Kamu istimewa, itu sudah garis takdirmu. Layaknya seekor singa, dia istimewa, tapi tidak ada orang yang berani mendekatinya. - Ayah Ten.
...
Author side's
"Hati-hati!" suara wanita agak serak dengan lambaian tangan pada sebuah mobil.
Operasi sudah hampir 12 jam berjalan, tapi suami dan teman-temannya belum keluar sampai saat ini. Chimon mengantarkan Alvin ke apartemen miliknya yang kebetulan dekat dengan rumah sakit, dia tahu temannya khawatir tapi untuk saat ini biarkan D.I.D yang menanganinya. Alvin harus beristirahat.
Dia sedikit tidak enak sebenarnya dengan tim yang baru saja tiba dari Indonesia, mereka pasti masih kelelahan tapi mau bagaimana lagi pikir sosok wanita itu.
"Hahh ...," Ace membuang napasnya panjang begitu lembut ke udara.
Melihat langit ibu kota yang terasa sepi tanpa bintang dan bulan. Entah jam berapa sekarang, seingatnya dia masuk ke rumah sakit saat masih ada matahari di atasnya.
Ah! Ace terpikirkan, bagaimana keadaan kampusnya saat ini. Ayahnya pasti tahu, tapi dia tidak sengaja melihat sosok yang bernama Max itu menatap ke arahnya. Tepat dimana Karin sedang melindunginya dari tembakan.
Ketika hendak berbalik, wanita itu hampir saja menabrak sosok yang lebih tinggi.
Mereka berdua saling berpandangan satu sama lain, seperti rasanya tidak asing dengan wajah masing-masing.
"A-ace?"
Sosok yang di panggil mengkerutkan dahi, saat ini kewaspadaan lebih penting dari etika sopan santu dalam berbicara. "Maaf ... Siapa?" ketusnya.
"O-ohh aku Win."
"Astaga! Win teman Arthit? Ngapain di sini." Ace dengan heboh reaksinya melihat sosok yang diam-diam membantunya selama ini.
Pria itu terkekeh dengan tingkah laku Ace, dimana kedua tangannya sedang menutup mulutnya sendiri karena reaksi terkejutnya.
Win tidak menjawab hanya tersenyum manis kepada Ace, membuat wanita itu bersuara kembali. "Kamu nyari Arthit kah? Dia lagi di ruang operasi."
"Hah? Kok! Kenapa dia?"
"Dia baik-baik aja, cuman lagi ngebantu jalannya operasi."
"O-oh syukurlah, aku pikir dia kenapa-kenapa." Win sedikit bernapas lega saat ini.
"Apa kau buru-buru pulang? Ini sudah jam 10 malam. Mau jalan sebentar denganku? Aku sendirian," keluh Ace dengan bibir mengerucut lucu.
Jika Gulf melihat ini, sudah di pastikan ia akan marah karena sang istri menunjukan wajah gemasnya pada orang lain.
Win mengangguk dengan senyumannya yang begitu mirip seekor kelinci.
Rumah sakit ini ada tepat di samping universitasnya, bisa di bilang masih satu yayasan. Selain universitasnya terbaik di Asia, rumah sakit ini pun masuk salah satunya. Tidak jarang pemerintahan Thailand selalu membawa orang-orang yang membutuhkan pertolongan ke tempat ini.
"Umm ... Win makasih ya udah bantu aku sama Arthit."
Win melirik wanita yang lebih pendek darinya berjalan dengan pandangan lurus kedepan. "Santai aja kali, lagipula aku harusnya berterima kasih ke kamu dan Arthit mau berteman denganku."
"Huh? Apa kau korban bully!"
Win terkekeh mendengar ucapan spontan sang wanita. "Bukan seperti itu, aku justru kasian jika ada seseorang yang ingin berteman denganku."
"Mengapa begitu?"
"Duduk di kursi taman itu yuk," ajaknya berjalan lebih dulu membuat sang wanita mengikutinya.
Win adalah pria tinggi, dengan kulit selembut kapas berwana putih, garis wajah yang lembut membuat dirinya terlihat manis, badan atletis dengan punggung lebarnya, bersamaan sepasang hazel coklat miliknya yang begitu teduh jika memandang.
Mereka berdua sudah duduk di kursi taman. Menatap langit dengan pikiran masing-masing.
"Ace aku harap kamu berhasil memecahkan masalah ini," imbuh Win dalam keheningan.
"Aku berharap seperti itu."
"Haha lucu bukan. Aku hanya melihatmu di foto dengan Arthit, lalu saat ini di pertemuan pertama kita terasa sudah berteman sangat lama."
