PLAK!
Sebuah telapak tangan mendarat dengan telak di pipi sebelah kiri Soraya. Rasa panas seketika menjalar ke seluruh tubuh gadis yang baru tiba di kediaman majikannya itu. Tatapan nyalang penuh emosi juga dia rasakan dari seorang laki-laki muda yang tadi menamparnya.
"Kalau kamu gak becus kerja, ngapain ngelamar jadi perawat di sini?!" hardiknya.
Soraya menundukkan kepala dalam-dalam, mengunci mulutnya. Sekuat mungkin dia berusaha menahan butiran bening yang menggenang di pelupuk matanya.
"Asal kamu tahu, oma saya jatuh dari kursi roda. Seharusnya itu tidak terjadi karena ada perawat untuk oma saya. Tapi bagaimana dengan kamu? Di mana saat oma saya jatuh? Apa gunanya keluarga saya membayar jika kualitas kerjamu saja buruk?"
Soraya menahan napasnya. Kata demi kata yang terlontar itu sangat melukai dirinya, padahal Soraya masih belum memahami situasi yang terjadi. Saat tiba di rumah besar ini, tamparan keras dan makian lah yang langsung dia dapatkan.
Tiba-tiba lengan Soraya tercengkeram kuat oleh manusia di depannya itu. Ditariknya Soraya ke lantai dua dan masuk ke dalam kamar oma.
"Akibat keteledoranmu, kaki oma saya terkilir dan tidak bisa menggunakan kursi rodanya untuk sementara."
Soraya menatap iba Oma Dahayu yang terbaring lemah di ranjang kamarnya. Matanya sayu terpejam dengan kerutan-kerutan di pipi dan dahi yang semakin jelas. Soraya hendak mendekat, ingin melihat kaki oma yang tampak memar kemerahan, tetapi laki-laki di sampingnya kembali berkata.
"Kalau saja kejadian ini terulang lagi, tanpa penghormatan saya usir kamu dari rumah ini."
Soraya memutar tubuhnya untuk menghadap laki-laki di sampingnya itu. "Ma-maaf sebelumnya, sesuai kesepakatan hari ini bukan hari kerja saya. Saya bekerja selama empat hari dalam satu minggu. Jadi--"
"Jadi maksud kamu ini bukan salah kamu?" Terdengar geraman dari pertanyaan itu yang membuat Soraya kesusahan meneguk saliva.
"Bukan begitu maksud saya-"
"Saya tidak peduli kesepakatan apa pun itu. Yang saya inginkan adalah keselamatan oma saya. Dan kamu selaku perawatnya sudah gagal dalam bekerja. Paham?!" Untuk yang kedua kalinya, perkataan Soraya dipotong dan dilanjutkan dengan ucapan nada tinggi laki-laki itu.
Kemudian, derit yang berasal dari pintu terdengar. Di sana sudah berdiri wanita paruh baya yang masih tampak masih muda. Dia menatap galak anaknya sembari melipat tangannya di depan dada.
"Brama, ikut Mama!"
Laki-laki yang semula memandang tajam Soraya itu mengalihkan tatapannya. "Ada apa, Ma?"
"Ikut Mama. Nggak usah banyak tanya!"
Sosok lelaki yang namanya baru Soraya tahu itu mendengus keras. Melayangkan tatapan elang kepada Soraya sebelum akhirnya berbalik menghampiri Freda.
"Pergi ke ruangan Mama dulu."
Dari ekor mata Soraya, Brama tampak berjalan malas-malasan masih dengan tatapan Freda yang mengiringi kepergian anaknya. Wanita dengan wajah yang masih kencang itu memijit peningnya sejenak sebelum menatap Soraya.
"Raya kamu temani oma dulu, ya. Beritahu saya nanti kalau oma sudah bangun."
Soraya tersenyum, mengangguk. Freda balas melemparkan senyuman kecil sebelum berjalan mengikuti jejak langkah anaknya.
Dia harus menyidang putranya yang selalu membuat kepalanya pening. Kelakuan Brama yang sudah berumur dua puluh lima tahun tetap tidak terduga oleh otak sang mama. Seperti sekarang, tiba-tiba putranya itu pulang ke rumah dan memarahi Soraya.
"Masih ingat jalan ke rumah kamu?"
Freda tiba di ruang kerja pribadinya yang luas dengan desain bunga di mana-mana. Mulai dari cat dinding bergambar bunga, pot di setiap sudut ruangan, dan bermacam kembang bergelantungan di balkon luar. Siapa pun yang memasuki ruang kerja Freda pasti akan menyimpulkan bahwa ibu beranak satu itu penggemar bunga.
