[TGJ #1] The Tale About Pink...

By Topicanon

9.8K 1.7K 109

[A Book About Journey] Reinkarnasi? Ah, aku sudah banyak membaca cerita tentang itu di kehidupan sebelumnya... More

• 1 : Mayo
• 2 : Jurnal
• 3 : Pesta Teh
• 4 : Tamu
• 5 : Penghasil
• 6 : Libur
• 7 : Chaiden
• 8 : Ulang Tahun
• 9 : Debut
• 10 : Perjalanan
• 11 : Kota Terakhir
• 12 : Sihir Hitam
• 13 : Desa Sanctus
• 14 : Hutan Sanctus
• 15 : Hutan Sanctus (2)
• 16 : Bangun
• 17 : Penduduk Desa
• 18 : Aku Hanyalah Figuran
• 19 : Rumah
• 20 : Musim Panas Berlalu
• 21 : Berangkat
• 22 : Penyihir Kerajaan
• 23 : Obrolan
• 24 : Verren
• 25 : Putri dan 'Tuan'
• 26 : Gunung
• 27 : Gunung (2)
• 28 : Ghoul
• 29 : Peran
• 30 : Kehancuran di Ibu Kota
• 31 : Kehancuran di Ibu Kota (2)
• 32 : Kehancuran di Ibu Kota (3)
• 33 : Mimpi
• 34 : Philip Yoenhart
• 35 : Ketenangan Sesaat
• 36 : Sebuah Kehangatan
• 37 : Informasi
• 38 : Pangeran Pertama
• 39 : Festival
• 40 : Pertanda
• 41 : Tokoh Utama dan Insiden
• 42 : Yohan!
• 43 : Sakit
• 44 : Pulang
• 46 : Menara Sihir
• 47 : Kebahagiaan Setelah Rasa Kesal
• 48 : Guru dan Ruang Bawah Tanah
• 49 : Pesta Ulang Tahun Kerajaan
• 50 : Surat dan Pesta Terakhir
• 51 : Peraturan Dalam Cerita
• 51.5 : Aresy
• 52 : Empat Anak Manis
• 53 : Tengah Malam
• 54 : Gail
• 55 : Empat ... Anak Manis?
• 56 : Sendirian
• 57 : Catatan Celestia
• 58 : Malam
• 59 : Temian
• 60 : Pemberontakan
• 61 : Melihatnya Membuat Rumah
• 62 : Mabuk
• 63 : Berbelanja
• 64 : Rumah Untuk Mereka
• 65 : Rumah Untuk Mereka (2)
• 66 : Kerajaan Etsaia
• 67 : Pengintaian
• 68 : Sarapan
• 69 : Pesta di Etsaia
• 70 : Ruang Bawah Tanah
• 71 : Uria dan Noir
• 72 : Ruang Penyiksaan
• 73 : Rumah Duke Tranos
• 74 : Seperti Bayangan
• 75 : Sang Antagonis
• 76 : Memberi Makanan
• 77 : Merah yang Merayap
• 78 : Sakit
• 79 : Tempatnya Tinggal
• 80 : The Last War!
• 81 : Illya
• 82 : Bekerja dan Makan
• 83 : Sesuatu yang Penting
• 84 : Biru dan Merah
• 85 : Kekacauan Kedua
• 86 : Kekacauan Kedua (2)
• 87 : Raja Iblis
• 88 : Raja Iblis (2)
• 89 : Penculikan
• 90 : Perjalanan Singkat
• 91 : Nyawa yang Akan Direnggut
• 92 : Harga Sebuah Kebahagiaan
• 93 : Pertarungan Terakhir yang Tidak Keren
• 94 : Salam Terakhir
• 94.5 : Satu Pohon yang Hampir Gugur
95: Mari Kita Tutup Kisah Panjang Ini
Thank You 💕
After Ending 1
After Ending 2
After Ending 3
After Ending 4
✨ Candies For You ✨
🌸 Pink Flower to the Cat 🐈‍⬛
Alpha :0.2: Omega

• 45 : Perlakuan dan Pilihan

68 15 0
By Topicanon

"Belakangan ini, Nona sering melamun."

