Andini tampak antusias saat Adnan menyetel sebuah film di televisi, sedangkan Andini saat ini sedang duduk di sofa, menunggu film itu dimulai. Setelah semuanya sudah siap, Adnan juga duduk di sofa, bedanya tidak di tempat yang sama dengan istri sahabatnya tersebut.
"Kamu sudah pernah menonton film ini? Setahun yang lalu, film ini dirilis, dan ratingnya cukup bagus." Adnan bertanya, namun Andini langsung menggelenginya.
"Belum pernah. Jujur, aku tidak pernah menonton film semenjak sikap Rio berubah, jadi aku kurang tahu perkembangan film saat ini seperti apa." Andini menjawab jujur sembari berusaha tersenyum, yang lagi-lagi sangat disesali oleh Adnan. Sebagai lelaki, tentu saja Adnan merasa marah dengan sikap sahabatnya karena telah menyakiti istri sebaik Andini. Namun lagi-lagi, tidak ada yang bisa ia lakukan untuk saat ini, karena rencananya adalah menghancurkan Rio di akhir cerita mereka.
"Begitu ya? Tapi, akan lebih baik kalau kamu keluar rumah dan menikmati hidup kamu sendiri, tanpa harus menunggu Rio mengajak kamu pergi."
"Aku tidak berharap Rio mengajakku pergi, dia hanya tidak mau aku keluar rumah untuk sesuatu yang kurang penting. Tapi bukan berarti aku harus tetap berada di rumah, sebenarnya aku bisa keluar, tapi saat aku belanja bulanan atau saat membeli bahan makanan." Andini menceritakan hidupnya yang menurutnya kurang menarik dan bahkan terdengar membosankan.
"Seharusnya aku tidak menceritakan ini ke kamu, apalagi kamu dan Rio itu bersahabat, tapi terkadang aku sendiri bingung, harus menceritakan ini ke siapa, aku terlalu kesepian. Maafkan aku," ujar Andini merasa bersalah, ia bahkan menghela nafas panjangnya beberapa kali untuk menenangkan perasaannya mudah sekali bersedih.
"Tidak apa-apa, kamu bisa menceritakan apapun, bahkan tentang keburukan Rio sekalipun. Aku dan Rio memang bersahabat baik, tapi bukan berarti aku harus mendukung sikapnya. Karena dilihat dari kaca mata siapapun, tidak seharusnya Rio memperlakukan kamu seperti ini." Adnan menjawab tulus yang seketika membuat Andini merasa lega dan bahkan tersenyum tenang.
"Terima kasih."
"Iya. Lihat, sepertinya filmnya akan dimulai." Adnan menunjuk ke arah televisi yang diangguki mengerti oleh Andini, yang tampak berusaha untuk tetap tenang terlihat dari caranya menghembuskan nafas panjangnya beberapa kali.
Perasaan tak nyaman itu nyatanya tak lama, karena pada akhirnya Andini bisa tertawa setelah filmnya diputar dan menunjukkan beberapa adegan yang menurutnya sangat lucu. Begitupun dengan Adnan, ia juga beberapa kali tertawa melihat filmnya, padahal ia sudah pernah melihatnya.
"Sebentar lagi ada adegan yang menurutku sangat lucu, dulu aku hampir tidak bisa berhenti tertawa karena adegan di film itu." Adnan menunjuk layar televisi yang ditatap antusias oleh Andini.
"Oh ya?"
"Iya, kamu harus melihatnya!" Adnan tampak tak sabar adegan itu diperagakan oleh si tokoh utama, dan benar apa yang dikatakannya, Andini langsung tertawa lepas setelah melihat adegan yang Adnan maksud.
"Apa-apaan itu? Mana bisa begitu?" Andini masih tertawa melihat filmnya yang tampak tak masuk akal, namun mampu membuatnya terus tertawa, tangannya bahkan menyentuh perutnya yang terasa kaku, saking banyaknya ia tertawa kali ini.
"Iya kan? Adegan itu memang lucu."
