Impostor (COMPLETED)

By titikimaji

441K 56K 6K

Campus Series #1 Trigger warning : anxiety disorder, overthinking, toxic family, feeling useless. Penipu. Itu... More

PROLOG
1 - Dilema Nadia
2 - Beban Anak Pertama
3 - Beruntung Bersamamu
4 - Teman Baru
5 - Merasa Tak Pantas
6 - Mahasiswa Kupu-Kupu
7 - Drama Demonstrasi
8 - Perseteruan Hati
9 - Hasil dari Perjuangan
10 - Satu Nama
11 - Hilangnya Kepercayaan
12 - Mendadak Pulang
13 - Bandung Tempat Berpulang
14 - Bumi Pasundan
15 - Cara Memandang Dunia
16 - Hidup yang Dangkal
17 - Hal yang Baik
18 - Banyak Sedihnya
19 - Bertaut
20 - Teori Kesadaran Diri
21 - Komunikasi
22 - Malam yang Sesak
23 - Puncak Rasa Sakit ⚠️
24 - Keputusan yang Hebat
25 - Impostor Syndrome
26 - Respons Positif
27 - Kamu Berharga
29 - Menggantungkan Harapan
30 - Sebuah Sandaran
31 - Sebuah Akhir Penantian
32 - Tangan Terbuka
33 - Mencintai Diri Sendiri
EPILOG
SPIN-OFF//Meeting Point

28 - Runtuhnya Harapan

8.4K 1.2K 115
By titikimaji

Terkadang yang membuat tidak percaya diri bukan karena kalah rupawan. Namun, karena takut gagal memenuhi semua tuntutan tanggung jawab.

*****

Piranti kuliah dibereskan bersama dengan suara riuh lega yang terdengar dari kelas IKM 3A. Setelah instruksi dari Bu Mara yang selesai mengajar mata kuliah Manajemen Bencana, beberapa mahasiswa mulai berdesakan keluar pintu kelas.

Nadia baru saja hendak memanggul tas, ketika tiba-tiba sebuah suara mampu mengalihkan atensinya.

"Nadia, setelah ini ada kelas? Jika tidak ada, bisa temui saya di ruangan?" tanya Bu Mara yang dibalas oleh anggukan patuh dari Nadia.

"Baik, Bu."

Gadis itu bergeming sejenak, memikirkan segala kemungkinan bahasan yang akan ia dengar di ruangan dosennya itu. Mungkin, tidak akan jauh-jauh dari menanyakan keadaannya sekarang.

Nadia menoleh ke tempat Zahra sekaligus memberi isyarat untuk memintanya pulang terlebih dahulu. Setelahnya, ia segera beringsut meninggalkan kelas dan menuju gedung departemen Epidemiologi.

"Siang, Bu," ucap Nadia sopan setelah ia memasuki ruangan Bu Mara.

Bu Mara balas tersenyum. "Siang, silakan duduk," katanya sembari menunjuk kursi kosong di depannya.

Helaan napas berat kembali lolos dari mulutnya. Belum sempat Nadia merasa tenang, wanita berjilbab abu-abu di depannya itu mulai bertanya, "Jadi, bagaimana kabar kamu sekarang? Apakah sudah baik?"

Nadia terdiam ketika matanya mulai disapa oleh sorot mata lembut di depannya. "Sudah lebih baik daripada sebelumnya, Bu."

Bu Mara mengurai senyum. "Syukurlah. Saya senang mendengarnya." Wanita itu lantas mencari sesuatu di antara tumpukan kertasnya.

"Nadia, saya dengar saat SMA kamu aktif mengikuti lomba KIR, ya?"

Terlihat sorot mata terkejut dari Nadia, membuat wanita paruh baya itu kembali melanjutkan, "Saya tidak sengaja membaca CV kamu beberapa hari yang lalu."

Nadia manggut-manggut sambil terus memikirkan apa yang hendak dikatakan oleh dosen di depannya itu.

"Apa kamu tidak berminat membuat PKM? Tiga bulan yang akan datang, PIMNAS tahun ini akan dilaksanakan." Bu Mara menatap Nadia penuh harap sembari menyodorkan kertas yang berisi template PKM.

"Kamu tidak perlu mencari anggota kelompok, karena jika kamu bersedia, nanti akan Ibu gabungkan dengan kelompok kakak tingkat yang sudah ada." Melihat Nadia yang masing termangu di tempatnya, wanita itu kembali berkata, "Saya percaya kamu, karena saya melihat kamu punya potensi, Nadia."

Nadia meremas tangannya yang tak tampak di depan Bu Mara. Sejujurnya, gadis itu tidak tahu di tahap mana keadaannya sekarang. Terlalu fana untuk menyebutnya sudah sangat baik-baik saja dalam waktu yang sesingkat ini.

"Terima kasih, Bu, atas tawarannya." Ia menghela napas sejenak. "Namun, untuk saat ini saya belum bisa fokus terkait hal itu. Saya masih ingin berdamai dengan diri sendiri selama beberapa waktu."

Alih-alih melihat sorot mata kecewa dari wanita berkacamata di depannya, Nadia justru melihat seulas senyum hangat.

