Hampir satu bulan berlalu sejak peristiwa tidak menyenangkan itu terjadi. Gista merasa kondisinya sudah kembali normal, ia sudah tidak dihantui rasa takut dan cemas berlebih. Terimakasih pada anak-anak kontrakan yang berperan besar atas hal ini. Meskipun begitu, Gista memilih untuk tidak lagi mengunjungi anak-anak dalam gang. Ia akan berusaha untuk menjaga relasinya dengan Ningrum, tetapi untuk kembali lagi kesana, rasanya cukup traumatis.
Melihat jam di meja sudah menunjukkan pukul sembilan lewat, Gista lekas bangun dan bersiap mandi. Ini salah satu kebiasaan yang berusaha ia tepati, mandi pagi. Biarpun tidak ada rencana pergi kemana-mana, ia tetap harus mandi. Kalaupun nanti habis mandi akhirnya cuma rebahan, tetap saja Gista merasa harus mandi.
Sebelum masuk ke kamar mandi, Gista lebih dulu mengisi daya ponselnya yang tadi malam lupa ia keluarkan dari aplikasi Youtube. Nah, kalau yang ini adalah salah satu kebiasaan buruk yang sedang ia coba perbaiki.
Gista juga menyempatkan diri untuk melihat notifikasi yang masuk. Jika ada yang urgent, tentu akan ia respon terlebih dahulu. Tapi tidak ada. Hanya ajakan dari Tama yang membuatnya mengerutkan kening.
"Tumben amat ngajakin keluar Sabtu pagi gini," ucap Gista namun tidak langsung membalas pesan Tama. Ia memilih mandi terlebih dahulu sembari berpikir akan mengiyakan ajakan lelaki itu atau tidak.
Tidak perlu waktu lama, Gista sudah membereskan keperluannya di pagi hari. Jam digital di mejanya menunjukkan pukul sepuluh saat ponselnya berdenting, menandakan ada pesan masuk.
Narantama
Gue tau lo udh bangun njing
Gistara
Masih pagi udah dikatain
Narantama
Ayo jalaannn, gue gabut
Gistara
Tumben bgt sabtu pagi???
Merasa Gista terlalu lama merespon, Tama memilih menelpon.
"Apa?" sahut Gista yang sedang mengoleskan lotion di kakinya.
"Sarapan," balas Tama masih dengan suara mengantuk
"Udah mau makan siang, cuk,"
"Ya sekalian. Ayo sih, nggak usah sok sibuk lu,"
"Yang sok sibuk siapa coba?" seru Gista kesal, karena Tama lah yang sebenarnya susah dihubungi
Tama terkekeh. "Ya ini makannya mumpung gue ada waktu. Nanti sore jatahnya sama Reyna,"
"Jemput,"
"SIAPPP,"
"Mandi dulu, Tam. Gue tau lo cakep biarpun bangun tidur, tapi please MANDI," Gista memberi penekanan.
"Iya nyonya, jam sebelas gue sampai di kosan lo, daaah," ucap Tama lalu memutus sambungan.
Selesai dengan skincare-nya, Gista kembali menggulir pesan di Whatsapp dan membalasnya satu persatu. Tadi malam ia memang mengaktifkan mode do not disturb, sehingga tidak melihat ada berapa pesan masuk.
* *
Setelah menghabiskan hampir satu jam untuk berpikir dan berdebat memilih tempat makan, keduanya akhirnya sepakat untuk makan di salah satu restoran pasta. Menu makanan yang selalu menjadi favorit mereka berdua tapi entah kenapa tidak terpikir sejak awal.
"Mau kesini doang lama ya kita," ucap Tama setelah keduanya selesai memesan.
"Ya tadi lo bilang pingin nasi goreng,"
"Mana ada? Ngarang. Lo kali yang bilang makan kari,"
"Lah makin ngarang," seru Gista. "Kapan gue bilang pingin makan kari?"
