Goreng Pisang Cinta, persis seperti yang ia terima setiap sore tiga hari terakhir ini dan yang pagi ini luar biasa, disertai Mawar Merah Mekar!
Pertama sekali Dira menerima kiriman goreng pisang itu, perasaan Dira sangat senang. Pastilah. Itu salah satu jajanan makanan kesukaan Dira. Apalagi tingkat kematangan buahnya pas, rasa tepung adonan juga pas, digoreng dengan garing tapi tidak gosong, warna keemasan yang cantik dengan toping yang semakin menambah selera untuk memakannya.
Hari kedua perasaan Dira masih biasa, senang, walaupun agak sedikit heran. Mengapa tamu villa itu mengirim makanan yang sama sampai dua kali berturut-turut. Biasanya kalau seseorang memberi sesuatu pasti berbeda di hari yang berbeda. Kemarin pisang goreng, hari ini singkong rebus, besok talas kukus. Begitu.
Ya sudahlah, Dira bersyukur saja ada yang memberi makanan. Dira senang karena tak perlu membeli camilan kesukaannya. Dan lebih senang lagi karena seluruh Santri dan Pengurus Pesantren juga dapat mencicipi goreng pisang yang sama. Tamu itu mengirim banyak sekali.
Pada hari ketiga tetap senang tapi mulai risau. Karena ada kiriman juga sekuntum Mawar yang masih kuncup.
Tamu yang aneh. Apa tamu villa itu tahunya ya cuma pisang goreng? Oh tidak, ternyata tamu villa itu juga mengirimkan kolak pisang satu panci besar. Tentu saja panci yang ada di Paviliun digunakan untuk membawa kolak itu ke Pesantren.
Cerita Mang Suradi tamu villa itu ikut mengantarkan ke Pesantren. Kenapa dia tidak mau berkenalan langsung dengan Ibu Sepuh?
Kata Mang Suradi, tamu itu menunggu di parkiran dekat Toko Souvenir. Padahal Ibu Sepuh sempat ke parkiran ketika mengantar Aki Banu pulang. Bahkan sempat juga duduk di bangku panjang Mang Damar penjual jagung bakar menunggu pesanan.
Kata Mang Suradi juga tamunya itu duduk di bangku panjang. Jangan-jangan tamu villa itu adalah orang bertopi yang duduk di ujung bangku memandang ke jalan raya memunggungi Ibu Sepuh.
Ah, sudahlah Ibu Sepuh baru ingat kalau ia sama sekali belum pernah melihat wajah tamu itu meski cuma fotonya.
Dan pagi ini di hari keempat setelah menerima kiriman dari tamu villa, sepucuk surat dan Bunga Mawar merah yang sedang mekar, perasaan Dira menjadi bertambah gelisah. Pikiran Dira mempertimbangkan untuk segera mengambil sikap.
Rasanya tidak mungkin mendadak kata-kata itu muncul lagi setelah sekian puluh tahun kalau itu bukan dari Sam. Pasti Sam. Tapi apa yang akan diperbuat Sam? Sam punya rencana apa mengirimi Dira sampai empat hari berturut-turut dan diakhiri dengan sekuntum Mawar merah yang sedang mekar? Hati Dira teraduk-aduk.
Berkali-kali Dira terhanyut dengan perasaannya terhadap Sam. Jujur Dira mencintai dan menyayangi Sam layaknya seorang wanita kepada seorang pria. Namun berkali-kali juga Dira mencoba menepis perasaan itu dan menghindar dari Sam karena Dira sadar adalah sebuah kesalahan besar jika Dira mengembangkan perasaannya itu menjadi sebuah keinginan untuk memiliki Sam. Banyak perbedaan yang tidak bisa dijembatani.
Setelah bertahun yang lalu, tidak mungkinlah "bocah" itu datang lagi. Mana berani? Dira pernah "mengusir"nya dulu. Atau, dia akan nekat? Dira tahu Sam adalah seorang yang pantang menyerah.
Dira teringat ucapan-ucapan Sam ketika di Rumah Jogjogan dulu lama sekali. Dira sangat mengkhawatirkan ini. Pikiran-pikiran Dira berkecamuk tiada henti.
Peristiwa "pengusiran" Sam di Rumah Jogjogan menjadi titik tolak Ibu Sepuh untuk meninggalkan urusan duniawinya untuk lebih memantapkan urusan akhiratnya.
