Baby Its Raining
Loser
.
Loser
.
Loser
.
Loser
Yang kelima kalinya kubanting HP itu dengan keras- diatas kasur. Terdengarlah cekikikan, cemo'ohan, ledekan, bahkan hinaan mengiringi HP itu yang kini terpental dekat bantal. Kuubah posisiku yang awalnya telungkup menjadi telentang dengan helaan napas berat.
"Udahlah Ra, bego mah bego aja." nah itu termasuk yang mana? hinaan? cemo'ohan? atau ledekan.
Dengan kaki kanan ku tendang bokong semok itu, si empu meringis seraya mengusap bokongnya.
"Lagi laki lu bener-bener deh," kali ini bukan ku tendang tapi ku toyor kepalanya, ia tersedak dan aku tertawa puas.
"Apaan sih lu ikut-ikutan Mbak Iken aja, loka laki loka laki. Belom nikah gua sama dia." sungutku tak terima dengan panggilan Indah pada Juna yang mengikuti panggilan Mbak Iken ke Juna.
"Iya blom nikah tapi dah kawin," ujar Mbak Iken yang baru berhenti tertawa, mulai gibahnya.
Uhuk-uhuk-uhuk
Perempuan yang setahun diatasku dan setahun di bawah Mbak Iken itu kelabakan mencari cairan guna menghanyutkan brownies yang tadi siang ia antar ke rumah ku dan malam ini ia habiskan, entah niat memberi atau tidak anak ini. Mbak Iken yang melihat itu langsung menyodorkan gelas yang tadi dibawanya tanpa banyak tanya Indah menerimanya dan langsung diteguknya minuman berwarna orange itu. Yang seharusnya untukku.
"Ini kunyit asem?" tanyanya sambil menatap gelas itu lurus lurus, Mbak Iken mengangguk lalu ambil posisi duduk bersandar pada kepala ranjang di sampingku.
"Nggak ada air putih apa?" tanyanya lagi kini menutup Tupperware biru milik ibunya.
"Yee masih mending gua tolongin lu dari keselek , pake nawar lagi." jawab judes Mbak Iken dibalas cengengesan dari Indah.
"Eh-eh-eh lanjut, si Yara dah ngapain aja sama lakinya?" antusias Indah sambil menarik tangan Mbak Iken guna mengikis jarak.
Jika sudah begini jangan harap pembelaanku berlaku, mereka tak perlu klarifikasiku untuk itu yang mereka butuhkan hanya bahan bakar untuk membakar mulut mereka. Aku mendengus, meraba sekitaran bantal lalu menangkap benda pipih yang tadi ku sia-siakan. Tak masalah bagiku mendapat kata Loser dari Hp daripada harus menyimak Mbak Iken dan Indah yang mulai asik bergosip tentangku, tak mau ada perlawanan tak mau ada pembelaan, biarlah, Lagipun aku bisa apa kalau Mbak Iken dengan mulut julidnya sudah menghakimi terlebih dulu dan disini tolol dan bodohnya Indah selalu percaya. Kupikir gadis yang selalu ranking pertama di kelasnya itu tau yang mana yang lebih dilogika tapi nyatanya sama saja. Kemampuan akademik boleh oke tapi naluriah-yah begitu.
slide demi slide kubolak balik terus tapi tak menemukan yang cocok dengan kemauan ku, tidak ada Instagram, tidak ada Snap Chat, tidak ada Facebook, tidak ada Wattpad, dan tidak ada camera cantik! Hp dengan muatan internal yang besar ini sudah terlalu penuh dengan belasan Game dan video-video pertandingan bola. Oh my god, disini yang bisa kuharapkan hanya Youtube yang memang sudah ada dari setelan pabriknya dan yup seharusnya aku sudah menduganya semua rekomendasinya tentang bola, Iya B-O-L-A. Bisa stress aku kalau begini.
Sekarang baru sadar, terlalu jauh aku dengan Juna. Pertama aku tidak suka sepak bola, perminannya lho ya kalau pemainnya mah suka garis kriting tapi merekanya saja yang tidak suka denganku. Kedua, sumpah demi tuhan aku tidak punya satupun Game dalam Hp ku lain dengan Juna yang punya tujuh belas Game semacam Mobile Legend di Hpnya. Dan yang ketiga Juna terlalu sombong untuk menyapa orang dikenalnya saat dijalan lain denganku yang ramah, yah aku sih kata tetangga lho ya. Sebenarnya poin yang terakhir tidak ada sangkut pautnya, lupakan.
