"Apa-apaan ini?!"
Tama melempar paket online yang telah terkoyak setengahnya. Kuintip dari sikap tegakku di depan meja kerjanya. Di atas lakban coklat kuning itu tertulis di sana nama pemesan, Amna Arisa, dengan helaian kain mukena anak berwarna biru motif Elsa, menjuntai keluar.
"Ini paket saya, Pak," kilahku. "Untuk ponakan saya."
Faktanya, itu adalah paketku yang akan kuhadiahkan untuk Raniya. Berkali-kali anak itu mematung di depanku, mengamatiku melakukan gerakan sholat selama lima waktu seharian kemarin. Usai salam, dia bertanya dimana aku membeli mukena putihku. Diantara baju anak mahal yang berjajar di ruang wardrobe-nya, tak ada satu lipatan pun kain bernama mukena. Lantas, kutunjukkan salah satu toko online dari ponsel, tadi pagi. Dan kami memesannya bersama, sebelum ia mandi. Di kamar mandi. Di jacuzzi besar miliknya.Tempat dimana tak ada kamera pengintai dan penyadap suara. Satu-satunya tempat ternyaman untukku, kelak akan mengajarinya hal-hal baik. Agar bocah itu bertobat, layaknya Bunda dulu membuatku bertobat dari kenakalan, yang merupakan salah satu kedokku menyita perhatian Ayah waktu itu.
Tubuh kekar Tama dengan tampilan jas slimfit suit hitam mahal, maju. Langkahnya terus mengayun. Tak berhenti, meski telah mencapai posisiku berdiri. Terus, dan terus. Aku mundur, menghindar. Ia memojokkanku ke dinding. Manik hitamnya menyorot tajam pada kedua mataku. Perlukah aku membalasnya? Atau ... ? Akhirnya, aku berpaling.
"Liat saya!" perintahnya lirih, namun mendominasi. "Sandra. Kamu keluar!"
Sandra yang sejak tadi berdiri di belakang meja Tama dengan setelan marunnya, kudengar berdecak lantas menurut pada titah sang pimpinan.
Pintu tertutup sempurna.
"Kamu kira saya suka pembohong?!"
Aku bergeming.
"Kamu udah tau 'kan? Di belakang lemari belajar Raniya?" Salah satu sudut bibirnya naik. Tersenyum mengejek. "Mustahil kamu gak cek apapun. Mustahil orang pilihan saya untuk Raniya, yang sejak siang kemarin banyak bicara, mendadak menjadi hati-hati tadi pagi."
Ujung jemariku mendingin. Dia tahu, bahwa kami sudah memergoki lokasi dimana dia menempelkan penyadapnya. Aku teledor soal itu. Gara-gara Raden. Fokus pikiranku semalaman adalah hanya merenungkannya. Bagaimana meminta maaf, memohon padanya untuk tidak membocorkan pada Ayah, pun mengacaukan misiku kali ini. Otakku bercabang ke dua arah. Beruntungnya, semalam dia mengingatkanku.
Kutelan ludah, menguatkan otot mataku, menatap tajamnya manik Tama yang hanya beberapa centi di depanku.
"Semua yang kamu ajarkan ke Raniya, di kamar, atau di kamar mandi, saya tidak terima." Jantungku hampir lepas. Apa ia juga menyelipkan penyadap itu di kamar mandi?
"Jangan sok peduli dengan anak saya!"
Aku mengangguk cepat. Berkali-kali. Pada akhirnya, Tama mundur, setelah aku mengaku menyerah. Masa bodoh. Itu anaknya. Aku takkan peduli. Misiku hanya mendekati Raniya, mendapat informasi yang kubutuhkan, lantas mengungkap rahasia gelap Wiyatama pada klien kami, dan membereskannya.
"Maafkan saya, Pak," ucapku tertunduk.
"Sekarang! Buang paket itu!"
---------------
Berjalan ke kamar, Raden penasaran apa yang terjadi padaku. Namun, aku diam saja. Ia akhirnya menghela nafas berat, saat aku begitu saja melewatinya, yang berjaga di depan pintu.
Aku mengubah ekspresi seketika. Bersuka cita masuk menemui Raniya. Demi misiku. Ya, demi misi seorang Amna Arisa! Lenyapkan perasaan kasihan itu!
Kubuka handle pintu. "Awww!" Sontak sebuah bola tenis meluncur dari ketapel raksasa di ujung sana. Raden mendadak sudah di belakangku. Menyusul dengan wajah panik. Hanya satu detik. Panik itu kemudian berubah menjadi bahakan keras memecah keheningan.
"Rasain lo!"
"Sial lo! Keluar sana!"
"Oke oke. Gue keluar," jawabnya terbata di tengah bahakan. "Aww!" Aku terkesiap. Saat berbalik kulihat Raden ... ingin rasanya kubalas dan mengucap 'rasain lo!'
"Yes! Tepat sasaran!!" pekik Raniya melompat-lompat dari atas ranjang.
Raden memelototiku, sembari mengusap belakang kepalanya. Rautnya dingin. Aku angkat tangan. Mulutku menahan tawa. Bukan aku. Tapi Raniya lah yang melempar kepalanya dengan bola serupa. Seketika, raut Raden berubah hangat, begitu tahu siapa pelakunya.
"Rani Sayang. Masa Kakak Raden dilempar bola sih? Katanya ganteng?"
Cih! Jijik sekali mendengar rayuan Raden pada Raniya. Macam playboy cap kampung kurang belaian istri. Tapi kupikir-pikir, dia memang kurang belaian. Baru mau kubelai sebelum kami berpisah kemarin. Bukan karena aku tidak mau. Tapi 'kan dia yang menolak sejak awal kami menikah.
