NEPENTHE [✓] - REVISI

By SerenadeDawn

19.8K 2.3K 684

Kebahagiaan dan kesedihan datang di saat yang tepat. Mereka bertemu untuk mengurai emosi yang melekat. Hingga... More

At That Day
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
X
XI
XII
XIII
XIV
XV
XVI
XVII
XVIII
XIX
XX
XXI
XXII
XXIII
XXIV
XXV
XXVI
XXVII
XXVIII
XXIX
XXX
XXXI.i
XXXI.ii
XXXII
XXXIII
XXXIV
XXXVI
XXXVII
XXXVIII
XXXIX
XL
XLI.i
XLI.ii
XLII.i
XLII.ii
XLIII
XLIV
XLV
XLVI
XLVII
XLVIII
XLIX
L
At This Day
Crazy-Perfect-Dream Wedding
The Best Date in Forever
The Place When I'm in Love
The Way You Thought
The Happy-Freaking Ending : Part 1
The Happy-Freaking Ending : Part 2
PENGUMUMAN

XXXV

223 32 5
By SerenadeDawn

Teringat terakhir kali ia merasakan sensasi relaks pijatan di kepalanya. Sewaktu itu, ia dan Sarah sengaja pergi ke salon untuk creambath di hari libur kerja mereka. Sudah cukup lama hingga rasanya sudah banyak stress dan rasa lelah menumpuk di kepala. Sensasi pijatan tangan menyentuh setiap inchi kulit kepala dengan wewangian harum menguar dari cream. Kepalanya ditangani oleh sang ahli, begitu nyaman hingga rasanya ia ingin tertidur. Tapi, suara rusuh dari samping itu tak membiarkannya jatuh tertidur menikmati pijatan demi pijatan ini.

Laura hanya mendesah saja. Memejamkan matanya sambil mengunyah permen asam yang sedari tadi tidak bisa ia hentikan. Mulutnya asam namun semakin membuatnya ketagihan. Sesekali memercingkan matanya karna sensasi lidahnya tersengat permen. Begitu kontras dengan wangi di kepala yang terkesan floral dan manis. Campur aduk, carut marut. Ah, ia juga teringat sebelum mendadak berbelok masuk ke dalam salon ini, ia menghabiskan segelas kopi, chocolate tarte, dan garlic bread ditambah tomato soup. Asam, manis, pahit, dan asin. Inderanya terasa terbuka. Ini semua karna Hanung.

"Mbak, tarte gummy bear ada nggak ya?" tanyanya dari samping, ia mengulum permen chupa chups ke empatnya. Laura bisa mendengar dengan jelas, Hanung lebih tepatnya menggerus permen itu ketimbang lamat-lamat mengulumnya lebih lama, membiarkan permen makin lama mengecil dan melebur karna indera pengecapnya.

"Nggak usah mikir aneh-aneh!" sahut Laura melipat bungkus permen lalu meletakkannya di dalam tasnya. Ia melihat Hanung hanya menatap langit-langit sambil memegangi gagang permen itu. Netranya seperti sedang berpikir, mulutnya tak benar-benar diam karena ia mengoper ke kanan dan ke kiri permen yang ada di dalam. Rambutnya yang juga dibalut cream sambil dipijat, sama persis seperti Laura. Entahlah apa yang ada dipikiran Hanung akhir-akhir. Pagi tadi dia mengeluh sangat pusing dan pikirannya sangat keruh. Selama bekerja di kantor Laura, ia hampir belum rehat sama sekali. Semua tugas langsung terjun bebas ke tangan Hanung. Laura tahu itu. Merasa Hanung agak kekurangan energi karena tidak bisa sebebas biasanya. Padahal Laura selalu mengijinkan siapa saja untuk bekerja remote. Memang Hanung yang tidak mau. Banyak alasannya, pokok tidak mau absen datang. Hari ini random, siangnya mengajak pergi mencari manis-manis lalu belok mau creambath. "Beneran mikir?"

"Mau bikin nggak, mbak?"

"Ih, gimana?"

"Crustnya dibikin yang simple gitu. Sekarang lagi banyak cara bikin tarte no bake pakek biskuit tuh." Kepalanya mengangguk, "Nah, fillingnya pakai gummy bear yang dicairin terus dicampurin cream cheese abis itu toppingnya... um, ditaburin pakai popping candy." Ia mendesah ketika mengakhiri kalimatnya.