Hanya ada dua puluh lima nama yang terdaftar di kontaknya, kedua orang tuanya, satu Abangnya, empat sahabat lelaki masa kecilnya, tiga guru sekolahnya, dua sepupunya, dua kakeknya, dua teman sekolahnya (yang dianggap penting), dan sembilan kenalan dari futsal yang membentuk sebuah grup termasuk Bang Maja. Dan yah aku lupa satu lagi ini terdapat di baris paling bawah Zero teman gamming-nya. Jadi dua puluh enam-eh dua puluh tujuh deng dengan nomorku yang ternama 'Aku' alasannya simpel katanya Saia itu juga berarti Aku. Selebihnya hanya deretan-deretan nomor yang ia arsipkan tanpa dibaca pesannya, sudah kubilang dia egois tak mau tau urusan orang lain yang mungkin mengirim pesan sebab butuh bantuannya.
Ada beberapa pesan yang di arsipkan itu kubuka, secara random aku membuka yang lainnya karena tak mugkin kubuka semua pesan yang di arsipkan itu satu-persatu, terlalu banyak dan aku tak tau diaseterkenal itu. Orang seperti dia? oh ayolah. Oke, mungkin Juna tak seegois yang kubilang tadi. Dari semua pesan yang kubaca hanya ada 2,5% yang berfaedah sisanya dari sekumpulan gadis-gadis centil yang memperkenalkan diri dan meminta di simpan kontaknya. Setahuku Juna tak seterkenal itu tidak sampai menyandang gelar Most Wanted di sekolahnya dan seharusnya memang tak mendapat gelar itu sebab ia tak banyak bersosialisasi di sekolahnya. Tidak mengikuti organisasi, perkumpulan siswa siswi, atau semacam grup kumpul-kumpul nongkrong ala anak remaja, jangankan itu masuk grup angkatan saja tidak. Di sekolah dia benar-benar to the point, hanya belajar antara Guru dengan murid tanpa belak-belok untuk berteman atau mencari kenalan. Garis lurusnya itu seperti datang ke sekolah-belajar-pulang selebihnya tak penting. Juna terlalu cuek untuk menyapa gadis-gadis di koridor, terlalu sombong untuk menjulurkan tangan salam perkenalan, terlalu angkuh untuk meminta bantuan yang memang pada dasarnya dapat ia tangani sendiri tapi bila di kerjakan bersama-sama bukankah akan lebih menyenangkan? sayangnya Juna tak butuh itu. Lalu apa yang gadis-gadis itu pikirkan saat mereka akan menekan simbol pesawat kertas yang akan menghantarkan kata kata manis mereka?
"Yar-Yara!" suara melengking itu membuyarkan pikiranku, Mbak Iken dan Indah kini menghadapku sepertinya mereka telah selesai dengan sesi gibahnya. Aku mengangkat dagu guna menjawab.
"Besok lari pagi yuk,"
Aku memperhatikan Indah, melihat serakan bungkus cemilan dan Tupperware yang telah kosong lalu melihat perutnya.
"Kenapa? kebanyakan lemak lu?" tanyaku sarkastik di balas cubitan di pahaku menggunakan jempol kakinya.
________________________________________________________________________________________________________
Hujan berbutiran besar menghentikan langkah kami lari pagi-ralat maksudku jalan santai. Terpaksa kami meneduh di rumah makan terdekat dan sialnya kami tak membawa uang sepeserpun, dinginnya hujan membuat perut kami keroncongan minta diisi terlebih kami yang belum sarapan. Beberapa kali Mbok Sekar menewari kami makan tapi berhubung kami tak memiliki muka tebal terpaksa kami tolak halus meski perut berkata lain. Jam tujuh lewat sepuluh, aku berharap Bang Maja lewat dengan motornya sayang itu hanya bisa jadi angan-angan. Abangku satu itu lebih mementingkan bergelung dengan selimutnya ketimbang beraktivitas saat hujan dan lagi kudengar ia sedang tak ada job, taulah tukang editor.