Celutukan Aresy membuatku menoleh. Aku mengerjap-ngerjap saat melihat Aresy dan Temian yang duduk di depanku kini menatap dengan heran. "Ya?"

"Anda sedang memikirkan apa?" tanya Aresy memiringkan kepalanya.

"Tidak ada," jawabku. "Apa tadi kalian membicarakan sesuatu?"

"Tidak juga." Temian menatapku beberapa saat lalu tersenyum. "Sebaiknya kau tidur, Mayo."

"Eh? Kenapa?"

"Dengan begitu, saat kau bangun, kita sudah sampai di rumahmu," jawabnya. "Jadi, kau tak perlu memikirkan hal yang aneh-aneh."

Benar .... Tidur memang satu-satunya cara untuk berhenti berpikir. Dulu, aku juga menghabiskan waktu untuk tidur agar tidak memikirkan berbagai hal buruk. Tetapi, saat bangun malah mendapat amarah.

Memang menyebalkan. Padahal sudah bagus aku melampiaskan rasa sedihku dengan tidur.

Namun, sekarang ini aku sedang berada di dalam kereta. Aku tak yakin bisa tidur nyenyak, kecuali jika Tuan memberikan mantra tidurnya padaku.

"Aku baik-baik saja, kok," ujarku. "Daripada itu, kereta ini keren sekali, ya."

"Yap. Ini pertama kalinya aku melihat kereta kuda tanpa kusir," balas Temian melihat keluar jendela. "Kudengar, sihir yang paling susah adalah teleportasi, ingatan, sihir ruang, dan penciptaan makhluk hidup. Aku tak bisa membayangkan betapa kuatnya Tuan yang bisa menggunakan ketiga sihir di antaranya dengan baik."

"Kurasa Tuan juga bisa menggunakan sihir ruang," sahut Aresy. "Dia bahkan bisa menggunakan teleportasi. Sihir ruang dibawah itu, jadi seharusnya mudah saja."

Aku menopang dagu pada ambang jendela. "Yah .... Sihir hitam memang ditakdirkan jauh lebih kuat, kan? Antara Tuan dan Tuan Roulette, pasti lebih kuat Tuan."

Seharusnya begitu. Sayangnya, dunia ini berkata sebaliknya. Bagaimana pun, kebaikan akan menang pada akhirnya.

"Tapi, kenapa Tuan bisa memiliki sihir hitam, ya?"

Pertanyaan Aresy sukses membuatku terdiam.

Aku baru menyadarinya. Selama ini, aku tak pernah memikirkan tentang itu. Dipikir-pikir, ada banyak tentang Tuan yang masih belum kuketahui. Juga ada banyak hal yang harus kutanyakan dan belum bisa kuutarakan sampai sekarang.

~•~

Dalam beberapa hari, aku sudah sampai di rumah nenek. Perjalanan yang seharusnya lebih lama karena salju yang menumpuk, malah seperti perjalanan biasa. Dengan gaun hitam, aku turun dari kereta kuda, menemukan Mista mendekatiku. Tak ada senyum di wajahnya, sama sekali tidak ada ekspresi. Ia pun tak terlihat senang melihat kedatanganku.

Anak yang menjadi kakakku itu melirik Tuan sesaat, lalu kembali memandangku. "Ayo, masuk. Pemakamannya baru akan diadakan besok. Untung kau sudah datang."

"Ya ...."

Dia bahkan tak menanyakan tentang Yohan.

Ini membuatku muak.

Aku hanya tersenyum saat beberapa anggota keluarga lain menyapaku. Aku yang sudah tak peduli dengan keluarga, tak merasa sedih saat melihat peti Nenek yang mewah. Wanita tua itu terbaring dengan pakaian putih yang indah.