"Tidak apa-apa, Nadia. Saya paham tentang hal itu." Masih dengan senyum di wajahnya, wanita itu lanjut berkata, "Saya hanya ingin menawarkan kepada kamu, jikalau suatu hari nanti kamu berminat dan tidak keberatan membuat PKM."

Nadia tersenyum tipis. "Baik, Bu."

"Kamu boleh keluar. Template PKM sudah saya kirimkan ke e-mail kamu. Mungkin, suatu hari nanti kamu berminat, setidaknya kamu sudah ada bayangan terkait penyusunannya," jelas Bu Mara mengakhiri pertemuannya dengan Nadia kali ini.

"Terima kasih banyak, Bu. Saya permisi dulu."

Setelah Nadia keluar, ia memilih duduk di salah satu kursi panjang yang tidak jauh dari ruangan Bu Mara. Gadis itu menghela napas dan memejamkan mata selama beberapa saat.

Kemudian, ia beralih memeriksa e-mail masuk di ponselnya untuk pertama kali, setelah pengumuman beasiswa beberapa waktu lalu. Semenjak hari itu, ia tidak berani lagi memeriksa e-mail masuk.

Namun, saat ia membukanya, sebuah e-mail masuk yang ada di bawah Bu Mara mampu mengusik hatinya. Sebuah pesan dari seseorang yang cukup familier di hidup Nadia.

------------------------------------

From : ragadityas@gmail.com

Subject : A little remember for you.

Nad, Please don't be hard on yourself, you're a human and deserve a break. I am so proud of you and everything you have achieved, you are one of the strongest woman i know. You can do everything you want.
Thank you for existing and inspiring me❤

Raga Aditya S.
---------------------------------------

Mata cokelat gadis itu masih berpendar menatap layar ponselnya yang menyala. Sementara, bibirnya mulai terangkat dan mengulas senyum tipis.

Raga masih menyenangkan seperti dulu. Tidak ada yang berubah sedikit pun.

*****

Nadia tidak tahu sudah berapa kali ia melangsungkan pertemuan dengan Dokter Riana. Setiap Jumat sore seperti sekarang, ia selalu menghabiskan waktunya selama satu jam dengan duduk manis di depan wanita berjas putih tersebut.

"You did it very well," ucap Dokter Riana sembari menyerahkan kembali buku catatan bersampul kuning milik Nadia.

"Mulai dari tulisan kamu tentang melawan pikiran negatif dengan respons positif, gratitude list, hingga cerita monologmu yang tertulis di sana, semua kamu lakukan dengan sangat baik."

Nadia mengulas senyum singkat. "Saya sebenarnya sedikit ragu menulis segala keluhan saya di sana, Dok." Helaan napas kasar kembali lolos dari mulutnya. "Saya pikir, itu tidak sinkron dengan gratitude list yang saya tulis di lembar-lembar sebelumnya."

Wanita berparas anggun itu kembali berbicara. "Nadia, mari kita ibaratkan buku ini adalah hidup kamu."

Nadia mengangguk dan mulai menyimak.

"Kembali lagi seperti sebelumnya, yang berhak dengan hidup kita adalah diri kita sendiri. Ya karena, kita juga tidak bisa selalu bergantung dengan orang lain. Jadi, kita juga harus mampu menjadi leader untuk diri kita sendiri, terutama dalam hal mengambil keputusan."

Nadia terdiam, sementara Dokter Riana lanjut berbicara. "Begitu pula dengan buku ini. Kertas kosong ini layaknya kanvas putih yang menjadi tempat kamu untuk bebas berekspresi. Buku ini milik kamu dan kamu berhak atas semua yang ada di dalamnya."

Nadia mengangkat kedua sudut bibirnya ke atas. "Iya, Dokter benar." Ia terdiam sejenak, lalu mendongak. "Jadi, sekarang pikiran negatif saya kembali muncul, ya, Dok?"

Dokter Riana tersenyum. "Nggak apa-apa, Nadia. Itu termasuk proses. Kamu sudah berusaha berbuat sebaik mungkin. Terkadang, apa yang terjadi memang di luar kendali kita. Kalau hari ini pikiran negatif itu masih muncul, masih ada hari esok untuk mencobanya lagi, kan?"

Lagi-lagi, Nadia mengurai senyum. Ia tidak bisa memungkiri jika hatinya selalu tenang acap kali berbicara dengan wanita di depannya, seolah melupakan jika Dokter Riana memiliki hubungan keluarga dengan Raga.

Sesi terapi terus berlanjut hingga waktu telah usai. Nadia segera bangkit dari duduknya setelah ia mengucapkan salam yang terakhir.

Gadis itu mengayunkan langkah untuk keluar dari ruangan konseling. Sesaat setelah suhu luar ruangan mulai menyapa, mata Nadia jatuh pada sorot mata tenang di depannya.

"Kamu menghindar dari aku ya, Nad?" tanya Raga tatkala Nadia melewatinya begitu saja.