"Iya sih, padahal kan kurang masuk akal ya?" Andini menjawab dengan nada yang sedikit lebih tenang sekarang, ia berusaha menahan tawanya yang hampir tidak bisa berhenti sedari tadi.
"Iya, tapi itu yang membuatnya lucu." Mendengar itu, Andini mengangguk setuju dan kembali menonton film tersebut. Sampai saat Andini terdiam setelah mendengar sesuatu, begitupun dengan Adnan yang turut terdiam sekarang.
"Ada suara ya?" tanya Adnan memastikan yang diangguki oleh Andini. Melihat jawaban Andini, dengan cepat Adnan mematikan film yang diputarnya, ia takut yang bersuara itu sahabatnya, bisa gawat kalau ia sampai ketahuan menonton film dengan istrinya.
"Itu pasti Rio, jadi aku matikan filmnya." Adnan berujar ke arah Andini seolah ingin menjawab arti dari tatapan tanyanya.
"ANDINI," teriak Rio dari arah ruang tamu, nada suaranya juga terdengar mendayu, seolah sedang tidak sadar dengan apa yang sedang dia katakan. Namun yang Andini lakukan justru diam dan bungkam, ia tidak menjawab panggilan suaminya, tatapannya bahkan sempat kosong, membuat Adnan keheranan dengan apa yang sedang Andini pikirkan.
"CEPAT KELUAR DARI KAMAR, AKU MAU TIDUR DENGAN PACARKU." Suara Rio kian mendekat diiringi dengan kedatangannya yang saat ini sedang berjalan dengan seorang perempuan seksi bak jalang murahan.
"Rio," gumam Adnan tak percaya melihat kondisi sahabatnya, dan yang lebih membuatnya kecewa adalah sikapnya yang dengan mudahnya membawa perempuan lain ke rumahnya padahal ada istrinya di sana.
"Apa-apaan dia? Kurang ajar?!" Adnan mendirikan tubuhnya, berniat menghajar sahabatnya, saking tidak tahannya ia dengan sikapnya. Namun sebelum melaksanakan niatnya, Andini menahan tangannya hingga Adnan terjatuh dan duduk di depannya.
"Andini. Ada apa?"
"Tolong jangan melakukan apapun!" bisik Andini sembari menatap serius ke arah Adnan yang hanya bisa terdiam, tatapannya sempat terpanah oleh mata Andini yang tampak tak tenang.
"Sepertinya Rio sudah pergi ke kamar," ujar Andini setelah memastikan Rio sudah tidak ada di sana.
"Apa itu tadi?" tanya Adnan serius, tatapannya terus tertuju ke arah Andini, mencoba membaca apa yang sedang dipikirkannya sekarang.
"Seperti yang kamu lihat, Rio baru pulang." Andini menundukkan wajahnya tanpa bisa menatap ke arah Adnan yang tampak marah.
"Bukan itu. Kamu tahu suami kamu membawa perempuan lain dengan keadaan mabuk dan mereka juga masuk ke kamar. Tapi apa yang kamu lakukan? Kamu malah diam dan bahkan membiarkan mereka? Apa kamu masih waras?" Tanpa sadar, Adnan bersikap seolah pria yang tidak terima melihat wanita yang dicintainya itu disakiti, saking kesalnya ia melihat sikap Andini yang tampak pasrah.
"Aku bahkan hampir gila melihatnya." Andini tersenyum dengan mata yang sudah menangis, berusaha terlihat baik-baik saja nyatanya memang tidak mudah.
"Lalu kenapa kamu membiarkan mereka?"
"Memangnya aku harus bagaimana? Marah dan mengusir wanita itu? Lalu apa yang akan aku dapatkan? Penghinaan? Atau mungkin kekerasan? Aku sudah sering mendapatkannya, jadi untuk apa aku melakukan sesuatu yang justru akan semakin menyakitiku." Andini mengusap kasar pipinya, berusaha menghapus tangisnya, meski yang terjadi justru sebaliknya, Andini semakin menangis di tempatnya.