"Nung, kamu stress, ya?"

"IYAA!" pekiknya sambil memejamkan mata. "Mana deadline tiba-tiba dimajuin semua. Apa-apaan itu mas Tiar! Padahal ketemu klien masih selang sehari atau dua harinya. Saya mau ngebantah kalo nggak di depan langsung mana puas! Itu orang baliknya kapan, sih?!"

"Saya nggak pernah ngelarang kamu buat makan manis-manis, Nung. Kalo stress, kerja sambil makan permen aja." Laura tertawa geli melihat kelakuan Hanung, "Apa jangan-jangan Dewa absen ngasih kamu macaron akhir-akhir ini?" Hanung berdecak kesal mendengarnya.

"Bukan, saya cuma takut aja jadi nggak terkontrol pas lagi sugar rush." Sontak membuat Laura menoleh. Hanung dengan menggerakkan kaki kirinya yang bertumpu di dengkul kanan. Tangan yang menggeser gagang permen ke kanan kiri makin cepat, sesekali berdecak dan kalimatnya sedari tadi banyak menggerutu. Ah, lagi sugar rush, batin Laura.

"Kalo kamu kayak begini malah makin rusuh. Udah, besok saya stok permen di pantry dapur kantor, ya?" tawar Laura. "Awas kalo nggak kamu habisin!" yang diajak bicara malah memasang bibir melengkung kebawah dengan mata melas. "Jangan sampai stress, saya belum siap ditinggal pergi sama kamu."

Hanung terjingkat hingga terduduk, membuat kepalanya yang masih basah lepas dari tangan pegawai salon, panik seketika karena rambut gondrong Hanung yang basah itu membasahi baju bagian pundak dan air juga menetes ke bagian punggungnya. Laura yang ikutan kaget melihat reaksi Hanung sontak menepuk badan Hanung, menyuruhnya kembali ke posisi dan tidak lupa melempar permintaan maaf karena kelakuan Hanung yang membuat terkejut beberapa pegawai di sana. "Gimana, mbak?"

"Intinya saya masih butuh kamu, Nung. As a friend, as a worker, as ... "

Hanung menunggu.

"Ya itu lah pokoknya." Timpal Laura cepat. Hanung cemberut. Hanung cuma bisa membatin saja, andai saja waktu itu dia turun dari mobil dan melihat Laura di ambang pintu pagar kos Sarah. Andai saja jika saat liburan semester perkuliahan itu Laura tidak memilih berdiam diri di kamar kos Sarah. Mungkin hari itu, saat di Bali, itu bukan pertemuan pertama kalinya. Laura ikut geli ketika tahu anak SMA yang sering Pandu ceritakan adalah Hanung, sepupunya. Anak SMA yang dulu pernah Laura tolak mentah-mentah karena ia memilih menghabiskan waktu di kamar untuk menelepon Tiar. Kalo kejadiannya gitu, mungkin mas Dewa nggak akan pernah ada sekarang, iya nggak mbak?, batinnya sambil menoleh ke Laura yang asyik menghirup bau floral shamponya. "Oh iya, saya lupa mau cerita soal Dewa kemarin."

"Itu juga lagi nungguin sih, jadi gimana kemarin?" tanya Hanung penasaran, masih dengan dadanya yang tidak bisa berhenti merasa hangat ketika tahu fakta menggelikan semenjak ia kepergok menemui Laura malam itu oleh Sarah dan Pandu.

"He is too obvious!" kata-kata dari Laura membuat Hanung membungkam mulutnya. Bukan kaget, hanya pura-pura saja. Dia sudah tahu kalau Dewa tipikal cowok ngegas agresif. Tapi yang membuat Hanung geleng-geleng tidak habis pikir adalah daya tangkap Laura yang terlalu lambat.

"Nggak kaget banget, sih. Mas Dewa kelihatannya tipe ngegas ngeng." Hanung kemudian beranjak duduk dan membiarkan kepalanya dibungkus handuk. Bersiap untuk dikeringkan setelah selesai dibilas. Kalimatnya masih tertahan belum selesai, menunggu Laura datang menyusulnya saat ini. "Dia bilang apa akhir-akhir ini, mbak?" lanjut Hanung tepat ketika Laura hendak duduk.