Kenapa juga harus villa ini yang Sam sewa? Kebetulan sajakah Villa Pelangi ini yang paling cocok untuk ditempati selama Sam melakukan pekerjaannya atau ia mendapat rekomendasi dari tamu villa lainnya?
Apa yang akan dikerjakan sampai ia sewa villa sebulan? Mungkin ada pembangunan besar di sekitar sini? Bukankah ia bergerak di bidang pertambangan? Atau ia punya usaha lain lagi seperti pembangunan perumahan dan villa-villa yang menjamur di kawasan Puncak?
Memasuki usia yang semakin senja dan banyaknya peristiwa yang dihadapi, membuat Ibu Sepuh mesti menata kembali kehidupannya, bukan persoalan mudah untuk dijalani sendirian.
Pikiran Dira masih berlari kesana kemari. Liar. Masa lalu yang disesali, masa sekarang yang penuh liku, dan masa yang akan datang yang harus Dira jaga, semua berlomba saling berbenturan di kepala Dira. Pening. Dira harus segera membuat keputusan.
Kalau itu benar Samuel Kevin, apakah aku harus bertemu dengannya lagi? Aku tidak ada kepentingan apa-apa dan sudah tidak mau bertemu lagi. Sudahlah, biar Mang Suradi dan Bi Ici saja yang mengurus semuanya, mereka sudah biasa. Aku tidak akan bertemu dengannya," pikir Ibu Sepuh memutuskan.
- --- ----
Tunggu sebentar, Ibu Sepuh menelpon Mang Suradi.
"Mang Suradi, Assalamu'alaikum, Mang"
"Wa'alaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh, Ibu. Ada apa, Ibu? 'Kan barusan Mamang dari Pesantren antar kiriman dari Pak Sam. Ada apa, ya, Bu?"" kata Mang Suradi heran.
Dari tadi pagi di Pesantren Mang Suradi tuh sebenarnya sudah bingung melihat sikap Ibu Sepuh seperti panik begitu. Mendadak pucat setelah baca surat. Lalu baru saja Mamang sampai di villa, belum juga duduk, Ibu Sepuh sudah telpon.
"Mang, pagi ini Ibu mau ke villa. Tidak usah dijemput. Nanti malam Ibu menginap di paviliun. Tolong sampaikan Neng Ici ya, kamar Ibu tolong dibersihkan. "
Cuma untuk mengatakan itu saja.
- - - - - -
Jarak Pesantren ke villa sangat dekat. Berjalan kaki santai paling hanya memakan waktu tiga puluh menit paling lama. Memang berliku naik dan turun. Dira sudah biasa.
Jalan kaki sambil melihat panorama pegunungan dan bukit-bukit hijau menyehatkan mata, menghirup udara yang super bersih gratis dan merasakan hangatnya sinar matahari lebih hangat dari alat terapi juga gratis. Inilah syurga dunia sebenarnya.
Dira sering mondar-mandir Pesantren – Villa berjalan kaki. Olahraga sambil sesekali menyapa tetangga dan warga Jogjogan beramah tamah dengan mereka sungguh sangat menyehatkan batin.
Setelah Dira mendapat informasi dari Mang Suradi bahwa Sam akan pergi selama seminggu maka Dira memutuskan untuk meninggalkan villa entah sampai berapa lama dan kemana sebelum Sam tiba kembali ke villa. Setiba di paviliun diam-diam Dira langsung merapikan kopornya di kamar.
Rencana ini tidak akan Dira sampaikan ke siapa-siapa termasuk Mang Suradi dan Bi Ici juga tidak perlu tahu.
Dira akan pergi dari paviliun ini selama Sam masih menyewa villa. Dira berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan menemui Sam, ditemui Sam, dan berharap tidak akan pernah bertemu lagi. Lebih baik begitu.
Sore selesai merapikan kopornya, Dira memanggil Mang Suradi dan Bi Ici di teras belakang.
"Mamang dan Bibi, masih ingat Rumah Jogjogan Ibu?"
"Masih, Bu," jawab Bi Ici.
"Nah, rumah itu 'kan sudah lama kosong, ya. Ibu minta tolong besok pagi-pagi Mamang dan Bibi ke rumah itu tolong dibersihkan ya karena ada yang mau pakai,"
"Baik, Bu. Mamang rapi-rapi villa dulu, selesai itu Mamang sama Neng Ici Bidadari Akang berangkat ke rumah Jogjogan. Mungkin Mamang sama Neng Ici Bidadari Akang seharian di sana pulang sore, nggak pa-pa, Ibu sendiri ditinggal?"