Seorang lelaki dewasa yang masih terlihat bagai anak kecil di mata Freda itu tertawa pelan. "Ya ingatlah, Ma. Masa sama rumah sendiri lupa."
"Kalau rumah sendiri kenapa nggak pernah pulang? Nggak sayang sama mamanya? Apartemen ditungguin terus, emang ada apa, sih, di sana? Jangan-jangan kamu nyimpen perempuan, ya."
Freda menyemburkan semua kekesalannya pada anak semata wayangnya itu. Dirinya sudah terlampau kesal karena Brama yang jarang pulang dan tidak pernah menemuinya.
"Mama tega nuduh anak sendiri. Bukan Brama nggak sayang sama Mama, tapi jarak apartemen lebih dekat ke kantor. Kadang lembur sampai tengah malem jauh kalau pulang ke sini. Untuk soal perempuan, Brama ini anak sholeh."
Freda merasakan pelukan hangat dari anaknya yang berdiri di belakang kursinya. Menggelantungkan kedua tangan pada leher ibunya. Freda sangat merindukan sikap manja Brama, sayangnya putranya itu lebih betah tinggal di apartemen daripada di rumah.
"Sholeh karena dasarnya kamu emang nggak suka sama perempuan."
Brama duduk di kursi tamu depan ibunya. "Semua perempuan sama saja, Ma. Brama sudah capek. Enakan sendiri, nggak ribet. Nggak mikir patah hati."
"Kamu mau sendiri sampai jadi bujangan tua?" Nada bicara Freda berubah menjadi tinggi.
"Apa, sih, Ma. Kenapa jadi bahas ini." Brama mendengus. Paling benci jika ditanya-tanya soal pasangan. Jaman sekarang, perempuan tidak ada yang benar-benar tulus. Semua wanita yang mendekatinya hanya suka pada uang dan tampang rupawannya.
Freda yang merasa Brama mulai tidak nyaman itu mengubah arah bicara. "Terus tadi kenapa kamu tiba-tiba pulang dan nggak ngabarin Mama?"
Raut wajah Brama menjadi serius. Giginya bergemeletuk seiring rahangnya mengeras. "Feeling Brama tiba-tiba nggak enak, Ma. Ternyata benar, pas Brama pulang, oma jatuh dari kursi roda di kamarnya dan nggak ada yang lihat."
Freda sedikit terkejut dengan apa yang didengar. Karena dirinya juga langsung pulang dari kantor setelah tahu Brama ke rumah.
"Pecat aja perawat oma itu, Ma. Nggak becus. Dia nggak ada pas oma jatuh. Brama telepon dia baru pulang."
"Soraya itu anak baik. Dia tadi kuliah, Brama. Bukan jadwal dia kerja." Freda membela Soraya, dia yakin gadis itu pasti bisa merawat ibunya dengan baik.
"Mending Mama nyari yang pasti-pasti aja. Yang fokus ngurus oma, nggak sambil kuliah. Jadi, oma selalu terjaga."
Freda tersenyum tipis. Dia mengerti jika anaknya itu sangat sayang dengan Dahayu. Namun, Freda tahu bahwa Soraya adalah perawat yang cocok untuk ibunya. Karena tidak semua orang bisa tahan dengan sikap Dahayu yang tidak mudah disentuh, dan Soraya sudah membuktikan itu selama satu minggu bekerja tanpa protes.
"Yang kerja satu minggu penuh juga belum tentu bisa jaga baik. Kamu ingat nggak perawat oma dulu ada yang mau nyelakain oma padahal baru kerja dua hari?"
Freda menarik sudut bibirnya ketika Brama menatapnya lekat-lekat. "Kenapa? Karena dia nggak tahan sama sikap galaknya oma. Kamu tau sendiri, kan, gimana sifat oma." Freda menjeda. "Dan perawat baru kita, Soraya, bisa sampai satu minggu tanpa mengeluh. Jadi, biarin dia kerja sambil kuliah, ya, Sayang. Dia anak baik."
Brama tampak menghembuskan napas kasar. Kemudian berdiri. "Ya sudah terserah Mama, tapi Brama belum percaya sama dia." Laki-laki itu terlihat menimang sesuatu. "Brama akan tinggal di rumah untuk mastiin oma baik-baik aja."
Mendengar itu Freda melebarkan mata, anaknya akan tinggal bersamanya itu merupakan sebuah kebahagiaan yang besar. Siapa sangka dia hanya mempertahankan Soraya justru membuat anaknya yang gila pekerjaan itu pulang.