Tak ada yang lebih sempurna lagi dari ini ketika aku hanya menggunakan kaos tipis dan celana training selutut, tau dinginnya seperti apa? ketika satu butir air hujan yang jatuh terasa mengetuk keras gentig-genting yang kami naungi ini. Saking deras dan kencangnya jalanan berembun, mengurangi jarak pandang. Aku duduk di pinggir kursi panjang sambil menghadap pintu yang dibiarkan terbuka, hampir tak ada kendaraan yang melintas. Langit gelap mungkin salah satu sebabnya membuat orang-orang enggan keluar rumah lebih memeprtahankan di peraduannya, beberapa kali aku mengusap betis dan lenganku yang telanjang akan kain. Aku berdesis.
"Nerobos ujan aja yu," ajak Indah yang bersandar pada punggungku.
Aku menoleh sebentar lalu menatap Mbak Iken yang sedang membaca Wattpad, anak itu masih bisa santai dalam keadaan perut keroncongan.
"Nunggu di sini gak bakal kelar-kelar ini, bakalnya lama. Gua dah laper duluan." tambah Indah yang ada benarnya.
Kami sudah terpojok disini, Aku dan Indah sama sama tidak membawa HP sementara Mbak Iken yang membawa HP tidak punya paket data dan pulsa, jadi apa yang bisa kami harapkan? sedangkan jarak rumah lumayan jauh. Pastilah kami akan basah kuyup begitu sampai rumah tapi setidaknya itu tidak akan meneyiksa kami yang kedinginan plus kelaparan disini kan.
"Eh-eh Yarr! lu nelpon ni!" ujar Mbak Iken yang mengalihkan atensiku dari jalanan berembun ke arahnya.
Apa? aku menelpon?
"Ini hett deh!" aku yang belum paham menerima HP nya yang ia julurkan padaku.
Memang namaku yang tertera disitu 'Saia bkn Gua'.
"Mbak?" suara berat itu menginterupsiku, ah bodohnya aku. Ini Juna, baru kuingat aku bertukar HP dengannya.
"Assalamualaikum, Mbak?"
"Waalaikumsallam, ada apa Jun?" jawabku salam, terdengar ia tercekat saat akan berucap. Mungkin terkejut saat aku yang menerima panggilannya.
"Na, dimana?"
"Di warteg,"
"Warteg? warteg mana? ngapain di sana?"
"Aduh, ntar deh ceritanya. Ada apa nelpon Mbak Iken?"
"Aku di rumah kamu, temen PKL kamu ngajak kerja kelompok."
"Hah?"
"Warteg mana?, aku jemput."
"Warteg deket sanggar,"
"Tunggu disitu."
"Eh tapi lagi ujan deres nantia aj- kampret malah dimatiin."
Mereka berdua (Mbak Iken dan Indah) menatapku penuh harap.
"Juned kesini?" tanya Mbak Iken begitu aku serahkan HP nya. Aku mengangguk, bertambah binar bahagia mereka.
"Asik traktir ni yee," seru Indah menyenggol bahuku.
"Berani minta ke dia?" tantangku, seketika wajah Indah datar tak berekspresi. Kami sama-sama mengenalnya, masa kecil kami bersama dulu saat Juna masih tinggal disini sebelum keluarganya pindah ke perkotaan. Bisa dibilang tak terlalu jauh dari daerahku tinggal mungkin hanya butuh waktu setengah jam bila berkendara.
"Kaga-lu lah mintain. Pasti nurut ama lu." jawab Indah bergelayut manja pada lenganku. Aku menggeleng kepala melihat tingkahnya.
"Makan di rumah kan jadi, ntar satu-satu bonceng dia pulangnya doain aja tuh anak bawa mantel." seruku melepaskan lilitan tangannya.
"Ishh, Mak gua mana sempet masak jam segini, blom ke tukang sayur dah keburu ujan gitu kok."
Aku melirik Mbak Iken yang kembali membaca Wattpad, merasa diperhatihan Mbak Iken balik menatapku.
"Laki lu kan kaya, traktirlah. Toh lu juga blom masak kan di rumah?" tambah Mbak Iken.
Aku menghela napas. Terdengar suara lengkingan klanpot yang redup akan derasnya hujan, tak lama sosok tinggi besar muncul tepat di sampingku. Juna dengan mantel hijau arminya, sepatu Vans dan ujung celana tactical nya basah lain dengan ujung kemeja kotak yang ia gulung hingga siku membuat lengannya basah. Kami sontak melihatnya, Juna berusaha melepaskan mantelnya tanpa rasa di perhatikan. Setelahnya ia letakkan mantel itu di sudut pintu seraya menyisir rambutnya yang lepek. Barulah ia tersadar kami memperhatikannya.