"Kamu benar! Apa kamu mau bergabung denganku?"
"Huh?"
"Umm ... Bergabung dengan D.I.D, lagipula kau juga membantu kami saat di Indonesia."
"Aish ... Jangan berlebihan, aku tidak melakukan apa-apa."
"Jika kau butuh sesuatu bilang saja, aku akan membantumu."
Pria itu terdiam menatap Ace setelah mendengar ucapan sang wanita, lawan bicaranya mulai memindahkan kedua netranya untuk menatap sosok disampingnya yang mulai berdiam tanpa suara.
Win tetap menatap Ace dengan air muka yang sulit di artikan. "Apa benar kau akan membantuku?"
"Emm ... Katakan apa Win?"
"Jadi— "
- 0 -
Clekk!
Pintu ruang perawatan terbuka, menampilkan sosok pria dengan wajah manis masuk sembari tersenyum melihat seniornya tertidur di sisi bangsal.
Operasi yang menegangkan bisa terlewati oleh kecepatan tangan seniornya dan teman barunya di Thailand bernama Kao.
Ia masih terbayang bagaimana keduanya memperlihatkan kelihaian jarinya pada alat-alat intstrumen bedah sebelumnya. Terlihat seperti sepasang jari dari dua orang yang sedang melakukan kolaborasi musik piano, menghasilkan pemandangan dan suara musik yang indah.
Malam itu seperti itulah yang dia rasa.
Ia berjalan ke arah infus di samping bangsal Karin. Dia berpikir wanita macam apa yang sedang tertidur di atas bangsal ini, karena berani dan dapat menahan sakit dari tembakan senjata.
Pria yang sedang tertidur terbangun karena merasa ada pergerakan di sekitaranya. Membiaskan pandangannya sejenak sembari meregangkan tubuh kekarnya.
"M-maaf dok, terganggu ya."
"Nggak-nggak kok, kau sedang apa?"
"Aku sedang memberikan antibiotik amoksilin dok, untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder."
Kay mengangguk mengerti, melirik gadis di hadapannya yang masih memejamkan mata dengan anggun.
"Fluke jam berapa sekarang?"
Orang yang di tanya melirik arloji di lengan kirinya. "Baru jam 6 pagi dok, dokter ingin sarapan apa?"
"Kau assiten dokter bukan assiten pribadi saya!" ucapnya kesal.
Fluke terkekeh mendengar omelan sang senior, meskipun awal pertemuannya tidak menyenangkan tapi dirinya sangat bersyukur di pertemukan dengan Dokter Kay.
"Aku ingin membeli sarapan, jadi sekalian saja," jelasnya.
"Emm ... Baiklah. Belikan untuk yang lainnya juga. Kartu AMEX saya masih di kamukan, pakailah itu," titahnya.
"Baik dok"
"Apa kau tahu ruangan dokter Gulf? Saya ingin meminjam lokernya untuk mandi."
"Aku tahu dok. Mari saya antar."
Sang junior berjalan lebih dulu membukakan pintu untuk seniornya, si senior mendecih pasrah harus berkata apa lagi pada assitennya ini yang selalu memperlakukan dirinya seperti seorang tuan.
Kepergian Kay dan Fluke di perhatikan oleh seseorang dari balik dinding. Tampilannya serba hitam menggunakan masker juga topi, membuat siapapun sulit mengenali wajahnya.
Ketika hendak memegang gagang pintu ruangan Karin, gerakannya terhenti karena seseorang memegang pundaknya.
"Kakak mau ngapain kesini?"
MD yang baru saja tiba di rumah sakit tidak sengaja melihat sosok kakaknya dan mengikutinya dalam diam. "A-aku ingin melihat Karin," jelasnya.
"Untuk apa? Bukankah kakak yang membuatnya seperti ini!"
"Dek, ini bukan tujuan kakak. Maafkan kakak, aku ingin melihat adik kecil perempuanku," ucapnya lembut membuat MD membenci dirinya karena selalu luluh oleh kakaknya.
Max mendorong pintu tersebut, masuk bersama adiknya. Pandangan di depannya terlihat sang adik kecilnya sudah membuka matanya.
"Dek, kamu udah sadar?" ujar Max berjalan mendekati adiknya.
"Emm ... Sudah dari tadi kak, hanya aku tertidur barusan."
"Gimana kamu sekarang, sudah lebih baik bukan?" tanya MD memeriksa infus dan history report tepat di atas bangsal adiknya.