"Intinya, Rio sudah sering membawa wanita lain ke rumah dan mengajaknya bercinta, pemandangan seperti itu sudah hampir setiap malam aku melihatnya. Tidak ada yang bisa aku lakukan kecuali diam dan membiarkan mereka melakukan apapun yang mereka mau, aku cuma berusaha tidak peduli," ujar Andini lagi, namun matanya sudah sangat menggambarkan bagaimana hatinya sangat terluka kali ini.
"Seharusnya kamu meminta cerai ke Rio, kamu tidak pantas diperlakukan seperti ini, kamu berhak bahagia di luar sana."
"Andai semudah itu, mungkin sudah lama aku melakukannya." Andini tersenyum miris dengan sesekali menghembuskan nafas panjangnya, perasaannya sudah sedikit membaik setelah menceritakan kisahnya pada Adnan.
"Apa alasannya sampai kamu mau bertahan?" tanya Adnan, yang tidak ingin Andini jawab.
"Lebih baik kamu istirahat sekarang, aku akan tidur di sini."
"Mana mungkin aku meninggalkan kamu sendiri di sini? Sedangkan kamu sedang bersedih, aku jadi tidak yakin kamu benar-benar ingin beristirahat, kamu pasti akan melakukan hal buruk."
"Terima kasih sudah mengkhawatirkan aku, tapi ini bukan kali pertama Rio melakukan ini, dan selama itu juga aku tidak pernah melakukan hal buruk." Andini tersenyum lalu mengangkat kakinya di atas sofa.
"Istirahatlah, aku benar-benar tidak apa-apa." Andini kembali berujar setelah menatap Adnan yang tampak tidak memercayainya.
"Aku ke kamar dulu," ujar Adnan sembari mendirikan tubuhnya, sedangkan Andini hanya mengangguk lalu membaringkan tubuhnya di atas sofa, membiarkan Adnan pergi meninggalkannya.
Sepertinya malam sebelumnya, ia hanya bisa merenung dan berharap agar hidupnya bisa jauh lebih baik dari sekarang. Meski semua itu serasa mimpi untuknya, namun Andini tidak pernah berhenti mendoakannya.
***
Keesokan paginya, Andini membuka matanya setelah tersadar dari alam mimpinya. Dan seperti pagi biasanya, Andini membangunkan tubuhnya berniat mencuci muka lalu memasak makanan untuk suaminya. Namun saat Andini sudah di posisi duduk, ia justru baru sadar bila ternyata tubuhnya dibaluti selimut hangat, pantas saja ia tidak kedinginan tadi malam.
Andini berpikir, siapa yang memberinya selimut, karena seingatnya ia tidak mengambil apa-apa sebelum matanya benar-benar terlelap. Terlebih lagi selimut, yang harus diambil di kamarnya, di mana suaminya sedang bersama dengan wanita lain di ranjang mereka. Tentu saja, Andini tidak akan pernah berani melakukannya, meskipun tubuhnya membeku semalaman sekalipun.
"Adnan?" panggil Andini setelah sadar ada lelaki sedang tertidur di sofa yang tidak jauh dari tempatnya, lelaki itu meringkuk dengan tubuh kedinginan.
"Dia pasti yang memberiku selimut." Andini menyelimuti tubuh Adnan, ia tidak mengerti kenapa lelaki itu bisa tidur di sana. Padahal tadi malam dia sudah berpamitan untuk ke kamar. Andini pikir, Adnan akan beristirahat, namun nyatanya dia justru mengambil selimut untuk dipakaikan ke tubuhnya.
"Andini, kamu sudah bangun?" Merasa tubuhnya sedikit hangat, membuat Adnan terbangun dari mimpinya dan mendapati Andini berada di depannya.
"Aku pikir kamu pamit ke kamar untuk beristirahat, tapi kamu malah tidur di sini," ujar Andini merasa tak mengerti dengan jalan pemikiran lelaki itu.
"Kamu sedang bersedih, mana mungkin aku meninggalkan kamu sendiri di sini?" Adnan membangunkan tubuhnya yang belum sadar sepenuhnya.
"Terima kasih. Berarti kamu juga yang memberiku selimut?" tanya Andini yang diangguki oleh Adnan.
"Seharusnya kamu menyelimuti diri kamu sendiri, bukan malah menyelimutiku."