Hm .... Aku harus memasang wajah sedih.

"Mayo."

Baru saja akan bertingkah, suara Mama membuatku menoleh. "Ya, Mama?" tanyaku sambil mendekat ke sana.

Mama mengukir senyum tipis. "Apa kau sudah makan?"

"Belum," jawabku.

"Sebaiknya kau makan sekarang, Mayo. Ada Milly juga di ruang makan."

Ah. Mungkin aku hanya berpikir berlebihan, tapi perkataan itu memiliku arti berbeda di kepalaku.

Pergilah ke ruang makan. Temani Milly di sana.

Aku lapar, tentu saja. Namun, ada hal lain yang harus kulakukan.

"Mama," panggilku. "Ada yang mau kubicarakan."

"Apa?"

"Yohan .... Yohan menghilang." Aku mengepalkan tangan. "Sepertinya, Yohan sudah meninggal."

"Eh? Kenapa bisa?"

Aku sedikit lega melihat ekspresi Mama yang terkejut. "Aku juga tidak tahu. Saat aku sedang berada di Hutan Sanctus, sekelompok orang menculik Yohan. Dan Yo—"

"—Nyonya Griss."

Bibirku langsung kembali terkatup saat mendengar panggilan itu. Entah siapa wanita berpakaian mewah yang berdiri di pintu, wajahnya terlihat serius memandang lurus pada Mama. Sesaat ia tersenyum padaku, sebelum kembali melanjutkan ucapannya.

"Ada yang harus kita bicarakan, Nyonya."

"Oh, Nyonya West," ucap Mama. Ia melewatiku, berjalan begitu saja ke wanita yang dipanggil West itu.

Apa-apaan itu? Kenapa Mama bahkan tidak mendengarkan suaraku lebih dulu?

"Mama," panggilku lagi, memutar tubuhku ke belakang. "Yohan—"

"Nanti, ya, Mayo. Kita bicarakan nanti malam."

Saat itu, aku sudah tahu. Tak akan ada 'nanti malam'.

Aku merapatkan bibir, melihat Mama pergi dengan West, entah ke mana. Mereka bahkan tak menyucapkan selamat tinggal padaku.

... aku tahu aku terlalu berharap dan terkesan tidak ikhlas. Tapi kupikir, aku akan mendapatkan perlakuan berbeda, karena aku yang menumbuhkan daun suci. Aku telah mengorbankan energiku untuk menumbuhkan daun suci lagi.

Setidaknya, aku ingin didengarkan. Aku ingin mereka menghargai usahaku.

Yang kubutuhkan hanya sekadar ....

'Mayo, kau hebat.'

'Kau berhasil menolong banyak orang.'

Tapi, aku sama sekali tak mendapatkan itu. Senyuman yang mereka berikan tidak ikhlas. Mereka hanya ... hanya ... menganggapku sebagai alat.

Aku mengembuskan napas, berusaha menenangkan diri dan memutuskan untuk pergi ke ruang makan. Mengikuti insting, aku membiarkan kakiku berjalan sendiri, menuntunku untuk pergi ke ruangan tersebut.

Suara obrolan yang berada di sekelilingku seperti teredam. Aku sama sekali tak tahu apa yang mereka bicarakan. Tanpa alasan yang jelas, tanganku mulai gemetar.

"Nona, saya akan mengantar Anda ke ruang makan."

"Nona, Anda terlihat tidak sehat."

Langkahku terhenti mendengarnya. Kepalaku terangkat, menemukan Aresy dan Temian berdiri di depanku sambil tersenyum. Sementara agak jauh di belakangnya, Tuan berdiri di sana, bertingkah seperti pelayan.

Ah ... benar ....

Aku masih memiliki mereka.

SEMANGATLAH, MAYO! Ini bukan pertama kalinya kau ditinggalkan! Bertahanlah, aku!