"Biar adil. Weeekk!" Aku terkikik, saat Raniya menjulurkan lidahnya pada Raden. Rasakan! Dia pikir dengan ketampanannya itu, sudah mampu untuk menaklukkan segala jenis wanita seisi dunia? Pada bocah kelas 3 SD saja, tidak mempan. Hahaha ...
"Raniya, udah mau bobok?"
Kini, waktunya Raniya tidur siang, sepulang dari sekolah. Mungkin tadi Bi Sumi lah yang menggantikan bajunya, sekalian menyuapi makan siang. Ia sudah memasang selimut tebalnya. Kuatur mesin pendingin ke suhu normal ruangan. Lembang menurutku tetap terasa dingin, meski di siang hari.
"Raniya mau Mba Amna bacain dongeng lagi nggak?" Aku menyebelahi Raniya, di sisi ranjang satunya. Mengusap rambut pendek sebahunya yang berponi. Mirip dengan tampilanku kini. Ia mengangguk setuju. Aku mendekat ke telinganya. Berbisik, "Mmm ... tapi baca do'a dulu ya? Tapi jangan keras-keras. Suara kecil aja Allah bisa denger."
Lantas, dia berdoa dengan sangat ... amat ... lirih. Agar Allah mendengar do'a tulusnya, juga agar sang pengintai tak lagi bisa menguping ketulusan anak ini.
----------
"Mba Amna, paket mukena Elsanya Rani, kok belum sampe?" ucap Raniya polos di meja makan utama. Tama yang duduk di ujung meja lonjong panjang itu, menghentikan gerakan tangannya. Dengan sendok masih dalam genggaman. Tama mengeraskan rahang. Ini di luar kendaliku. Juga di luar kendalinya.
Aku tak punya kuasa membekap mulut anak ini di depan Papanya. Agar tak perlu berbicara lebih panjang lagi. Kutengok Raden di sebelahku. Bagi orang lain mungkin ia tak terlihat bereaksi. Namun bagiku, ia sedang tersenyum sangat tipis di ujung bibirnya.
"Katanya pake kilat super spesial? Sore harusnya sampe 'kan?"
Aku meringis. Dan mengangguk. Itu saja.
"Nanti Papa beliin mukena yang bagusan ya, Raniya?"
Aku berdecih. Tadi saja, ia tak mau aku mempengaruhi anaknya. Lantas sekarang, ia juga tak mau kalah agar terlihat perhatian pada anak semata wayangnya.
"Papa beliin! Mba Amna juga beliin!"
Ish! Anak ini.
"Paketnya udah datang, Rani. Tapi rusak. Jadi Mba Amna buang." Aku memberinya pemahaman.
Tersentak.
Raniya tiba-tiba membuang sendoknya ke arahku. Dia marah. Mewek. Lantas, menangis keras. Apa yang harus kulakukan? Aku diam saja. Ada Papanya di sini. Tama ternyata juga diam saja. Bujukan Bi Sumi tidak efektif. Raden maju menghampiri. Raniya tetap menangis. Rayuan lelaki yang konon mirip artis Korea itu, gagal total. Aku menatap Tama lagi. Tanganku gatal entah mengapa ingin berlari memeluk anak itu. Salahku. Dia kesal karena salahku yang bagai memberi harapan palsu padanya tadi pagi. Niat kami, saat sore mukena itu sampai, kami akan sholat Maghrib berjama'ah.
Belum jadi aku maju, Raniya berlari ke arahku. Memukul-mukul kakiku.
"Cari! Cariin di tempat sampah!" teriaknya keras. Acara makan malam papa-anak malam ini pun rusak, gara-gara ulah dominasi sang Papa.
Aku bersimpuh. Mensejajari tinggi Raniya. Kupeluk erat anak kurang kasih sayang itu. Anak bergelimang harta, yang sedang meronta-ronta hanya karena mukena murah yang kupilihkan di sebuah marketplace terpopuler di Indonesia.
"Maaf. Ntar Mba Amna belikan lagi ya?"
"Cari! Rani mau sekarang! Cari!"
"Lo buang dimana? Gue cariin," tanya Raden. Raden seketika menuju pintu keluar.
Astaga. Bagaimana ini? Aku melihat Tama. Memohon persetujuan. Dia mendengus tak memberi jawaban. Kutatap balik Raniya. Mukanya memelas. Pilu sekali raut anak ini.
"Yaudah, kita ambil yuk?"
Aku berdiri. Masa bodoh. Sudah terlanjur basah. Kuberanikan diri menggendong tubuh berat bocah ini. Menyusul Raden. Kudengar sendok berdenting keras di belakangku. Tama marah kah? Aku bersikukuh tak menoleh ke belakang. Saat hampir mencapai pintu, tiba-tiba saja, Raniya sudah diambil cepat oleh tubuh kekar Papanya. Berpindah ke dekapannya. Disangganya Raniya dengan tangan kiri. Tubuh berbalut kemeja biru langit yang masih terlihat cukup formal itu, berjalan mendahuluiku. Dia menoleh ke belakang. Melihatku entah ekspresi apa itu. Aku tak bisa menebak. Dan satu hal lagi yang membuatku harus makin awas dengan sikapnya adalah, dia mengambil tangan kiriku. Lantas, menggenggamku keluar. Ikut bersamanya.
Sial! Apa maksudnya ini?
----------
🙈🙈🙈🙈🙈
Tutup mata Aryaaaaa! 😂😂