"Tidak apa-apa, aku tidak kedinginan kok."
"Kamu bahkan menggigil, mana mungkin kamu tidak kedinginan," jawab Andini terdengar jengah, yang dicengiri oleh Adnan kali ini.
"Aku tidak tahu, tapi sepertinya aku memang sedikit kedinginan ...." Adnan menjawab canggung, mengakui kelemahannya memang cukup sulit terutama di depan Andini, padahal ia sudah berusaha terlihat baik-baik, namun sayangnya tubuhnya serasa membeku semalaman.
"Kalau begitu aku cuci muka dulu, terus aku buatkan kamu teh hangat ya?"
"Iya, terima kasih." Adnan menjawab antusias, bibirnya tersenyum ke arah Andini yang melangkah pergi untuk menjauh.
Tadi malam, Adnan memang berpamitan untuk pergi ke kamar pada Andini, hanya untuk mengambil selimut. Setelah berhasil mendapatkannya, ia kembali turun ke lantai bawah dan mendapati Andini sudah terlelap dengan air matanya yang masih terus mengalir, bibirnya juga terisak semalam.
Adnan tidak mengerti seberapa menderitanya Andini selama ini, sampai saat tidur pun, dia menangis seolah sedang kesakitan di dalam dadanya. Adnan tidak bisa terus-terusan membiarkan hal ini berjalan lebih lama lagi, ia harus mendapatkan hati Andini lebih cepat sebelum menghancurkan Rio di dalam genggamannya.
Adnan menggenggam tangannya, mengepal kuat seolah ingin menghancurkan barang. Sampai saat seorang wanita turun dari tangga, seorang jalang yang Rio sewa untuk memenuhi nafsu bejatnya, namun bagi Adnan, wanita itu adalah alat yang Rio gunakan untuk menghancurkan hati Andini.
Wanita itu berjalan dengan bangganya dan bahkan menggodanya melalu kerlingan matanya, membuat Adnan muak terlihat dari wajah datarnya. Kalau boleh jujur, ia ingin sekali mencekik wanita itu dan mengatakan bila tidak seharusnya dia sepercaya diri itu atas tubuh murahnya.
Saat wanita itu sudah pergi, yang Adnan lakukan hanya menghela nafas panjang, lalu menyenderkan tubuhnya di sofa. Tak lama, Andini datang membawa satu gelas teh hangat dan berjalan ke arahnya.
"Ini tehnya, minumlah!"
"Terima kasih." Adnan menyeruput teh hangat itu, sedangkan Andini memerhatikannya dengan mata yang seolah sedang terluka.
"Ada apa?" tanya Adnan setelah meminum tehnya.
"Aku mau minta tolong ke kamu."
"Minta tolong apa?"
"Tolong jangan beritahu siapapun kalau Rio sering membawa perempuan lain ke rumah, terutama ke para karyawan yang bekerja di perusahaan Rio. Nama baik dia bisa buruk, aku tidak mau hal itu terjadi." Andini berujar serius yang tentu saja mendapatkan tatapan tak mengerti dari mata Adnan kali ini.
"Kenapa? Apa karena kamu masih mencintai suami kamu, jadi kamu berpikir bisa melindungi namanya?" tanya Adnan ke arah Andini yang terdiam, padahal semua karyawan yang berada di kantor Rio sudah tahu, bagaimana bejatnya kelakuan lelaki itu.
"Aku sendiri tidak tahu, aku masih mencintai Rio atau tidak? Tapi yang pasti, aku hanya tidak mau dia dicap buruk oleh orang lain."
"Kamu masih memedulikannya, padahal Rio sendiri tidak peduli dengan kondisi kamu apalagi perasaan kamu. Tapi ya sudahlah, kalau memang itu maumu, aku akan tetap diam." Adnan menjawab seadanya, ia hanya akan diam, namun bukan berarti ia tidak akan membalas apa yang sudah Rio lakukan.
"Terima kasih," ujar Andini tulus, yang hanya Adnan angguki meski sebenarnya otaknya berpikir keras untuk menyusun sebuah rencana.