"Salat sendiri?" Arga membuka suara selepas mematung beberapa menit.
Riana menoleh sedikit. Ia bergumam dan enggan menjelaskan panjang lebar. Baginya, sudah cukup pernyataan menyakitkan yang membuat hatinya terbakar. Sekarang, ia hanya perlu mengadu pada Tuhan. Ia melanjutkan zikir dan terdengar pintu berderit.
Arga pergi meninggalkan ketidakpatuhan Riana untuk pertama kali. Percayalah, hatinya terasa didesak kecewa karena pemandangan tadi. Tidak habis pikir jika Riana, istri yang menurutnya penurut, berubah menjadi asing seperti pagi ini.
Salat Arga tidak begitu khusyuk. Selepas salam, pikirannya kembali melayang. Riana cantik. Sebenarnya. Dia terlambat mengetahui atau terlalu sibuk dengan Maida hingga asing dari wanita itu?
Kenangan berkelebat ke kepala Arga. Berpuluh-puluh tahun yang lalu, seorang gadis kecil hobi berlari, terjatuh, lantas menangis tersebut akan diam ketika berada di gendongan. Sang gadis kecil telah berubah besar dan pesonanya tidak bisa dinafikkan.
"Huaaaa!"
Arga menoleh melihat bocah lima tahun dengan rambut lurus sepinggang. Lututnya berdarah karena terjatuh. Arga mendekat menatap bocah itu lantas menggendongnya.
"Hati-hati lain kali, Dek."
Seakan sihir, kalimat tersebut menghentikan tangis Riana. Ia mengerjap dan didudukkan di bangku. Dengan telaten Arga membersihkan luka juga menutupnya dengan plester.
Senyum cantik pun terpantik. Arga menyipir dan mengacak rambut bocah itu gemas.
Tergagap. Arga menyugar rambutnya yang sudah kering. Tahun-tahun yang berlalu sudah jadi bukti sebesar apa kepeduliannya pada Riana. Namun, ketika mamanya memaksa menikahi sepupunya tersebut, Arga menjadi pribadi berbeda. Ia hanya bisa mengabaikan semua bakti Riana. Arga ... merasa entah sekarang.
Rasa pusing masih bertakhta di kepala Riana. Wanita itu memaksakan diri untuk ke dapur dan memasak seadanya. Egonya kembali mengikis tatkala melihat jam di dinding.
Pukul enam. Ia tahu pukul tujuh Arga akan sarapan. Jadilah, Riana kembali mengalah mungkin? Entahlah, selepas subuh tadi ia merasa bebannya terangkat. Akan tetapi, kalau dipikir-pikir, dengan membantah semua ucapan Arga, Riana akan semakin berdosa. Toh, suaminya itu tidak pernah main tangan. Sifat yang disayangkan adalah; tidak adil.
"Kalau sedang sakit, tidak usah memasak."
Terdiam. Pisau yang ada di tangan Riana tidak jadi mengiris sayuran. Wanita itu membeku dan menoleh ke sumber kegaduhan. Huh! Hatinya lemah karena hanya dengan kalimat tersebut, getar hebat melanda.
"Ayo makan di luar sekalian periksa ke dokter!"
"Kamu sibuk." Riana harap jawaban tadi dapat memukul mundur sikap Arga.
"Aku libur."
Menoleh. Riana menatap lelaki di hadapan dengan alis terangkat satu. Libur?
"Ayo, Ri! Tidak ada penolakan! Wajahmu pucat seperti vampir."
Punggung Arga berbalik. Ia menjauh dari Riana yang sibuk meredam riuh. Mau tidak mau, Riana mematuhi kata Arga.
Di mobil, dua insan itu saling diam. Perjalanan pun terasa lamban ditambah kemacetan yang menyerang. Beruntung, Riana memiliki alternatif mengusir kebosanan dengan membaca novel.
"Masih suka baca ternyata," ujar Arga selepas melirik sekilas.
Riana memicing. "Kamu tahu?"
"Ya. Aku tahu, Ri. Kamu suka dunia seni. Seperti Arlan."
Mengingat nama itu disebut, Riana jadi ingat suatu hal tentang titipan Arlan. "Kemarin Arlan ke rumah. Nitip pekerjaan kamu."
Mobil terhenti di pelataran rumah sakit. Ketika itu juga, Arga merasa terusik.
"Ke rumah?"
"Ya. Cuman beberapa menit. Aku enggak ngadu kamu ke Maida, kok. Jangan khawatir."
Riana bisa membaca raut khawatir Arga. Dengan hati lapang, ia menjelaskan semua secara runut.