"Eh ada Mas ganteng, makan Mas?" ujar Mbok Sekar keluar dari dapurnya.
Tidak dengan senyum, tidak dengan sahutan hanya anggukan kecil tanpa sunggingan dibibirnya. Wajahnya datar, itu masih bisa dibilang sopan sebab Juna merespon kalau biasanya jangankan melirik sudi pun tidak dia.
"Lama disini?" tanyanya sambil ambil bagian duduk di sebelahku yang otomatis menggeser bokongku.
"Lama, dari jam tujahan mungkin." jawabku membantunya merapihkan rambut badainya itu, basah semua dari depan hingga belakang. Ku pertanyakan kegunaan kupluk pada mantel itu.
"Khmm," itu kode, aku tau itu.
"Lari pagi?" tanya Juna tak menghiraukan deheman Mbak Iken.
Aku menggeleng menjawab pertanyaannya. Alisnya terangkat kembali menelusuri pakaianku lalu mengusap bahuku yang basah.
"Ini keringet atau air ujan?" kembali ia melontarkan pertanyaan.
"Air ujan, blom sempet keringetan ujan turun."
"Khmm," lagi, kali ini dari Indah.
Juna melirik ke belakang punggungku tapi tangannya tetap merapihkan anakan rambut pada dahiku yang mencuat keluar dari ikatan.
"Lari pagi?" tanyanya lagi yang langsung aku jawab dengan gelengan.
"Jalan santai," jawabku begitu perhatiannya kini kearahku. Menjawab kebingungannya.
"Khmm,"
"Udah tau musim ujan gini, ngapain pake baju gini coba." ujarnya mulai sengit seraya menarik kaos ku yang melekat ketat membentuk badanku.
"Mana ku tau kalo bakal ujan," gumamku pelan.
"Khmm,"
Masih dengan mata sengitnya Juna menatap ke Indah yang terakhir berdehem, tau rasa!!
"Udah makan?"
"Belom laper ni." bukan aku, sungguh itu bukan aku. Indah pelakunya.
Tak dihiraukan, atensi Juna masih padaku menunggu jawabanku.
"Belom, lupa bawa dompet lagi."
Seolah tau maksudku, Juna langsung berdiri dan memanggil Mbok Sekar. Belum selesai Juna memesan Indah dan Mbak Iken lebih dulu memesan makanan mereka. Aku menggeleng, ya tuhan.
"Jun, siap-siap ya dompet lu kempes ama kita." ujar Mbak Iken begitu menerima pesanannya.
Seperti sudah terbiasa dengan perilaku dua curut ini, Juna hanya mengabaikannya. Kembali duduk di sampingku begitu selesai memesan makanan lalu menumpangkan kaki kiriku pada pahanya.
_____________________________________________________________________________________________________________
Tipe wajahnya itu tegas, dengan garis lurus pada rahangnya dan air muka serius. Walau tersenyum lebar sekalipun tak akan ada kesan manis padanya, entah karena aku yang tidak terbiasa melihatnya tersenyum atau memang wajahnya yang tak mendukung untuk ramah. Meski tulus sekalipun senyum itu akan terasa kaku terlebih akan mengerikan. Begitu yang kulihat pada foto yang berjamur di galeri HP ku, Juna menyerahkannya HP ku tadi. Foto itu di ambil saat kami belum menjalin hubungan, masih berteman. Kalau tidak salah saat kami berkumpul dirumahnya yang baru sekaligus untuk merayakan tahun baru bersama, aku, Mbak Iken, Indah, Shika, Roro, Dimas, Pambudi, Galih, Danang dan tentunya tuan rumah, Juna. Meski dengan sifatnya yang masa bodoh dengan pertemanan nyatanya kami besar bersama, sudah menjadi bagian satu sama lain. Mau semenolak apa pun dengan kehadiran kami yang waktu itu datang mendadak membawa belanjaan, Juna tetap tak bisa menghalau kami masuk. Kami memaksa berteman dengannya, dia hanya pasrah saat kami mulai asik bercerita satu sama lain.
Dulu rasanya sejauh jarak rumah kami tetap bisa berkumpul, Juna dan Bang Pambudi yang satu persatu pindah ke jantung kota pun tak menjadi halangan. Namun dengan perubahan tiap waktunya terasa benggang hubungan kami.