"Iya, tidak apa-apa, Mang. Tapi sebelum magrib Mamang dan Bibi usahakan sudah sampai sini lagi, ya. Kalau sehari besok tidak selesai boleh dilanjut lusa lagi. Usahakan paling lama dua hari selesai, ya Mang,"
- --- ----
Esok harinya, Mang Suradi dan Bi Ici pergi pagi-pagi sekali supaya tugasnya membersihkan dan merapikan Rumah Jogjogan cepat selesai.
Setelah Mang Suradi dan Bi Ici berangkat, Dira mengerjakan sulamannya. Di teras belakang paviliun menghadap kebun kecilnya Dira duduk di kursi panjang sambil menyelonjorkan kaki. Angin pagi yang hangat lama-lama membuat mata Dira mengantuk. Dira tertidur dengan kain sulaman di pangkuannya.
Entah berapa lama Dira tertidur, ia terbangun, dan benar-benar hampir melompat bangun dari duduknya, sangat terkejut, ketika Dira mendapati seseorang bersandar di tiang penyangga atap teras sedang memandangnya. Kedua lengannya terlipat di depan dada, tersenyum menatap Dira. Sam!
"Astaghfirullah!" nafas Dira tersengal-sengal karena kagetnya. Tangan Dira memegang dadanya sendiri.
"Maaf, aku mengejutkanmu, Nadira Sam," kata Sam lembut.
Antara malu, terkejut, dan marah karena kedatangan Sam yang tiba-tiba dan tidak terduga sama sekali. Ini membuat Dira sangat gugup. Mang Suradi berbohong. Katanya Sam akan pergi seminggu.
"Maaf, sudah lama, Sam?" tanya Dira gugup memperbaiki duduknya dan merapikan pakaiannya. Bersyukur pakaiannya tidak tersingkap tadi.
"Tidak. Saya baru saja datang. Tidurmu nyenyak sekali,"
Sam langsung saja duduk di kursi di seberang meja kecil yang ada di samping Nadira.
"Assalamu'alaikum, Nadira Sam," sapa Sam.
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh," dengan santun Nadira menjawab. Menjawab salam adalah wajib dilakukan dan harus santun. Agamanya mengajarkan seperti itu.
Dira berusaha keras menjaga suara dan emosinya agar tak terdengar keluar detak jantungnya yang tak beraturan. Debarnya seakan membentur-bentur dinding dadanya sampai nyaris jebol.
Dira masih malu, pasti Sam dari tadi melihat Dira tertidur. Mudah-mudahan mulutnya tertutup.
"Tadi saya sudah memberi salam, tetapi tidak ada jawaban. Jadi saya langsung saja jalan ke teras belakang. Ketika akan memberi salam lagi, saya lihat kamu tidur. Ya sudah saya tidak ingin membangunkanmu. Saya tunggu saja sampai kamu terbangun sendiri" Sam menahan diri untuk tidak menggoda Dira. Wajah Dira memerah. Malu.
Dira memasukkan pekerjaannya ke dalam keranjang jahitnya lalu duduk menghadap Sam. Bagaimana pun Sam adalah tamu vila yang harus Dira hormati.
"Jika saya bilang kalau saya pergi hanya satu hari, maka saya yakin kamu tidak akan pernah datang ke villa ini, maka saya bilang ke Mang Suradi beberapa hari saya akan pergi mungkin satu minggu mungkin lebih,"
"Oh, Mang Suradi tidak berbohong. Tapi Sam yang sengaja bersiasat. Licik!" batin Dira. Kesal.
"Kemarin saya memang ke Jakarta. Tadi pagi saya sudah tiba disini. Mobil saya titip di bengkel dan saya sewa ojek mandiri kemari. Rencananya saya akan menemui Mang Suradi tapi Alhamdulillah memang rezeki saya, yang saya temukan malah orang yang selama ini selalu saya cari dan rindukan, maaf... Nadira Sam. Dan saya bersyukur sekali pagi ini kamu sendirian saja di rumah. Kita bisa mengobrol banyak tanpa takut didengar orang lain" lanjut Sam tersenyum. Teduh.
Dira merasakan ada yang beda dengan Sam.