Nadia hanya diam sembari mengembuskan napas kasar. Beberapa hari ini, ia memang selalu mengabaikan pesan masuk dari Raga, karena isinya pasti tidak jauh berbeda dari e-mail yang dikirimkan laki-laki itu beberapa waktu lalu.

"Menghindar karena selama ini aku nggak pernah balas chat?" tanya Nadia sarkas yang disambut dengan anggukan kepala dari Raga.

"Emangnya chat kamu selama ini ada yang perlu balasan? Chat kamu aja nggak jauh-jauh dari a little to remember." Nadia menatap tajam lelaki di depannya. "Just reminder. Jadi apa yang perlu dibalas?"

Raga menggaruk tengkuknya selama beberapa saat, merasa setuju dengan ucapan Nadia. Pesan-pesannya selama ini hanya sebatas pengingat yang terkesan sangat diplomatis walaupun perasaan Raga sebenarnya juga tidak sebaik itu.

"Ya seenggaknya, kamu balas dengan keadaan kamu, Nad."

Nadia mengerutkan dahi dan mulai memicing ke arah Raga. "Katanya kamu sendiri yang bilang, kalau kamu nggak akan membebani aku sama hubungan. See? Sekarang kamu justru makin buat aku merasa terbebani. Udah, lah, Ga, kita jalani aja hidup masing-masing."

Raga terdiam. "Nad, ... oke aku salah soal tadi. Nggak apa-apa kamu abaikan aku gitu aja. Ya seenggaknya, bisa memastikan kamu baik-baik aja udah cukup, kok, buat aku."

Nadia mengangguk singkat. "Bagus, deh," ucapnya sambil berlalu pergi meninggalkan Raga yang masih di tempatnya.

Setelah menyadari sesuatu, Raga buru-buru menyusul Nadia. "Aku antar pulang?"

Nadia menggeleng dan menyempatkan untuk menoleh dengan wajah masam yang menahan kesal.

"Oke, oke. Kamu naik taksi, tapi aku ikutin dari belakang, ya?"

Nadia hanya diam, sehingga membuat Raga kembali melanjutkan, "Kamu diam aja berarti aku anggap jawabannya iya."

Nadia mendengkus kesal. "Ya udah, terserah."

Raga masih terdiam di tempatnya seraya menatap punggung gadis yang berjalan menjauh itu. Namun, baru beberapa langkah Nadia berjalan, gadis itu berhenti karena ponsel yang ada di dalam saku tasnya bergetar, menandakan ada telepon masuk.

"Halo?"

Raga masih terus mengamati gerakan Nadia dari belakang. Beberapa detik berlalu, hingga saat gadis itu melepaskan ponselnya begitu saja, Raga dengan sigap mulai melangkah mendekati Nadia.

Raga menelan ludah kasar tatkala melihat gadis itu yang mulai menunjukkan wajah pias, terbukti dengan sesuatu yang ingin memberontak keluar dari sudut matanya.

Raga lantas memegang lengan Nadia dengan lembut, seolah berusaha menguatkannya walaupun ia tidak tahu apa alasan yang membuat gadis itu menangis.

"Ga, Ayah ...," lirih Nadia dengan suara yang bergetar.

Bukannya mendengar kalimat lanjutan dari Nadia, di detik itu juga, Raga menarik tubuh Nadia mendekat dan memeluknya dengan erat.

Nadia tidak bisa lagi menjelaskan betapa sesaknya menahan air mata. Raga semakin mengeratkan pelukannya tatkala merasa dadanya telah basah. Ia yakin, gadis yang ada di dekapannya itu tengah menangis dengan penuh emosi.

"It's okay, Nad. Semua pasti baik-baik aja. Kita pulang ke Bandung, ya? Aku antar," kata Raga lembut sambil mengusap punggung Nadia yang bergetar.

*****

-TO BE CONTINUED-

Ayah Nadia kenapa? 😭

Ragaaa, bisa bisanya meluk anak orang di tempat umum:" gapapa ya soalnya darurat.

Update cepet karena ide lagi lancar hihi.

Jangan lupa vote dan komennya ya. Sampai jumpa!💛✨

Continue Reading

You'll Also Like

ALGRAFI By Liana

Teen Fiction

34.2M 2.7M 72
[SUDAH DI FILMKAN] Berawal dari keinginan bocah laki-laki berusia 7 tahun bernama Algrafi Zayyan Danadyaksa yang merasa harus melindungi sahabat keci...
ZiAron [END] By ✧

Teen Fiction

8.1M 742K 69
[FOLLOW SEBELUM MEMBACA, SEBAGIAN PART DI PRIVAT ACAK. TERIMAKASIH] _________________________________________________ (16+) Hanya kisah kedua pasang...
19.7M 2.7M 74
Judul awal : Pak Dosen Pak Suami 🚫𝐊𝐀𝐋𝐀𝐔 𝐌𝐀𝐔 𝐇𝐄𝐁𝐀𝐓, 𝐉𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍 𝐉𝐀𝐃𝐈 𝐏𝐋𝐀𝐆𝐈𝐀𝐓🚫 UNTUK 17 TAHUN KEATAS!! "Shella udah gedee Bu...