Demi mereka! Berjuanglah, hiduplah demi anak-anak ini!

"Ya," kataku ikut mengukir senyum. "Sebaiknya kalian juga ikut makan bersamaku."

"Saya ... berterima kasih atas tawarannya," balas Aresy ragu. "Tapi, saya tak yakin bisa melakukan itu di sini, Nona."

Ah, iya. Ini bukan di rumahku—maksudku tempat tinggalku sementara—yang bebas.

"Baiklah, baiklah. Aku akan makan, lalu kalian juga makan," kataku. "Setelah itu, kalian kembali temui aku di ruang makan."

"Baik, Nona."

Aku terdiam sejenak, lalu berucap pada Aresy. "Tolong katakan pada Tu—Cian, nanti malam aku akan berbicara padanya," kataku lalu menoleh pada Temian. "Kau tak perlu bicara formal begitu. Santai saja."

Temian terlihat akan menyahut. Tetapi, pandangannya langsung mengedar, sebelum akhirnya memajukan kepala dan berbisik.

"Aku juga ingin begitu, tapi di sini mengerikan. Aku benci suasananya."

Aku tertawa geli. "Baiklah, baiklah. Aku mengerti."

~•~

Aku benci melihat Milly menangis. Sesungguhnya, aku tak mengerti dengan dunia ini. Kenapa orang yang cantik tetap terlihat menggemaskan saat menangis? Semua orang langsung berusaha menenangkan Milly. Tetapi, anak itu malah tak melepaskan pelukannya dariku.

Menangis seperti bayi.

Menyebalkan.

Aku sangat yakin, wajahku tak akan selucu itu jika menangis. Berpura-pura sedih pun sulit bagiku. Aku ini tipe orang yang mudah terharu, tapi tak bisa menunjukkannya jika di depan orang lain.

Di kehidupanku yang sebelumnya, aku pernah tak menangis selama bertahun-tahun. Kurasa sejak lulus SD hingga SMA, aku tak pernah menangis. Aku tak mengerti caranya, karena yang kutahu hanyalah tetap baik-baik saja. Seperti badut, meski ditertawakan pun, aku harus ikut tertawa.

Tetapi, di rumah sakit, seseorang berkata padaku, kalau menangis adalah hal yang penting.

Jadi ... aku memaksa diriku untuk menangis. Lalu, akhirnya aku terbiasa menangis sendirian, di saat tak ada yang melihat.

Dan sekarang, aku kembali tidak bisa menangis.

"Apa yang ingin kau bicarakan?"

Aku yang sedang menulis jurnal, menoleh ke belakang sesaat, menemukan Tuan berdiri di sudut kamar dengan ekspresi datar seperti biasa. "Tentang Yohan," jawabku.

"Apa ada yang ingin kau ketahui lagi?"

"Apa ada yang ingin kau sampaikan lagi, Tuan?" tanyaku. Aku membalik lembar buku jurnal, mencari-cari nama di sana. "Kau tahu ... Philip Yoenhart, kan?"

"Ya," jawab Tuan.

"Apa kau melihatnya ada di sana?"

"Entahlah. Aku tak melihat sejauh itu." Tuan terdiam sejenak. "Aku bisa pergi ke sana sekarang, jika kau ingin mengetahuinya."

Hmm .... Sekarang, ya. Kurasa itu bagus. Tetapi, sebaiknya aku ikut pergi ke sana juga.

Aku menggeleng. "Tidak. Setelah kita kembali, aku akan ikut denganmu menemui orang itu. Ada beberapa yang ingin kuketahui juga darinya."

"Baiklah."

"Lalu ... jika kau membunuh Philip sekarang, apa kerajaan akan gempar?"

Sebenarnya, aku sendiri tak tahu mengapa bertanya begitu. Aku tak berpikir apa-apa saat menanyakannya juga. Malahan, itu bukan hal yang sebenarnya ingin kutanyakan.