Masih menatap Riana, Arga membeku. Bukan. Dia tidak peduli dengan terbongkarnya hubungan dirinya dengan Maida. Namun, ia merasa ketakutan asing yang tidak bisa dijelaskan oleh kata.
Sesuatu yang mengganjal di hati itu, Arga abaikan. Ia pun berjalan beriringan dengan Riana. Sesekali lelaki itu memikirkan apa rasa asing ini?
"Jangan hujan-hujanan dan terlalu banyak pikiran, Bu. Ini flu dan demam biasa. Tensi Anda rendah jadi menimbulkan pusing. Ini sudah saya beri resep obat untuk ditebus di apotek."
Petuah dari dokter menjadi tiket bagi Riana untuk menyalahkan diri. Sungguh teledor dia melakukan hujan-hujanan kemarin. Ia melirik suaminya sekilas. Arga hanya mengangguk saja tadi. Tidak ada basa-basi lain. Kiranya, kenapa lelaki itu?
"Kamu hujan-hujanan dengan Arlan?" Entah kenapa tiba-tiba tanya itu terucap.
Arga tahu pasti adiknya itu suka dengan hujan. Lantas, terkaan itu timbul begitu saja. Arlan dan Riana hujan-hujanan bersama? Kok, rasanya Arga geregetan, ya?
Tawa Riana menyembur. Namun, melihat tatapan dingin Arga nyalinya mengendur.
"Ya enggak, Mas. Arlan cuman bertamu di teras, kok. Gak aku perbolehin masuk. Aku hujan-hujannya di atap-eh."
Riana menutup mulut karena pengakuan tadi. Di hadapannya, Arga terdiam menghentikan langkah.
Tidak lama adegan saling pandang itu berlalu begitu saja. Arga kembali melangkah ke apotek dengan Riana yang tertinggal jauh di belakangnya.
Di dalam mobil, suasana masih hening. Riana berkali-kali melirik sang suami. Tetap saja wajah datar yang dia temui.
"Sengaja hujan-hujanan?" Arga bertanya dengan nada datar.
Mobil melaju. Riana menoleh dan mencari alasan yang tepat.
"Hanya pengusir sepi. Enggak sengaja, kok."
"Oh."
Lihatlah. Riana menebas dada mendengar jawaban singkat Arga. Ia membuang pandang ke jalanan yang masih padat. Manusia es tetap saja manusia es.
"Mau makan apa?"
Mata Riana melotot seketika. Ia menoleh dan menatap Arga. Merasa diperhatikan, Arga berdeham kikuk.
"Biasanya kalau hamil ngidam. Maida dulu-"
"Terserah," potong Riana merasa moodnya anjlok.
Maida Maida Maida? Selalu Maida! Hati Riana menjerit kesal. Tidak terasa matanya terasa panas dan genangan air mata mengumpul begitu saja.
"Ri?" Arga menatap Riana yang membuang muka.
Mobil berhenti di pinggir jalan. Arga kebingungan. Bagaimana bisa dia memilih menu makanan sedang Riana mengucap jawaban terserah. Sungguh rumit!
Diam. Riana tidak bergerak dan berusaha menahan air matanya agar tidak turun. Kesal, marah, kecewa, telah bercampur dalam dada.
"Ri?" Panggilan kedua masih Riana abaikan.
Arga kehilangan cara. Kenapa mendadak Riana diam tak berkata? Otaknya buntu untuk mencerna semua perkara.
"Ri?"
Hening. Arga menelan ludah.
"Ri! Kamu kenapa?" Suara Arga sedikit meninggi.
Riana tersentak, menoleh, dan menatap Arga. Arga menatap istrinya yang bersimbah air mata.
"Kamu nangis?"
Bodoh! Dia memang menangis, Ga! Kenapa kamu bertanya begitu?
"Mas!" Riana menatap Arga dengan air mata ygang terus menetesn.
Ia tidak peduli lagi. Hatinya benar-benar tercabik. Riana ingin pergi dari semua penjara lara milik Arga.
"Mas!" Riana mengulangi panggilannya dengan suara bergetar.
"Mas, setelah aku melahirkan, kita cerai, 'kan?"
Tanya itu melumpuhkam segala syaraf yang Arga punya. Ia terdiam membeku dan menatap tidak percaya. Cerai?
"Kita akan bercerai, 'kan?"
Kata terakhir seolah penekanan bagi keinginan Riana untuk pergi. Arga terdiam dengan bibir kelu. Ada sudut hatinya yang enggan mengaku bahwa perceraian adalah hal yang tidak diinginkan.
Ya atau tidak?