Tama terkekeh. "Iya, iya, gue yang salah, dah,"
"Ya emang. Bagus kalau sadar," sahut Gista cepat. Masih merasa kesal karena mereka membuang waktu cukup lama padahal ia sudah kelaparan.
Tama kembali tertawa kemudian keduanya memulai obrolan dengan topik yang ringan-ringan. Gista tau ada hal lain yang ingin disampaikan sahabatnya ini, tapi ia membiarkan Tama mengulur obrolan. Toh ia juga rindu berbicara santai seperti ini, jadi Gista menikmati makanan sembari bercakap yang tidak ada ujungnya.
* *
"Udah kelar makan, nih. Jadinya mau ngomong apa?" tanya Gista pada akhirnya. "Gue nggak apa-apa sih ngobrol kemana-mana, tapi tadi lo bilang ada janji sama Reyna,"
Tama berdehem, meminum lychee tea-nya, baru mulai berbicara. "Lo udah nggak apa-apa, Gis?"
Gista mengerutkan kening. "Nggak apa-apa, kenapa? Konteksnya?"
"Soal kejadian sebulan yang lalu, " jawab Tama. "Gue juga mau minta maaf, sih, sebenernya. Sorry for not being there..."
"Oh, lo tau soal itu?" tanya Gista agak terkejut, meskipun sudah menduga juga.
Tama mengangguk. "Dikabarin Harris,"
"Ooh..." respon Gista bingung. "Berarti udah tau ceritanya, kan? Nggak apa-apa, Tam, namanya musibah,"
Tama kembali mengangguk. "Iya, Harris udah cerita lengkap. Gue ketemuan juga sama Mahesa,"
"Lah? Ngapain? Kapan?"
"Abis nganter lo balik ke kosan, dia nyusul gue sama Harris ketemuan. Gue panik, lah, Gis. Keinget lo jaman SMA,"
Gista terkekeh. "I'm fine, way much better," jawabnya dengan tersenyum. "Mungkin karena langsung dapet 'pertolongan pertama', jadi nggak separah dulu,"
"Sebenernya malem itu si Harris langsung telpon, tapi dia bilang kalau lo udah ngobrol sama Mahesa dan bilang juga kalau lo nggak mau balik ke kosan dan nggak mau ke tempat gue, jadi ya udah gue nggak ngehubungin lo,"
"Iya, gue bingung, Tam. Kalau tidur di kosan sendirian pasti panik banget. Kalau numpang tidur, gue harus cerita dulu, kan, ada masalah apa?"
Tama mengangguk setuju. "Tapi canggih sih lu, langsung tidur di kontrakan yang isinya cowok semua,"
Gista terbahak. "Asli, gue juga baru nyadar itu pas mandi pagi. Bisa-bisanya numpang tidur di kontrakan cowok," lanjutnya sembari menggelengkan kepala menyadari tingkahnya saat itu. "Tapi gue merasa aman aja, sih, disana. Makannya nggak kepikiran macem-macem,"
"Mereka orang baik, Gis," ucap Tama. "Kalau ada niat nggak baik mah dari lo dateng juga udah diapa-apain, secara lo kayak orang pingsan gitu,"
Gista mengangguk membenarkan. "Untung banget Harris lewat situ dan nolongin. I owe him a life, deh, kayaknya,"
"Dia juga panik, btw," ujar Tama. "Kan dia juga ada disana pas kejadian dulu,"
Gista membelalakan mata. "Dulu? Dimana?"
"Lah, yang pertama kali ngedobrak pintu gudang tuh si Harris. Kalau yang gebukin emang Tyo sama Efram,"
"For real? Gue nggak inget..."
"For real," jawab Tama. "Ya nggak apa-apa, sih. Dia kemarin juga bilang kalau nggak usah diinget-inget. Udah kodratnya sesama manusia tuh saling bantu. Tindakan dia bukan sesuatu yang harus dibesar-besarkan," ucap Tama lagi, menirukan perkataan Harris.
