Bungkusan itu disobek menyibakkan wangi aroma biji kopi yang masih segar.
Dalam bentuk serbuk, ia di takar lebih dulu baru kemudian diseduh.
Biarkan tangan si barista itu bekerja mengenai perihal kopinya.
Dua adam tengah duduk pada meja yang berada di pinggir ruang berdekatan dengan jendela kafe.
Mereka sedang menikmati hangatnya secangkir kopi hitam yang pahit.
Pahit, sebagaimana kehidupan manusia yang berpijak di planet bernama bumi.
"Jefri...."
Yang dipanggil masih sibuk berkutat dengan benda persegi berlayar sentuh berlogo apel setengah gigit.
"Hmmm?" gumamnya tanpa memandang.
"Mau sampai kapan?"
Wajahnya yang tadi kian bersemangat membalas pesan para wanitanya itu meraut aneh.
"Sampai kapan, apanya?"
"Kamu bersikap seperti itu."
"Bicara apa sih? Sumpah saya nggak ngerti," jawab Jefri kemudian sibuk lagi bersama ponselnya.
Orang di sebrang duduknya hanya diam menatap. Rautnya begitu serius sembari kedua tangannya di silangkan pada dada.
"Jefri!"
"Apaan?"
"Mau sampai kapan?" sekali lagi ditanya.
"Mempermainkan hati para perempuan."
Jefri, si adam itu lantas tertawa lalu menaruh ponselnya kembali di atas meja dan menyesap kopinya.
"Kenapa malah tertawa? Di mana letak kelucuan kalimat saya?"
"Mempermainkan hati perempuan."
"Apa itu terdengar lucu menurutmu?"
Jefri mengangguk. "Ya, lucu sekali. Anda sama seperti ayah saya. Selalu bertanya hal yang sama."
"Mungkin, sebuah kebetulan."
"Jadi, sampai kapan kata mu tadi? Saya mempermainkan hati perempuan? Menurut saya sampai nanti."
"Sampai nanti? Di mana letak hatimu? Apa dia ikut menjadi keras dan tidak punya rasa kasihan sudah mematahkan banyak hati?"
"Ada disini." Tunjuk Jefri mengarah kepada bagian kanan tepat di bawah dada."Untuk apa kasihan? Mereka hanya pemuas nafsu kita."
"Orang gila!"
Orang itu pergi meninggalkan Jefri yang masih tertawa.