Aku tersenyum, lucu rasanya. Tak pernah terpikirkan olehku akan menjalin kasih dengan orang yang angkuh nan sombong itu. Padahal dulu aku mendambakan sosok humoris Dimas, mendambakan sosok kepemimpinan Pambudi, mendamba sosok konyolnya Danang, mendamba sosok cool nya Galih. Tak pernah terpikirkan olehku untuk melirik Si angkuh Juna yang dulu saat aku jatuh di depannya tanpa repot mau membantuku malah memanggil Pambudi untuk menolongku. Pikirkan, oke dia tampan tapi bisakah sedikit lebih bagus juga sikapnya? selain kepintarannya dan ketampanannya aku tak menjamin itu bagus.
Begitu hujan sudah sedikit reda Juna dengan motor ninjanya melaju kesana-kemari mengantar kami satu-satu dan yang terakhir aku. Terpaksa aku harus lebih berlama disini, Mbak Iken dengan alasan tak tahan dengan panggilan alam diantar lebih dulu lanjut ke Indah yang kini sedang dalam perjalanan.
Kemeja kotaknya tersampir dibahuku, pada bagian lengan ia gulung sampai ke siku hingga tak terkena air hujan tadi. Terasa besar padaku, tapi aku suka. Sudah biasa aku menjajal semua pakaiannya yang ukurannya dua kali lipat milikku.
Ninja hitam biru itu berhenti tepat di depan pintu, membuyarkan lamuananku tadi. Sontak aku melihat sang empu, memastikan. Lalu aku berpamitan pada wanita setengah baya yang kini sedang menyusun makanan pada bufet nya.
"Udah gak deres, gak usah pake mantel ya."
Tak langsung menjawab Juna terlebih dulu menjulurkan telapak tangannya lalu kembali menatapku.
"Masih gerimis halus, pake."
Aku menurutinya, menelusupkan tubuhku pada mantel berat ini. Ku lingkarkan kedua tanganku pada perutnya yang terasa hangat atau pengap mungkin lebih tepatnya karena tertutup mantel setebal ini. Tak lupa kusandarkan kepalaku pada punggungnya. Kami melaju di bawah rintik air.
Sesampainya di rumah lagi dan lagi hal memalukan terjadi, kalau dulu terjadi pada MoGe nya yang bertipe Suzuki GSX-R150 kini terjadi lagi pada Yamaha R15-nya. Ya tuhan, malu sekali rasanya. Begitu aku turun jelas tercetak lingkaran tak sempurna yang mengkilap itu.
"Maap, aku gatau kalau bakal bocor." tanpa melihat wajahnya, aku hanya bisa menunduk atau mencari objek lain untuk ku perhatikan.
"Masih dapet?"
"He'em."
"Masih sakit?" kebiasaanku yang selalu mengeluh sakit saat menstruasi membuat Juna selalu menanyakan kondisiku.
Aku menggeleng, Juna mengangguk pelan menanggapi seraya membuka joknya lalu mengeluarkan kanebo yang berbeda warna dari yang waktu itu. Sepertinya dia baru membelinya, terdapat pelastik pembungkus pada tempatnya.
"Sini aku bantu," ujarku yang ingin meraih kanebo di tangannya. Dengan cepat Juna meninggikan tangannya dengan kata lain melarangku melakukannya.
"Cariin aku baju aja,"
"Iya nanti aku cariin setelah bantu ngelap," Juna masih mempertahankan posisi tangannya dengan mata yang menatapku tak mau di bantah, bersikeras melarangku melakukannya.
"Ihh, aku nya nggak enak." rengek ku padanya sambil menghentakkan kaki.
"Kenapa mesti gak enak, ini kan sama aku."
"Darah-darah aku, emang nggak jijik?"
"Nggak, cepet cariin aku baju, dingin." ujarnya mendorong bahuku pelan memasuki pintu.
Aku berpapasan dengan Bang Maja yang sedang membawa kopi dan sekotak racun yang mengandung nikotin. Samar-samar aku mendengarnya menyapa Juna tapi aku tak mendengar Juna yang menyahut, anak itu pasti hanya anggukan.
"Yara ngompol?" suara Bang Maja menginterupsiku, aku berhenti tepat di ruang tengah. Menunggu sahutan Juna.
"Bocor, cewek biasa." Luruh sudah urat maluku, kenapa Juna mesti memberitau Bang maja sih? tidak tau apa dia soal hal-hal seperti itu sangat privacy bagi kami yang hawa ini.
with luv, Lesta.
support me by vote and comment.