Gista merengut. "Ah, padahal kita tiap ketemu ribut mulu. Ternyata doi my savior,"
Tama terkekeh. "Ya lo baik-baik dah sama dia,"
"Dih, baik banget gue, tiap ke kontrakan gue bawain makan--" Gista menghentikan ucapannya lalu mendesah lelah, merasa tidak seharusnya menyampaikan hal ini.
"Oo, main lu sekarang ke kontrakan?" goda Tama. Ia tertawa puas melihat wajah Gista. "Anjiir, muka lo lucu banget," lanjutnya.
Gista berdecak sebal. "Kenapa sih gue harus keceplosan sama lo," serunya. "Ya maksudnya tuh gue merasa berhutang budi banget sama mereka, makannya gue kadang mampir kesana, ngasih apa kek,"
Tama masih tertawa. "Iyaaa dah, percaya gue,"
"Nggak sih, bohong banget,"
"Lu yang bohong?"
Gista akhirnya ikut tertawa. "Bagian utang budi, gue beneran, sih,"
"Bagian mampir-mampir?"
"Nggak mampir, lah. Orang gue nggak dari mana-mana, emang sengaja kesana," jawab Gista jujur karena ia tau tidak ada gunanya mengarang cerita pada Tama. This guy knows her more than anyone else.
Tama kembali melepaskan tawanya. "Bagus, bagus. Gitu dong, kalau naksir tuh kejar,"
Gista mendelik. "Nggak ada sensornya ya mulut lo,"
"Lah, emang naksir kan sama Mahesa?"
"Bangsat, malah makin nggak disensor," seru Gista.
"Terus gimana kelanjutan kisah lo?" tanya Tama, mengabaikan protes gadis itu.
"Hah...nggak gimana gimana,"
"Apa tuh maksudnya?"
"Gue insecure, deh, Tam,"
Tama menatap temannya heran. "Kenapa? Mantannya si Mahesa lebih cakep dari lu?"
"Bukan," sahut Gista cepat. "Eh, tapi nggak tau, sih, belum pernah liat mantannya,"
"Oh, bukan mantan. Terus apa?"
"Nggak tau, deh. Gue kayak takut aja, gitu. Dia tumbuh di keluarga yang baiiik banget, meanwhile gue..."
Tama menghela napas lelah. Gista selalu merasa rendah diri karena hal ini. "Lo udah pernah ketemu keluarganya?"
Gista mengangguk lalu menceritakan bagaimana ia bisa berakhir bertemu dengan keluarga Mahesa dan bagaimana keluarga lelaki itu memperlakukan dirinya. Sungguh, Gista merasa hari itu adalah salah satu hari terbaik dalam hidupnya. Gista merasa senang.
"Paham kan lo kenapa gue insecure?" ucap Gista setelah selesai bercerita.
"Ya ngerti, sih. Sooner or later emang lo harus menghadapi hal ini kalau kalian jadian dan bahkan lanjut ke...pernikahan," jawab Tama jujur. "Gue nggak punya kata-kata penenang, Gis. Saran paling masuk akal ya lo cerita sejujurnya ke Mahesa,"
"Aduuuh, jauh banget ya mikirnya," Gista mengerang kesal. "Tapi emang harus dipikirin," lanjutnya pasrah.
"Tapi ini si Mahesa ada tanda-tanda naksir juga nggak? Ntar lo udah galau begini, anaknya cuma mau temenan,"
"Ada," jawab Gista. "Gue banyak pengalaman, Tam," lanjutnya sebelum Tama sempat menyanggah.
"Iya, iya, percaya gue jam terbang lo udah banyak," sahut Tama dengan kekehan. "Ya pada akhirnya, sih, jalanin aja dulu, nanti kalau ada momen untuk ngobrol kesitu, baru deh lo cerita,"
"Exactly what I'm doing right now," jawab Gista. "Tapi beneran, deh, Tam, gue baru ini deket sama cowok yang baik banget. The way he treats me tuh, ya ampun..." Gista menggelengkan kepalanya mengingat perilaku Mahesa.
