Estefany Raviv baru menyadari ponselnya berdering saat ia keluar dari kamar mandi dan itu membuatnya segera menghampiri benda itu walau rambutnya masih basah. Fanny kemudian menyadari bahwa ibunya, Julia Raviv yang ternyata menelepon ponselnya, "Halo, Ma."
"Kenapa lama mengangkatnya, Fanny?" tanya Julia begitu ia mendengar suara putrinya. Ia menghubungi sebanyak dua kali dan tidak ada jawaban dari keduanya.
"Aku sedang mandi," jawab Fanny kepada ibunya.
"Mama ada di Mulia, bisa kamu kesini?" Julia yang sebenarnya didalam mobil dan sedang dalam perjalanan ke Hotel Mulia kemudian melanjutkan, "Mama baru ingat ada teman arisan desainer, mungkin kita bisa berbicara tentang gaun-gaun yang akan kamu pakai di pernikahan. Dua jam apa cukup kamu kesini, Fanny?"
"Pernikahan siapa, Ma?"
"Kamu dan Benedict, we've talked about this, haven't we?"
Fanny memijat pelipisnya. Ia masih ingat pembicaraan ini sudah berakhir dua minggu lalu ketika ia akhirnya berbicara kepada ayahnya untuk memahami prioritasnya saat ini, karir. "Benedict melamarku bukan berarti aku akan segera menikah dengannya, Ma. Papa menerima keputusanku dan menyerahkan semuanya kepada aku-"
Julia menegaskan sesuatu kepada putrinya, "Fanny, Mama tidak membesarkan kamu hanya untuk seperti ini. Look, when you have the opportunity you should take it for your better life. Kita tahu kalau Jemond Canale sedang di masa periode kedua jabatannya dan itu berarti kita juga harus mempercepat pernikahan kalian sebelum ia berhenti menjadi Presiden."
"Yang menikah aku, bisa Mama hargai keputusanku?"
Julia berusaha membuat putri kandungnya paham dengan yang ia maksud, tidak ada kesempatan lain yang lebih baik daripada menjadi bagian dari keluarga Presiden Indonesia. "Kamu tidak tahu apa yang akan terjadi kedepan kalau kamu menundanya, Fanny. Banyak keluarga yang ingin menjadi bagian dari Canale dan Mama kira kamu tidak ingin menjadi bagian dari mereka? Marrying him will make our family class higher, Fanny."
"Menurut Mama itu lebih penting?"
"Demi keluarga kita, demi kamu dan anak-anak kamu nantinya – ya. Mama sedang berpikir tentang kebaikan untuk kamu dan satu-satunya hal yang tidak Mama inginkan sekarang adalah kamu melawan Mama."
Melawan Mama? Ya Tuhan, kenapa ia harus dipaksa menikah saat ia masih ingin mengejar mimpinya sendiri? Fanny hari ini telah melewati hari yang cukup melelahkan karena hari ini merupakan hari terakhir ia mengambil kelas bela diri dan ia kira ketika ia datang ke apartmen Benedict daripada rumah orangtuanya akan membuatnya rileks untuk sementara waktu. "Kalau begitu maaf, Ma. Aku tidak bisa datang ke Mulia, Mama sedang bersama siapa? Pakai sopir atau taksi? Perlu aku minta yang lain menjemput Mama nanti?"
"Mama ingin kamu datang kesini," Julia menekan ucapannya.
"Mau berapa kali Mama memaksa – we can't do that, Ma. We won't get married if we're not ready."
"Kamu yang terlalu menuntut, Fanny. Mama paham dengan keinginan kamu untuk menjadi aktris, tapi kenapa kamu tidak berpikir untuk menjalaninya sekaligus dengan pernikahan? Empat tahun karir kamu hanya menjadi model – dulu Mama mengalah dan tidak memaksa kamu melanjutkan S2 keluar negeri tetapi kenapa sekarang kamu menuruti keinginan Mama juga? Apa kamu mengira akan ada kesempatan lainnya menjadi bagian dari Canale? All this time I have taught my children to take the best possible opportunity."
Fanny semakin pusing, "Ma, aku akan berangkat ke Portugal dua minggu lagi. That's a best reason, right?"
Julia Raviv menolaknya dengan tegas, "Tidak bisa."
"Tapi tidak ada yang bisa Mama lakukan kalau kami berdua sepakat untuk menjalaninya, Ma." Fanny merasa tubuhnya limbung jadi ia segera duduk di tepi ranjang. "Mama tidak mungkin memaksa Benedict seperti Mama memaksa aku-"
Fanny berhenti saat ia berpikir tentang Benedict mungkin bisa membujuk ibunya, "Apa Mama perlu bertemu dengan Benedict?"
"Untuk meyakinkan kalian berdua secepatnya menikah – Mama bersedia melakukannya."