Sebenarnya ia ingin sekali masuk ke ruangan operasi menyelamatkan sang adik, tapi ia harus mengakui kemampuan dirinya masih jauh dari Milly dan juga Arthit yang membuat dirinya terkagum seorang diri.
"Aku udah lebih baik, walaupun sebelumnya rasanya seperti ingin mati," sindirnya pada kakak tertuanya.
Objek yang di maksud hanya menunjukan wajah penyesalannya. "Maafkan kakak," ungkapnya begitu tulus.
"Apa kakak nggak bisa berhenti aja?"
"Lihatlah, kak! Bukan hanya diriku. Bahkan Karin menginginkan kau berhenti," sambung MD.
"Aku tidak bisa. Jika aku berhenti kalian yang akan tidak aman oleh kelompok kakak!"
"Kenapa?"
"Kakak sudah terlanjur masuk ke dalam lubang ini, dan tidak bisa keluar begitu saja. Taruhannya nyawa keluarga kakak."
Kedua adiknya saling melempar pandangan terkejut, pantas saja kakaknya tetap melanjutkan aksi gilanya. Sebenarnya ia berkerja sama dengan manusia seperti apa.
"Apa kalian bisa berhenti cukup sampai disini saja, nggak usah ikut lagi dengan mereka?" mohonnya dengan tatapan mata penuh harap.
"Nggak bisa kak!" sahut Karin cepat. "Aku berhutang budi pada seseorang yang rela menyelamatkanku dengan mengorbankan nyawanya. Jika itu mau kakak, ayo kita bertarung," desis sang adik menatap tajam Max.
"Aku mohon, aku berkata seperti ini sebagai kakak. Aku harap kalian mengerti," tutupnya lalu meninggalkan ruangan.
MD berpamitan dan mencium kening karin, ia hendak mengejar kakaknya terlebih dahulu saat ini.
Mereka tidak sadar, dari tadi ada seseorang yang memperhatikannya dengan tatapan yang tidak bisa di artikan.
....
Ruangan Karin yang tampak sepi sebelumnya, saat ini begitu ramai dan begitu beringsik, sehingga Kao harus menegurnya beberapa kali.
Sebenarnya, sosok satu bernama Chimon saja sudah membuat keadaan jadi ribut. Sialnya ... Anak yang bernama Herma dan Fluke, keduanya memiliki tingkat ke-absurd-an yang sama dengan Chimon. Hasilnya mereka bertiga lah yang ribut dengan obrolan yang tidak jelas.
Gulf hanya tertawa dengan Ace, pandangan di depannya seperti sebuah hiburan. Kao saja yang sangat kaku tidak bisa diajak bercanda sama sekali.
"Duh, gue pusing lama-lama disini!" keluh Chimon mendudukan dirinya pada sofa.
"Kenapa?" Fluke ikut duduk karena lelah tertawa.
"Satu ruangan penuh cowok ganteng, buat kepala gue pusing liatnya."
Alasan Chimon membuat semua orang tidak bisa menahan tawanya, anak itu benar-benar se-random itu rupanya. Karin sudah ingin sekali mengeluarkan sumpah serapahnya, namun tubuhnya masih merasakan nyeri.
Diam-diam Kao menarik bibirnya tipis, siapapun yang melihatnya tidak akan ada yang mengetahuinya.
"Emm ... Semuanya makasihnya."
Suara Karin menghentikan keributan di ruangan tersebut, semua tersenyum hangat ke arahnya. MD benar-benar bersyukur bertemu mereka, suasana seperti ini-lah yang ia rindukan bersama keluarga termasuk kakaknya.
"Kita sekarang teman rin, jadi jangan sungkan seperti itu," ujar Ace sedikit menenangkannya.
"Gue mau kasih tahu hal besar, bisa kita bicarain sekarang?"
Orang-orang tersebut saling melempar pandangan satu sama lain dan mengangguk untuk mempersilakan.
"Kalian pasti sudah tahu, jika kelompok ini memiliki sebuah tato berbentuk 'love' di tubuhnya berwarna navy," ucapnya melirik orang-orang di sekitarnya. Karin merasa mereka semua sudah mengetahuinya. "Akan ada pertemuan besar dalam waktu dekat ini di bulan juni tanggal 10," sambungnya.
"Dimana?"
"Tepat di bagian selatan Thailand."
Semua orang mulai mengerutkan dahi, sudah di duga jika sosok musuh yang Ace bawa kali ini bisa di jadikan kunci memecahkan akar masalah ini.
"Apa kalian merasa musuh selalu menyerang kalian dari arah timur?" ungkap Karin membulatkan mata banyak pasang mata.