"Terakhir ngobrol soal apa yang saya suka dan nggak suka. Terus kalo udah tau semua, mau apa?"

"Nembak lah!" sela Hanung.

"Saya udah peringatin waktu itu. Saya udah nggak mau main-main."

"Ya jangan dimainin juga si mas Dewanya."

"Mau mainin gimana, saya cuma kasih peringatan segera mundur kalo niatnya main-main."

"Ya tapi pikiran mbak Ra juga harus ke mas Dewa biar tau kalo dia serius. Bukan ke mas Tiar." Laura beradu tatap dengan Hanung melalui kaca. Wajahnya terlihat tenang dengan senyum kecil. "Terus sekarang, apa hal yang bisa mbak kasih ke mas Dewa kalo semisal dia beneran niat banget?"

"Rasa percaya aja." Timpalnya.

"Hah, ngaco! Yang bener aja, mbak?"

"Saya cuma rasa percaya aja sama dia. Rasa percaya juga bisa jadi beban untuk beberapa orang. Kalo dia orang baik, dia bakalan mikir keras untuk mundur, menyerah, atau berkhianat. Bisa dijadiin motivasi dan semangat buat dia. Tapi kalo emang orangnya nggak bener, ya pasti udah dilanggar sedari awal. I've nothing to lose, Nung. Dan saya belum sejatuh itu sama dia. Jadi, dengan ngasih rasa percaya itu saya bakalan tau Dewa itu siapa dan kayak apa orangnya."

"Ekspektasi gimana? Bukannya kalo udah ngasih rasa percaya malah banyak bikin kecewa soalnya ekspektasi juga pasti ngikut?" kerutan dahi Hanung makin dalam, tatapannya makin menyipit seiring dengan jawaban Laura.

"Saya ngasih rasa percaya buat nyari tau dia siapa, bukan maunya dia jadi bagaimana, Nung." Laura memegang dagunya, "Um, lebih tepatnya saya mempercayakan dia untuk berbuat apapun semau dia. Terserah dia, mau menarik perhatian dengan cara apa. Mempercayakan dia menjadi dirinya sendiri. Bukan menjadi orang lain yang saya harapkan. Lagian, kemarin yang soal QnA kesukaan saya itu juga bikin saya nggak nyaman. Saya takut, dia nggak bisa jadi dirinya sendiri hanya karna seonggok wanita seperti ini." Kata Laura menunjuk dirinya sendiri.

"Ini mah intinya mbak Ra mau mengenal mas Dewa dengan ngelihat ulah kesehariannya? Bukan lewat sesuatu kayak bentuk perhatian yang mbak Ra suka?"

"Iya, males ah kalo saya sukanya coklat terus tiap hari dikasih coklat. Ini kayak ngerayu anak-anak. Di awal-awal nyogok, nanti pas jadian dilepeh. Itu agak serem yah, saya nggak mau begitu." Laura terkekeh, "Lagian kemarin saya nggak nyebutin sukanya apa kok, mostly saya sebutin hal-hal yang nggak suka aja."

Hanung ikut tertawa, menggelikan. Mampus, mikir keras lo!, batin Hanung.

"Mbak, jadi mau nyari apartemen?" Hanung tiba-tiba teringat pembicaraannya tadi sewaktu menyantap makanan manis-manis.

"Iya, temenin yuk. Enaknya cari di daerah mana?"

"Deket rumah saya aja, mbak. Biar enak nanti berangkat ke kantor." Cengiran Hanung melebar.

Laura memutar matanya malas, "Deket rumah kamu artinya deket rumah Dewa juga. Nggak ah..." Laura memanyunkan bibirnya, "Apa ambil kontrakan deket rumah Sarah aja?" ia bermonolog.

"Ih jangan! Nanti saya dipalakin kaset game sama mas Pandu. Skip... skip!"

"Lah, kan yang tinggal disitu saya bukan kamu."

"Tetep aja. Lagian kalo masih sendirian mending apartemen, mbak. Kalo rumah malah kesepian gimana?" tanya Hanung.