"Sopan? Lembut?"
"Iya, sopan banget. Kayaknya emang ditatar manners sama ortunya. Nggak ada momen dia curi-curi kesempatan buat megang tangan, ngelus kepala, kayak masih jarak aman banget,"
"Widih, cakep. Padahal lu mainnya ke kontrakan, yak,"
"Itu, Tam. Itu maksud gue," seru Gista. "Kita tuh berkali-kali ada di situasi cuma berdua doang, kadang di balkon, kadang di ruang tamu, tapi ni orang beneran nggak macem-macem. Kita pernah skinship cuma pas malem kejadian sialan itu dan tujuannya pun buat menenangkan gue," ucap Gista menjelaskan.
"Cool," respon Tama. "Emang harusnya lo dapet yang begini. Biar gimana juga, lo pernah trauma sama cowok dan hampir kejadian lagi. Jadi yang tau batas kayak gini, lah, yang menurut gue cocok sama lo," ucap Tama panjang lebar.
Gista mengangguk membenarkan. "Kalau kata smash mah, you know me so well,"
"Lo mau effort buat dia kan?"
"Mau. Kalau akhirnya nggak jadi sama dia pun kayaknya gue nggak bakal nyesel pernah berjuang,"
"Beuh, udah dewasa ya sekarang," ucap Tama.
"Dih, dari dulu gue dewasa, ya," balas Gista. "Cuma yaaa sekarang terpaksa harus makin dewasa,"
"Sori, tapi keluarga lo tuh kenapa, sih, sebenernya?" tanya Tama yang langsung memahami arah pembicaraan Gista. "Tapi kalau lo nggak mau jawab juga it's okay,"
Gista menggumam bingung. "Jujur ya Tam, gue juga nggak terlalu tau akar masalahnya tuh, apa. Pokoknya jaman kita SMA tiba-tiba aja rumah gue jadi nggak nyaman. Mama pulang malem banget, Papa malah kadang nggak pulang. Gue bingung. Makannya waktu itu gue jadi rajin bimbel, daftar try-out sana sini, kadang nglayap sampai pagi, ya alasan utamanya biar nggak di rumah aja,"
"Kenapa dulu nggak pernah cerita, Gis? Paling nggak gue bisa nampung lo di rumah, dari pada lo kluyuran sampai pagi,"
"Tama, kalau gue nangkring di rumah lo sampai malam, Ayah sama Bunda pasti nanyain. Makin susah gue ngarang alasannya,"
Tama menghela napas panjang. Ya, benar. Orangtuanya pasti akan menanyakan kondisi Gista kalau gadis itu berkunjung sampai malam atau malah menginap disana. Gista dekat sekali dengan Bundanya, dan sepertinya sudah punya ikatan yang cukup kuat, sehingga bunda pasti menyadari kalau ada masalah dengan Gista.
"Udah lah, toh bisa gue lewatin juga masa-masa itu. Gue bisa kabur sampai sini, happy disini, buat sekarang, ini udah cukup," ucap Gista lagi.
"Cerita ya Gis kalau ada apa-apa. Kalau nggak bisa ke gue, ya ke Reyna, atau Meira, atau Ayesha," ujar Tama.
Gista terkekeh pelan. "Selain soal keluarga, gue pasti cerita, kan? Tapi soal ini, nggak tau deh, Tam. Gue masih belum sanggup. Kayaknya gue emang masih denial,"
Tama mengangguk paham. Keluarga yang tadinya bahagia, punya suasana rumah yang hangat, tiba-tiba tidak lagi bisa jadi tempat untuk pulang, tiba-tiba penghuninya hilang arah, tentu rasanya membingungkan. Seperti yang dirasakan Gista beberapa tahun belakangan ini.