***
Soraya mendudukkan diri di tepi ranjang tempat oma berbaring. Menyelami wajah tua keibuan itu yang sedang terlelap. Jika tidur seperti ini, Oma Dahayu tampak sangat tenang. Berbeda dengan saat sadar dan melihat dirinya.
Soraya tersenyum miris. Kapan dia bisa membuat oma menerimanya sebagai perawat? Tidak mungkin dia terus bekerja jika oma tertekan dengan kehadirannya.
Tangan Soraya bergerak ke arah kaki oma yang terkilir. Diusapnya pelan, kemudian dia pijit perlahan-lahan.
"Cepat sembuh, ya, Oma. Pasti oma sedih banget belum bisa naik kursi roda, ya."
Soraya bergumam sembari mengurut betis kaki oma. Dia teringat masa kecilnya pernah dipijit Fitri karena jatuh saat lari. Entah dengan apa setelahnya kaki Soraya langsung sembuh. Gadis itu pun kemudian mempelajari teknik mengurut yang dilakukan Fitri.
Saat pekerjaannya itu selesai, Soraya menarik selimut untuk menutupi tubuh oma. Kemudian dia hendak keluar untuk membersihkan diri dan bersiap membuat makan malam. Namun, suara rintihan dari oma terdengar membuat Soraya menghentikan langkahnya.
"Oma, ada yang sakit? Yang mana?"
Mata Dahayu terpaku pada sorot khawatir Soraya. Macam-macam pikiran buruk seketika memenuhi otaknya, takut jika perawat barunya itu berbuat jahat seperti perawat sebelumnya. Oma akhirnya hanya bisa menggerakkan tubuhnya, meminta supaya gadis itu menyingkir.
"Oma, oma, tenang dulu, ya. Raya cuma mau nemenin oma. Yang sakit bagian mana oma? Biar Soraya pijitin."
Mendengar itu, Dahayu semakin memberontak. Bisa saja perempuan itu akan menyelakainya dengan menekan kulitnya kuat saat memijit nanti. Namun, akibat gerakan tubuhnya itu, nyeri di lengan oma semakin menjadi. Membuatnya tidak tahan untuk menggerak-gerakkan pergelangan tangan kanannya.
"Ini, ya, yang sakit. Raya urut pelan-pelan dulu, Oma."
Pergelangan tangannya di bawa ke pangkuan Soraya. Oma Dahayu tidak cukup tenaga untuk menarik tangannya. Jadi, dia diam-diam merasakan sentuhan tangan Soraya.
Tangan gadis itu sangat halus saat menyentuhnya. Kemudian perlahan-lahan bergerak dari tangan atas hingga ujung jari. Dilakukan secara berulang-ulang hingga dapat dirasakan otot tangannya menjadi rileks.
"Bagaimana, Oma? Mendingan atau masih sakit? Kalau masih sakit, Raya urut lagi, ya. Ini memang nggak bisa langsung sembuh."
Dahayu tidak menjawab. Dia memandang Soraya yang tengah fokus mengurutnya dengan wajah tanpa ekspresi. Wanita berumur enam puluh lima tahun itu mencoba mencari kedustaan yang disembunyikan Soraya dari matanya. Namun, bahkan setelah gadis itu selesai mengurut, dia tidak menemukan tanda mencurigakan apa pun di wajah Soraya.
"Nanti malam, Raya urut lagi, ya, Oma. Sekarang Oma mau makan?"
Dengan perlahan, Dahayu menggeleng.
Soraya tersenyum tipis. "Mau minum, Oma?"
Dahayu mengangguk.
Soraya tampak melebarkan senyuman. "Ya sudah, Raya ambilin ke bawah dulu, ya, Oma. Sebentar aja."
Secepat kilat Soraya berjalan menuju dapur di lantai satu. Mengambil satu gelas kaca dan mengisinya dengan air mineral. Melihat oma mau menanggapi pertanyaannya saja, membuat hati Soraya bahagia bukan kepalang. Gadis itu akan merawat oma dengan sebaik mungkin, dia janji.
Saat hendak menaiki anak tangga, tatapan Soraya berhenti pada tatapan lain yang sedang memandangnya. Di sana, di depan pintu ruang kerja Freda, Brama berdiri tegap dengan mata elang mengarah tajam kepadanya.
Soraya berdeham kecil sembari menundukkan kepala, kemudian kembali menaiki anak tangga satu per satu.
Yang ada di pikiran Soraya saat ini adalah; Brama laki-laki menyeramkan.
***
Menurut kalian Brama bagaimana? Cocok nggak kalau sama Soraya? 😂
Terima kasih sudah membaca. Semoga suka, ya. ♡