"Ajakin Icha ngontrak bareng aja kali, yah? Kasian juga tuh anak kalo bolak-balik kantor sendirian."

Hanung diam saja, menimang. "Terserah sih, mbak. Kalo mbak Ra cocok sama Icha. Toh anaknya juga rame."

Laura mematut dirinya di kaca, "Rame dong, makanya saya suka banget sama dia. Ceriwis gemes. Kayak kamu." Katanya sambil menoleh Hanung dengan raut wajahnya agak masam. Disandingkan dengan Icha, Hanung tidak suka. Tidak suka.

"Mas, ini rambutnya nggak mau dipotong dikit?" kata pegawai salon yang menangani rambut Hanung. Hanung terpaku dibuatnya, berpikir.

"Mbak, pantesan rambut pendek apa panjang?"

Laura lagi-lagi menempatkan tangannya di dagu, seraya berpikir. Melihat ke seluruh wajah Hanung, menyentuh kontur wajahnya, lalu ke rambut Hanung. "Di rapiin dikit aja kali, ya? Dikiiiit aja. Biar nggak bercabang ujung-ujungnya." Katanya masih menyisir rambut Hanung dengan jarinya sambil menatap kaca. Menyisir ke sana sini. Membuat lelucon dengan mengedepankan poninya, menyampingkannya, membuat rambut belah tengah, kemudian menyisirnya ke belakang. Jujur, Hanung kalau lebih suka ketika rambutnya sering dipegang Laura. Mengingatkannya pada Hana. "Hmm, kepingin jambak!" katanya lalu menguncir rambut Hanung ke atas membuat kulit kepalanya tertarik.

"MBAK SAKIT!" pekiknya lalu mengusap-usap ubun-ubunnya. "Laporin mas Dewa nih."

"Nyenyenye ngaduuu." Godanya. "Potong kupingnya sekalian ya, mbak!" perintahnya pada pegawai salon. Hanung lantas melempari Laura dengan bungkus permen yang ada di tangannya sedari tadi. Gadis itu hanya terkekeh melenggang pergi untuk duduk di sofa tunggu.

Matanya masih mengawasi Hanung terlihat sedang beradu argumen. Sedikit cerewet dengan masalah rambutnya itu. Jiwanya yang memang suka mengatur, tidak membiarkan orang lain bisa merusak apapun yang sudah ia tata bahkan rencanakan. Sisi manja dan kekanakan Hanung itu hanya di depan Laura, dan ia tahu itu. Terlepas dari bagaimana Hanung bersikap di depannya, Hanung itu bisa sangat dewasa. Makanya, Laura merasa beruntung bertemu Hanung dan agak menyesal tidak bertemu dengannya lebih cepat. Laura merasa semua ini mungkin ada maksudnya. Pertemuan antara dirinya dengan Hanung dan Dewa adalah sebuah bayaran yang ia terima saat melepas Tiar. Dalam dia, masih berada di sofa itu, Laura tetap bersyukur atas kehadiran keduanya.

Teringat Dewa, laki-laki itu benar-benar menuruti apa kata Laura. Ketika Laura mengatakan soal kalau Laura tidak terlalu suka melakukan percakapan intense melalui pesan. Dan Dewa menurutinya. Laura sadar sewaktu itu Dewa memasang raut agak kecewa mendengar bagian ini. Karna sebelumnya, lelaki itu selalu rajin mengirimnya pesan untuk bertanya kabar, tapi tidak kali ini. Hampir seharian ini dan beberapa waktu yang lalu, tidak ada pesan apapun. Pesan terakhirnya itu semalam. Setelah mereka berbincang tidak jelas mengenai selera musik masing-masing. Laura lebih suka pembicaraan bertopik seperti itu daripada pembicaraan yang seolah dibuat-buat. Seolah mencari-cari topik. Laura merasa Dewa berubah, ketika ia bilang ingin mendekatinya. Padahal Laura lebih suka Dewa apa adanya, sama persis ketika pria itu di Bali beberapa waktu lalu. Tapi gimana bilangnya?, batin Laura. Ia hanya tidak ingin Dewa menjadi orang lain, itu saja. Perhatian lebih itu tidak mempan bagi Laura.