Ada sedikit penyesalan dalam diri Tama. Andai saja ia tau sejak dulu, mungkin Gista tidak perlu kabur sejauh ini dari rumah. Saat mendengar rencana Gista kuliah di luar kota, Tama pikir itu hal biasa, sewajarnya seorang anak yang ingin merasakan kehidupan rantau. Sesampainya mereka disini, baru lah Gista bercerita bahwa alasannya merantau karena ingin pergi dari rumah. Alasannya ingin pergi dari rumah, karena rumahnya sudah tidak terasa seperti tempat pulang. Sudah, begitu saja yang ia ceritakan pada Tama dan ketiga teman perempuannya. Tidak ada yang tau cerita lengkapnya dan semua juga menghargai keputusan Gista untuk tidak menceritakan hal ini.
"Jangan cerita apa-apa ke Bunda, ya, Tam," pesan Gista saat mereka selesai membayar makanan dan akan masuk ke mobil.
"Iya," Tama mengangguk. "Terus lo besok wisudaan sama siapa?" lanjutnya setelah mereka masuk ke mobil.
"Mbak Aira sama Mas Kean. Udah pada ngurus cuti," jawab Gista. "Lo sama Ayah Bunda?"
Tama mengiyakan. "Sama Mbak Judith juga,"
"Ih, Mbak Judith udah balik sini?"
"Udah agak lama, sih. Besok pas wisuda puas-puasin deh ketemu sama dia,"
Gista mengangguk semangat namun lesu seketika. "Eh, tapi kalau Bunda nanyain Mama gimana ya, Tam?"
"Besok si Judith gue briefing, biar Bunda nggak sempet nanyain lo,"
"Aaaa thank you, kalau bukan temen gue pacarin dah lu,"
"Males,"
"Sama, sih,"
* *
Hari sudah beranjak gelap saat Gista merasa lapar. Perut Indonesia-nya memang tidak akan kenyang kalau belum diisi nasi. Padahal tadi saat pulang Tama sudah mampir drive thru dan membelikan burger serta kentang. Tapi tetap saja sekarang ia kelaparan.
sudah yudisium (4)
gista: gengss laper
gista: beli makan yukk
reyna: buseet, lu td udah makan banyak bgt
reyna: itu tama
ayesha: skrg tama jd admin hp lu, rey?
reyna: betuuul, biar gue terpantau kalo meleng
meira: yhaa mau meleng kemana si
meira: kan udah ngga ada yg mau lagi
ayesha: wkwkwk brengsek meira
reyna: ketikannya dijaga mei
reyna: lo ngga tau aja brp cowok yg deketin gue
meira: berapa?
gista: MAKAN
gista: gue ngajak makan
ayesha: oiya yak maap gis
ayesha: tp gue udah makan
meira: gue baru aja beres order
meira: ke kos aja sini, makan bareng
gista: huffft☹☹
gista: pgn nasi goreng yg di dkt FE
reyna: gue chat-in mahesa ya
reyna: itu kata tama lagi
gista: anjiiing, gausah aneh2 lu
meira: oiyaaa, kan lu punya gebetan
ayesha: bergerak pemuda!
reyna: pemudi dong
ayesha: bergerak pemudi!
reyna: knp reyna lu turutin dah, sha
ayesha: iya ya???
reyna: cpt chat mahesa atau gue yg ngechat
gista: knp lu yg semangat sih
meira: ini lg mendukung proses pendekatan, gis
ayesha: dah ya, lu chat mahesa, gue mau nonton drakor dulu byebye
Gista mendengus geli. Tapi akhirnya mengikuti saran teman-temannya. Di kamus Gista saat ini, nggak ada istilah gengsi. Kalau suka ya kejar.
Gista
Saaa, lg dmn?
Makan yukk
Mahesa
Lagi beres futsal
Ayoo
Aku otw ke kosan yaa
Gista
Okee, hati2
Gista tersenyum lalu lekas mengganti pakaiannya dengan yang lebih pantas. Menutup hari Sabtu dengan Mahesa sepertinya menyenangkan.
***
[07/02/2021]