"Kau benar-benar yakin Philip yang melakukan itu semua?"

"Entahlah. Tak ada bukti yang pasti," jawabku. "Tapi, aku yakin dia yang melakukan ini."

"Jika memang tidak memiliki bukti, sebaiknya kau tidak membunuhnya begitu saja."

Aku memutar tubuhku ke belakang, menghadap Tuan. "Meski pengendali sihir hitam, Tuan benar-benar baik. Dunia ini tidak adil, menempatkan orang sebaik Tuan pada peran antagonis."

"Jika apa yang selama ini kau pikirkan benar, bahwa ini adalah dunia di dalam cerita, tak heran kita diberikan peran yang jahat," balas Tuan. "Sebuah cerita tak akan menarik tanpa peran antagonis, benar?"

Aku mengangguk sambil tersenyum lebar. "Benar sekali! Jika aku membuat cerita pun, aku jelas akan memberikan kehidupan yang sangat kejam pada tokoh utama. Menyiksa kehidupannya, memberikannya keputusasaan, dan mengakhiri hidupnya dengan mati dalam kebahagiaan."

Tuan tersenyum miring. "Itu kejam."

"Tapi, pada akhirnya, dia bisa bahagia, kan?"

Bagiku kebahagiaan adalah hal mewah. Hal itu didapat dengan membutuhkan pengorbanan. Karena orang sepertiku ini sulit mendapatkan kebahagiaan.

"... ya."

Aku bersandar pada kursi, lalu memiringkan kepala. "Tuan, bagaimana sihir hitam di dalam tubuhku? Apa semakin banyak?"

Mata hitam Tuan menatapku dalam, lalu ia mengangguk. "Sebanyak yang kau serap."

"Apa dengan sihir hitam ini, aku akan mati?" tanyaku lagi. "Sekarang, aku pikir akan bagus jika aku mati, Tuan. Dengan begitu, Aresy dan Temian tak akan menjadi sasaran selanjutnya. Yah, bagiku kematian bukan hal yang menakutkan, sih. Sudah lama juga aku ingin mati. Tetapi, aku tak ingin kematian yang menyakitkan."

"Kau ingin melindungi Aresy dan Temian?" tanya Tuan.

"Iya ...." Aku tertawa kecil. "Aku ingin melindungi mereka. Ada banyak yang kuinginkan di kehidupan yang baru ini, Tuan. Seperti ... aku ingin menjadi bahagia atau aku ingin menjadi tokoh utama. Tapi itu hal yang sulit." Aku mengulurkan tanganku ke depan. "Dan keinginanku yang paling besar adalah menyelamatkan seseorang, dengan tangan ini."

Bayangan kematian Carla kembali melintas di kepalaku. Suara televisi, komentar-komentar buruk, makian, dan amarah yang diberikan semua orang membuatku muak. Apa yang terjadi setelah aku mati? Apa mereka akhirnya sadar, bahwa bukan aku yang membunuh Carla?

Meski begitu, itu adalah salahku, karena tak bisa menyelamatkannya.

"Sayangnya, menyelamatkan seseorang juga adalah hal yang sulit," lanjutku kembali menurunkan tanganku. "Tetapi, sebelum mati, aku ingin menyelamatkan seseorang. Jadi, bagiku, tak masalah mengorbankan nyawa untuk menyelamatkan orang lain."

Tuan memandangku dalam diam. Tiba-tiba saja, sosok 'Cian' sudah menghilang, kembali berubah menjadi sosok 'Tuan'. Laki-laki pelayan itu berubah menjadi sosok berjubah hitam dengan tudung yang menutupi wajahnya. Tubuhnya lebih tinggi dibanding tubuh 'Cian'.

Dalam kamar gelap dengan meja belajar sebagai satu-satunya penerangan, aku bisa melihat rambut perak Tuan yang begitu berkilau. Terlihat sangat mencolok di tengah kegelapan ini.