Handphone yang ada di tasnya sudah berpindah ke tangan. Tertera nomor Dewa di layar itu. Bimbang dan sesekali melihat ke arah Hanung yang masih saja agak cerewet dan berbincang dengan pegawai salon yang memangkas rambutnya. Nekad, ia menelepon Dewa, "Halo, Dewa."

"Iya, Ra? Kenapa?" selalu dilanjut dengan kenapa. Seolah Laura ini selalu kenapa-kenapa, "Tumben telepon duluan." Lanjutnya membuat Laura teringat kata-kata Hanung tadi soal pikirannya juga harus fokus ke Dewa.

"Ini, gue rencana mau nyari apartemen atau kontrakan sih. Keinget aja, beberapa hari lalu kan lo nawarin buat bantu cari." Jelasnya lalu bertemu pandang dengan Hanung di kaca. Lelaki itu bertanya 'siapa?' lalu Laura menjawab 'Dewa.' Hanung hanya membulatkan bibirnya setelah itu.

"Lo lagi dimana? Mau cari kapan?" Dewa banget, selalu siap siaga pokoknya.

"Lagi nemenin Hanung potong rambut, habis ini mau pulang mungkin. Udah malem juga." Jelasnya agak berhati-hati. "Lo kapan free?"

Laki-laki itu hanya berdehem sejenak, "Lusa?"

"Oke... lagi sibuk, ya?"

"Enggak terlalu sih, hari ini sama besok lagi buka stand di event salah satu kampus aja." Oh, pantes, batin Laura. "Tapi tadi Hanung ngabarin kok, kalo kalian berdua lagi hangout. Makanya, gue agak tenang."

"Kok nggak tanya gue langsung?"

"Hanung duluan yang ngechat, Ra. Itupun belum gue bales. Cuma kebaca aja." Jelasnya ditengah-tengah suara riuh.

"Dewa,..." panggil Laura.

"Iya...?"

"Mau ketemu."

"Sekarang?" Laura bisa mendengar pria itu sedikit bersemangat.

"Lusa! Katanya, lusa baru free!"

"Iya kan emang mau ketemu, Ra."

"Maksudnya, gue mau ngobrol. Berdua."

Hening... Laura bingung.

"Dewa, you there?" panggilnya pada Dewa.

"Iya... yaa... I'm here, Ra."

"Denger nggak gue ngomong apaan barusan?" Laura berharap cemas. Karna ia tak ingin mengulangi kata-kata itu lagi. Ia sudah cukup berani mengajak Dewa berbicara mengenai isi hati dan pikirannya. Segala opini tentang Dewa. Laura agak frustasi ketika kekhawatiran menyelimutinya. Kekhawatiran soal rasa kecewa Dewa nantinya.

"Iya, lusa kita ngobrol, berdua."

Kata-kata Dewa seperti harapan bagi Laura. Berharap Dewa bisa menjadi dirinya sendiri setelah keduanya berbicara. Bahkan dengan segala perasaan yang ia miliki, Laura tidak ingin melihat dengan hal-hal soal Dewa yang berusaha mencuri hati dan merayunya dengan hal yang ia sukai. Ia ingin mencoba untuk kembali dengan melihat sosok yang bisa nyaman menjadi dirinya sendiri. Hingga suatu hari nanti mereka bisa berbagi rasa nyaman.

🌴🌴🌴🌴

Continue Reading

You'll Also Like

525K 46.4K 39
Sejak mengenal dunia kedokteran, Sabina Ayudya menjalani hidupnya seperti rangkaian anamnesa dan pemeriksaan yang menghasilkan diagnosa yang tegak un...
864K 75.7K 24
Rumi seorang manajer di sebuah restoran Prancis bernama Prada, sama seperti nama pemiliknya. Gadis kaku dan tak peka yang menjunjung tinggi kerpofesi...
179K 19.7K 134
Spin off from #Defabian and Seducing Mr. Julien. Joanna Tan, seorang wanita pebisnis berusia 55 tahun yang tidak pernah memiliki keinginan untuk men...
991K 89.3K 51
Jika ada award kategori atasan paling menyebalkan di kantornya, maka Lala akan menulis nama atasannya itu besar-besar di dalam kolom pengisian. Bagai...