Julia tidak ingin kalah. Laju mobil memelan dan ia baru menyadari supirnya sedang mencari parkir kosong. "Kamu bisa mengatur waktunya, Fanny – Mama akan meluangkan waktu kapanpun yang kamu inginkan dan kalau kamu ingin tetap menundanya, Mama menginginkan alasan yang lebih kuat daripada karir kamu – bukti tidak terbantah. Mama hanya ingin kamu bahagia nantinya, Fanny," kata Julia sebelum ia mengakhiri telepon mereka.
Dua jam kemudian Estefany Raviv melupakan sejenak tuntutan ibunya dan memilih untuk berbicara beberapa hal dengan stylist yang akan bersamanya di Portugal nanti. Ia tidak ingat berapa lama mereka sudah berdiskusi tetapi ia mengakhiri pembicaraan mereka saat mendengar pintu apartmen dibuka. Ia sudah sampai di apartmen pacarnya sejak sore tadi setelah menyelesaikan pemotretan salah satu produk yang menjadi sponsor dan pemotretan majalah untuk edisi dua bulan kedepan. Fanny yang malam ini sudah mengganti gaunnya dengan baju rumahan yang ada di apartmen Benedict kemudian meletakkan ponselnya diatas meja dan menunggu pria itu segera masuk ke dalam karena tentu ia tahu siapa yang membukanya –hanya ia dan pemilik apartmen ini yang tahu sandinya.
Benedict tersenyum tipis mencium bau khas dari Fanny dan ia memeluk pacarnya yang masih duduk disofa, "Aku lapar."
"Aku juga – pizza?"
Benedict semakin mengalungkan tangannya, "Okey, so today is your cheating day. You want pizza?"
"Aku pesan sementara kamu mandi, Ben. Kamu bau."
"Aku tadi survey lokasi di PIK setelah meeting dengan Raya," kata Ben sambil melepas jam tangannya. Ia memiliki studio foto yang sekaligus menjadi 'rumah' bagi komunitas baik photographer professional atau photographer pemula. Tiga tahun yang lalu ia diberi tanggung jawab untuk menghidupkan kembali komunitas fotografi yang cukup memiliki nama saat tetapi selama sepuluh tahun terakhir mati karena berbagai masalah internal – yang sayangnya terjadi saat Indonesia mengalami tahun emas di bidang fotografi karena rutin mendapatkan penghargaan Internasional. "She wanted to mess up with me, so I took care of her."
Fanny menepuk paha Benedict dengan refleks, "Tidak sopan."
Benedict tertawa, "Babe, I'm not kidding. Hanya Raya the only one Raya yang selalu membuat timku stress. We talked for quite a while about boxes or pentagons for photoshoot props."
Fanny tertawa kecil mendengar bagaimana Benedict berusaha melucu tentang Diandraya Sjahran. Wanita itu merupakan pemimpin redaksi Indonesia Tatler yang perfeksionis – dan menyebalkan, bagi Benedict – tetapi ia tahu Diandraya selalu berusaha menampilkan hasil terbaik dari yang terbaik.
Fanny teringat dengan sesuatu, "Mandi, Ben. Kamu bau."
"Sebentar, sebentar-"
"Tidak ada kata sebentar," Fanny membiarkan Benedict mengecup bibirnya sekilas. "Sekarang ya sekarang."
Benedict yang sudah mengosongkan semua jadwalnya malam ini hingga besok karena ia akan menghabiskan waktu dengan Fanny mengangguk dengan cepat hingga membuat pacarnya tertawa. Ia berdiri untuk mengambil air putih saat Fanny mulai mengetikkan sesuatu di ponselnya, "Hmm, kapan kamu ada waktu luang?"
"Ada apa?"
Fanny menimbang-nimbang pizza yang akan ia pilih saat ia merasa aroma Benedict berada di sampingnya, "Mamaku ingin bertemu kamu dan kita bisa meyakinkannya, she wants me to get married now and looks like she will do whatever she can to make it happen."
"Jum'at bagaimana?"
"Aku tidak ada jadwal hari Jum'at – kamu mau ... bertemu dengan Mama?" tanya Fanny sambil menggigit bibir bawahnya sendiri.
"Kenapa tidak?" Benedict berkata kepada Fanny, "Kita akan meyakinkannya, bukan?"
"Lalu apa yang akan kamu lakukan, Ben?"
"Kamu bisa melanjutkan apa yang ingin kamu mau, Fanny. Do what you want and I'll support you just as you supported me."
Tiba-tiba Fanny merasa hatinya gelisah. Ia takut. Julia Raviv adalah ibunya yang ambisius untuk masuk kedalam strata sosial kelas atas – bahkan ia tidak memahami ibunya sendiri. "Dan kamu? Aku tidak ingin kehilangan kamu."
"Kenapa kamu harus kehilangan aku? Well, our families definitely have to accept the decisions we make, Fan. Ayahku mungkin menganggap pernikahan kita adalah hubungan yang bagus bagi keluarga kita tapi kita yang akan menjalaninya – bukan mereka."
"So what I mean is we can do it our own way. Our wants – not theirs."
____