"Jika kematianku bisa membuat Aresy dan Temian selamat, aku tak masalah."

"Kau mungkin benar," ujar Tuan. "Sayangnya, dunia ini tak akan mengijinkanmu untuk mati."

... ah, iya ....

"Karena aku belum menjalankan peranku ... ya?" tanyaku.

Tuan mengangguk. "Jika kau berubah menjadi antagonis sekarang, Aresy dan Temian akan dianggap sebagai komplotanmu. Lalu, mereka dihukum mati. Tetapi, jika kau masih tetap menjadi orang yang baik, dunia ini akan menghancurkan Aresy dan Temian."

Sungguh memuakkan.

"Kupikir, setelah mendapatkan hidup baru, aku bisa menjalani kehidupan yang menyenangkan." Aku mengembuskan napas. "Tapi, aku malah hidup seperti ini. Pada akhirnya, aku tak bisa menyelamatkan siapa pun."

Udara terasa semakin dingin hari ini. Padahal, api perapian masih menyala dengan baik. Hari ini salju juga tidak turun. Tetapi, rasa dinginnya sukses menusuk tubuhku dengan baik.

Apa ini karena kenyataan kalau aku hidup tanpa pilihan? Selain memandang semua kematian dan menghancurkan, lalu berakhir mati sebagai 'penjahat'.

"Tuan, menurutmu, apa yang harus kulakukan?"

"Kau ... harus bersiap dengan berbagai kematian. Dua nyawa atau puluhan nyawa, mana yang akan kau selamatkan?"

"Jika dua nyawa itu adalah orang yang berharga bagiku, tentu saja aku memilihnya."

"Tapi, pada akhirnya, dua nyawa itu akan berakhir juga."

Ya, ya, ya. Dunia itu memang begini, kan? Tempat adil bagi mereka yang mendapatkan peran baik. Tetapi, adalah neraka bagi mereka yang mendapatkan peran jahat.

Pasti ada kebahagiaan di akhir cerita?

Aku akan coba untuk mempercayai itu.

Aku berdiri, mengepalkan tanganku ke atas. "Baiklah!"

"Sudah memutuskannya?" tanya Tuan.

"Ya. Aku ... akan memilih Aresy dan Temian, untuk sekarang."







Saat itu, keputusan yang kubuat sudah bulat. Peran antagonis yang akan kumainkan, sampai saat terakhir.

Banyak yang kuhancurkan dan cukup banyak yang kuancam. Aku berdiri di depan para monster, memimpin perang melawan manusia. Dengan senyuman jahat, mengacaukan kerajaan yang lain. Aku berperang, melawan dua kerajaan sekaligus.

Namun, sedikit pun, Tuan tak meninggalkanku.

Dia masih berdiri di sampingku, meski tak setuju dengan tingkahku. Tuan menemaniku, meski pada akhirnya terpikat dengan sang tokoh utama.

Yah, dunia mencintai kebaikan. Peran yang kumainkan adalah antagonis, tentu saja tak akan ada yang menyukaiku, kan?

Dan ... aku mati dengan pilihanku sendiri.

×××

Continue Reading

You'll Also Like

806K 45.6K 60
A Wattpad Featured Story Highest ranking: #1 in Adventure The Number Series (A Dystopian Society) 4522. Both a name and a number that had labeled...
1.2M 45.5K 32
[Completed] Warning : The story is unedited. I apologize for the numerous grammatical errors within and messy storyline. *** Viola is the youngest ch...
50.4M 2M 38
Hadley Jamison doesn't know what to think when she hears that her classmate, Archer Morales, committed suicide. She didn't exactly know him, but that...
2.8M 139K 154
Lilith Esther Bailey. A woman who was shunned by most due to her arrogant and cold personality. Compared to her, most adored Evelina Skyler, her long...