Kenapa hal ini tidak pernah mereka sadari, memang benar musuh dalam aksi kejar-kejaran di jalananpun selalu dari arah timur mulainya.
"Kak Max orang pertama yang memegang Asia Tenggara, khususnya Indo-Thai. Tapi ada dua orang lagi yang gue nggak tahu, tapi itu adalah tangan kanan kakak."
"Bagaimana kita bisa mengetahui dua orang itu?" tanya Arthtit yang terlihat memegang Ipad.
"Gue awalnya nggak tahu, tapi kalau lo mau nemuin mereka. Lo harus dapetin kakak gue dulu!"
"Bisa di jelaskan lebih spesifik lagi?"
"Gue lihat kakak memiliki tato sebuah kompas menunjuk arah timur dengan angka 106 dan 49. Tapi gue nggak ngerti maksudnya."
"Umm ... Gue juga lihat itu dek, kakak pikir itu cuman iseng," tambah MD.
Semua orang mulai berpikir dalam imajinasinya masing-masing. "Baiklah, yang jelas kita harus mempersiapkan diri untuk datang ke pertemuan besar tersebut!" ujar Kao memecah keheningan masing-masing orang.
"Tunggu dulu!" potong Arthit membuat atensi semua orang beralih padanya.
"Arthit apa lo berpikir sama kaya gue?" sahut Ace menambah ketegangan di ruangan tersebut.
"Pathcode," ucap keduanya secara bersamaan.
"H-hah gimana? Kok bisa."—Chimon
"Coba jelaskan"—Kao
"Tunggulah sabar!"—Gulf.
Ace yang melihat itu terkekeh, kenapa ketiga orang ini selalu membuat moodboster di pertemuan D.I.D.
"Pertemuan besar ini rutin di lakukan pada tanggal tersebutkah rin?"
"Umm ... Benar."
"Entah ini pikiran gue aja atau benar memang adanya seperti itu. Pertemuan besar itu jika kita buat sebuah angka menjadi 06, 10 dan letaknya di selatan," ungkap Ace terlihat sedikit berpikir di raut wajahnya.
"Ace lo sama kaya yang gue pikirin, terus tato kak Max adalah sebuah kompas dengan arah ke timur. Terdapat angka 106 dan 49," tambah Arthit.
Di dalam keseriusan tersebut, suara lain berucap dengan sangat pelan namun tepat sasaran. "Apakah garis lintang," lirih Fluke tapi ia seperti bergumam untuk dirinya sendiri.
"Benar sekali! 06° 10' S 106° 49' E," jelas Arthit menatap Ace dengan yakin.
"Itu garis lintang Indonesia tepatnya, Jakarta!" tegas Ace menyakinkan semua orang.
"Kita sudah melakukan hal yang benar, jadi untuk memecahkan ini semua kita harus mengumpulkan masing-masing angka pada pelaku," sahut Arthit kembali dan menatap satu persatu rekannya, "karena jika kita berhasil menemukan potongan angka dan arah mata angin. Kita dapat mengetahui dimana saja negara yang selanjutnya harus kita datangin."
Hanya satu orang yang menatap Arthit dan Ace secara begantian dengan pandangan tidak mempercayai kejeniusan mereka. Kao ... Ia seperti ayah yang sedang melihat anak-anaknya berkembang dengan baik.
D.I.D lebih menakukatkan dari TY, pikirnya!
"Eh?"
Orang-orang yang masih melayang dengan pikirannya, saat ini menatap Karin yang tiba-tiba saja bersuara.
"Ada yang sakit?" tanya Kay sembari memindai tubuh Karin.
"Gue denger ada gesekan ujung pedang dengan lantai."
"A-apa?"
Tak lama pintu ruangan VIP tersebut terbuka, menampilkan sosok yang di maksud Karin dengan memegang sebuah samurai di tangannya.
"A-AYAH!!" pekik anak D.I.D kecuali tim Indonesia.
Ayah Ten datang membawa samurai di tangannya bersama dua orang di belakangnya yaitu P'Tay dan Hia Boun.
"Aku datang kemari, untuk mengambil kepala seseorang yang telah menyembunyikam keadaan anakku," ketusnya.
Orang yang dimaksud sempat beberapa detik membulatkan matanya, namun ia segera berjalan ke sosok yang mencarinya.
Ace yang melihat itu berlari kecil dan menahan tubuh Kao. "Ayah apasih! Ini rumah sakit, ayah mau motong kepala orang di sini apa?"
"Dia adalah ayah Ace, tuan besar Ace Group," jelas Chimon.
"APA?!" pekik mereka bersama.
