bebas dari kendali ayahnya.
"Bisnis kita membutuhkan darah baru," Seokhwa memulai pidatonya lagi. Seojun mengikatkan tangan ke belakang punggung, mendengarkan dengan letih. Dia sudah mendengar ini lima kali. Idealnya, darah kaya dan berkuasa, dan pelayaran kapal berisi orang-orang super tajir ini adalah tempat terbaik untuk menemukannya. "Tugasmu...." Seokhwa menudingkan jari ke wajah putranya "...adalah mengenalkan pada kami gadis yang akan kau nikahi."
"Ya, Ayah." Seojun membeo. Dia tidak berani memprotes; karena terakhir kali dia mencoba membantah, sang ayah langsung memberinya tamparan yang cukup tajam untuk membuat matanya berair. Seojun tidak bisa memberi tahu Seokhwa alasan sebenarnya mengapa dia keberatan dengan ini semua, karena pengakuan hanya akan memperburuk keadaan. Seojun harap Jimin datang hari ini.
"Aku telah menautkan kartumu ke akunku, jadi kau bisa membelanjakan berapa pun uang yang kau perlukan untuk memenangkan hati gadis yang kau kejar," lanjut Seokhwa. Ini juga berarti pria itu bisa melacak kapan saja Seojun mengeluarkan uang. "Jika kau belum juga mengumumkan pertunangan sampai kita pulang ke Korea, akan ada konsekuensi."
Dada Seojun terasa sesak dipenuhi kecemasan, namun menjaga wajahnya tetap netral. "Aku mengerti, Ayah."
"Ayah sangat berharap kau tidak menyia-nyiakan kesempatanmu lagi," kata Seokhwa dengan nada peringatan yang jelas, kemudian dia berbalik pergi.
Ketika pintu tertutup, Seojun bersandar ke dinding, menghembuskan napas berat. Dia memejamkan mata dan fokus pada pernapasannya, sesak di dadanya belum mereda. Seojun berencana untuk segera membongkar barang-barang dari koper, tapi saat ini yang dia inginkan hanyalah udara segar dan ruang terbuka.
Dia kemudian berganti pakaian dengan celana panjang abu-abu, kemeja berkancing putih, dan rompi hijau zamrud, yang menimbulkan kesan hangat di udara dingin Seoul pada bulan Oktober. Setelah melirik dirinya di cermin, merapikan rambutnya seperlunya, Seojun meninggalkan kamarnya dan kembali ke atrium.
Lebih banyak tamu berdatangan ke kapal sekarang, kaum kelas atas yang mengenakan pakaian terbaik mereka. Ingin menghindari kerumunan, Seojun naik tangga satu tingkat di atas tempat semua orang masuk. Dia duduk di pagar untuk mengawasi ruangan. Atriumnya dirancang dengan indah, terbuka dari dek lima hingga dek delapan, dua elevator berlapis emas, tangga menukik di setiap sisi, dan langit-langit kubah kaca, dengan lounge dan fasilitas lain yang tersedia di setiap lantai.
Di belakang Seojun ada salah satu ruang tunggu, di sana dia melihat wanita muda dengan rambut hitam dalam sanggul ketat memainkan grand piano. Musik klasik yang terdengar menenangkan, membantu meredam hiruk pikuk suara-suara di bawah. Seojun menghabiskan satu menit memusatkan perhatian pada permainannya.
Seojun kembali memusatkan perhatiannya ke kerumunan tamu di bawah sana.
"Jimin," gumam Seojun, seringainya mengembang menemukan gadis itu betul-betul datang, menyandang tas ransel sambil menyeret satu koper putih.
Yang lebih tak disangka-sangka, Seojun melihat kehadiran Jungkook. Tinggi dan kekar di belakang Jimin, persis bodyguard.
Kecemburuan muncul di hatinya.
Dia berdiri lebih tinggi dari semua orang di sekitarnya dan dia tampak besar dalam segala hal: hidung, pundak, otot lengan...
Dari lantai atas, Seojun tidak bisa melihat terlalu jelas, tapi dia bisa melihat pria berambut hitam itu mengenakan jeans gelap agak ngepas kaki, kemeja berkancing warna abu-abu cerah yang terbuka di sekitar kerah, plus mantel hitam yang tebal, membuat pundaknya terlihat semakin besar.
Dalam sekejap Seojun merasakan percikan panas saat mengagumi pria yang menarik itu. Di detik berikutnya dia menegur dirinya sendiri. Jangan pernah memikirkannya! Tapi pikirannya malah bersemangat, perhatiannya tersangkut. Kemudian suara yang lebih tenang dan penuh harapan berbisik di kepalanya: Sekedar melihat tidak ada salahnya, jika tidak ada yang tahu.
Rencananya langsung menjadi bumerang ketika pria itu menyibakkan beberapa helai rambut dari wajahnya dan mengalihkan pandangannya dari petugas yang menyambutnya ke atrium, Jungkook mendongak, mata mereka terkunci. Seojun membeku, tangannya tiba-tiba mencengkeram pagar teralis begitu kuat. Terlepas dari jarak di antara mereka, Seojun menyaksikan jelas tatapan tajam pria itu.
Jantung berdegup kencang, Seojun mengatupkan rahangnya dan memaksa dirinya untuk membuang muka, dengan harapan kali ini dia berhasil berpura-pura menunjukkan ekspresi bosan.
Gagal mengumumkan pertunangan ahli waris adalah satu hal, tetapi ketahuan suka dengan seorang pria--betapapun menariknya--sama saja dengan bunuh diri.
.
.
.
.
-tbc-
Aku harap kalian makin antusias, jangan timpuk saya karena bikin Jimin dalam posisi terjebak begitu. Ini sekalian pengen lihat Jungkook bakal ngelakuin apa buat asistennya dan juga buat perusahaan Han Jungshin.