Ayah Ten mengalihkan atensinya kepada kelompok orang yang berteriak sebelumnya, di samping kelompok itu ada sang menantu yang memberikan senyum manis.
"Selamat datang di Thailand," ungkap ayah Ten. "I-iya om senang bertemu dengan om," jawab mereka bersamaan dengan air muka ketakutan.
Siapa yang tidak mengenal ayah Ten ... Apalagi di lingkaran mafia, pasti mereka sangat mengetahuinya dan takut.
"Ayah ngapain sih bawa samurai segala?" Ace kembali menanyakan topik kenapa ayahnya datang ke rumah sakit.
"Apa kamu tidak merasa bersalah pada, ayah ?"
"A-aku bu— "
"Ayah tahu semuanya, di diamkan malah makin jadi kamu ini ya!"
"Maafkan aku yah, ini juga bukan salah kak Kao. Aku yang memintanya," lirihnya mejelaskan keadaan.
"Ya mau bagaimana lagi, kamu anak ayah. Udah di pastikan darah ayah mengalir pada tubuhmu! Mau ayah larang gimanapun, kamu nggak peduli. Ayahpun tahu kamu ikut bela diri dari SMA, padahal sudah ayah larang."
"H-hhah?"
"Ayah kemari hanya mau bilang, kamu jangan pernah sembuyiin apapun dari ayah itu percuma. Ayah biarkan semua rencana gilamu, ini memang sudah waktunya kamu bergerak karena selama ini di kejar mereka terus. Tay dan Boun siap membantu misi kamu," jelas ayahnya panjang lebar.
Ace berlari kecil memeluk ayahnya, ia tidak tahu jika ayahnya bisa mengerti keputusannya saat ini. "Ayah maafin aku, makasih juga yah," ungkapnya dan mendapat balasan pelukan dari ayah Ten.
"Ayah bilang dari awal, kalau kamu itu istimewa, kamu bukan wanita biasa. Memang naluri ayah senang berkelahi turun kepadamu."
Orang-orang yang melihat itu tersenyum hangat, apalagi MD dan Karin yang sedikit cemburu dengan pandangan di depannya.
"Tapi ayah ingin memotong kepala Kao anak yang sudah berbohong pada ayah!" ketusnya dengan tatapan tajam.
Gulf tidak bisa menahan gelinya terhadap sang mertua, ia tertawa terbahak-bahak yang berakhir mendapatkan tatapan aneh dari orang sekitar. Kao mendelik tajam pada sang adik tersebut.
"O-o ... O-ohooo lihatlah, berani sekali kau menatap menantuku seperti itu!"
Kao tersadar sedang di perhatikan lalu mengarahkan pandangannya pada lantai rumah sakit. "Ayah cepat potong kepala Kao, aku sudah tak tahan ingin melihatnya," kekeh Gulf yang masih belum berhenti.
"Gupi!! Apasih kamu ikut-ikutan ayah bukannya bantuin," kesal Ace yang tidak di pedulikan sang suami.
"Maafkan aku ayah," lirih Kao pada akhirnya.
"Emm ... Ayah maafkan karena kau tidak lupa memanggilku 'ayah', lain kali akan ku potong kepalamu kalau membuat putriku di culik kembali."
Kao sedikit tersenyum lega, dirinya sedang di buat badut oleh sang adik yang saat ini masih tertawa tanpa henti. Ia akan membalasnya saat tidak ada ayah, sekarang dia tidak bisa menghajar adik kecilnya yang nakal itu.
Ace memeluk erat sang ayah, orang-orang terkekeh melihat momen tersebut. Namun tidak untuk Chimon, pandangannya begitu sangat ketara jika dirinya sedang berimajinasi aneh-aneh.
"Chimon!! Apa kau ingin di pelukku juga?" ungkap ayah Ten membuat tawa di ruangan itu semakin menjadi.
"A-aku tidak ayah!!!"
"Kemarilah," panggil ayah Ten melepaskan pelukan putrinya, dan berganti memeluk teman baik anaknya tersebut.
Untuk saat ini, mereka harus beristirahat dari kekejaman dunia di luar ruangan tersebut. Setidaknya mereka jangan sampai melupakan, jika kebahagian hidupnya adalah prioritasnya.
"Gue besok bawa Win ketemu kalian ya."
"Huh?"
....
Bersambung, 18 February 2021 - 09.04 WIB
Universitas Udayana, Pudji Rahardjo, 2016."Vulnus Sclopetorum Pada Anjing Lokal"
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/f5a15ec34f5bb26340d5f04b7321acd3.pdf