✍🏻 Selamat Membaca.
Atmosfir dalam ruangan tempatnya terbaring tampak suram meski ruangan itu dominan dengan warna putih. Apalagi ada tatapan yang tak ingin ia lihat saat ini. Sayangnya, ia adalah pusat dari seluruh atensi lelaki yang merupakan sepupunya itu.
Pun Minho telah duduk di dekatnya, tapi tetap membiarkan Felix berbaring. Minho menghela nafas berat. Benang merah yang menghubungkan ia dengan sepupunya menjadi sangat rumit sekarang.
Namun, semua kekacauan yang ada harus di uraikan perlahan. Jadi meski terasa berat, Minho memulainya dengan menggenggam tangan adik sepupunya yang sedang tak menatap kearahnya.
"Fel, kakak mau bicarakan tentang anak didalam kandunganmu. Kamu mau, kan?" Suara Minho terdengar begitu tenang, begitu asing sebab terasa lebih lembut dan santun.
"Kakak gak perlu khawatir, Seungmin hanya berbohong pada kakak. Ini bukan anak kakak." Elaknya tanpa mencoba menatap mata elang milik sang kakak.
"Coba tatap kakak, Fel. Kalau memang dia bukan anak kakak, lalu anak siapa? Benar-benar anak, Changbin?" Felix hanya mengangguk masih tanpa menoleh sedikitpun. Masih terlalu takut jika pertahanannya runtuh saat menatap wajah Minho.
"Kakak.."
"Lebih baik kakak pulang, nanti pacar kakak khawatir. Masih ada Seungmin disini." Potong Felix saat Minho mencoba berbicara lagi padanya.
"Mana bisa. Kakak gak bisa ninggalin kamu dalam kondisi kayak gini. Kakak hanya akan merasa jadi kakak yang gak berguna." Felix beralih menatap ke arah Minho.
"Felix bukan anak kecil lagi kak, kakak gak perlu berlebihan.." ucapan Felix terhenti sebab ada kecup menenangkan di dahinya. Pun Minho memeluknya yang masih terbaring. Mengarahkan kepala yang lebih muda untuk ia dekap.
"Kakak tau Felix kuat. Tapi, sekuat apapun itu, kakak yang bertanggung jawab atas kamu, Fel. Orang tua kamu telah menitipkan kamu pada keluarga kakak, dan kakak seharusnya menjaga kamu."
"Tapi kakak gagal. Gagal membuatmu bahagia, dan justru mendatangkan sakit untukmu. Jangan bohong lagi, jujur pada kakak siapa ayah dari anakmu." Felix yang sejak tadi menangis kini mencengkram baju seragam yang Minho kenakan. Terisak begitu menyakitkan di telinganya.
"Kita salah kak, anak kita juga seharusnya gak ada. Felix gak mau ngebebanin kakak dengan anak ini. Malam itu kakak hanya tak sadar sebab terlalu frustasi. Kakak hanya.." Felix diam, tak berani bergerak barang sedikitpun. Kuncian pada bibirnya membungkam seluruh kata yang hendak keluar. Apalagi ia melihat buliran yang turut mengalir dari sudut netra Minho.
Sesak yang ia rasakan sebab lekat oleh labium sang kakak sepupu berupa ciuman sarat kata bersalah. Tapi siapa Felix yang hendak menolak seluruh afeksi yang diterima dengan baik oleh seluruh inderanya. Labiumnya menginginkan ini, ciuman yang sempat ia rasa kala dirinya dititipkan buah hasil hubungan frustasi sang kakak.
Minho tau, ia mengirimkan sinyal berupa ciuman yang penuh rasa bersalah. Berharap lawan aduan bibirnya tak mengerti maksud sesungguhnya.
Sayangnya Felix mengerti. Ia tau dan karena itu ia semakin memperdalam ciuman mereka. Menarik tengkuk Minho seolah tak ingin memberi ruang sedikitpun. Pun Minho tak akan menolaknya, ia berusaha mengatakan apa yang ia rasa lewat aduan mereka.
Hingga merasa semua yang ingin mereka sampaikan telah disampaikan, keduanya mengakhiri ciuman itu. Dan barulah Felix membalas pelukan Minho yang memang kembali memeluknya.
"Kakak akan bilang masalah ini ke keluarga kita. Dan kakak siap bertanggung jawab untuk kamu dan anak kita." Felix melonggarkan peluknya, menatap tak percaya pada Minho dan ucapannya.
"Gak perlu kak, mereka akan marah besar. Terus pacar kakak gimana? Felix gak mau jadi penghalang kebahagiaan kakak."
"Dan kakak gak mau melihat kamu gak bahagia, Felix." Felix terdiam, mungkin memang seharusnya begini. Meski ada rasa senang, tapi rasa takut lebih menghantui dirinya.
*****
Jisung sudah memutuskan, dia akan mengakui kebohongan mereka di depan ayah dan bundanya. Karena rasanya sangat canggung jika terus berdekatan dengan Hyunjin. Apalagi setelah malam panas yang mereka alami tanpa ia inginkan. Hingga saat ini, masih ada rasa ingin menguliti Hyunjin meski ia berkata sudah memaafkan lelaki itu.
Dan malam ini ia akan melakukannya bersama Hyunjin. Jisung hanya tinggal menunggu lelaki itu keluar dari kamarnya. Ia akan pergi bersama lelaki itu menuju rumah orang tuanya. Kebetulan ia pun rindu pada sang bunda.
Hyunjin keluar dari kamarnya tanpa menggunakan atribut sebagai wanita, memang sengaja melakukannya. Jisung yang tadinya duduk di ruang tengah, menghampiri Hyunjin dengan terburu-buru. Memang tak ingin berlama-lama berdekatan dengan lelaki itu.
Tapi akibat terburunya, Jisung tersandung kakinya sendiri. Jika saja reflek Hyunjin lambat, mungkin saat ini ia akan menghantam lantai. Tapi Hyunjin dengan refleknya yang bagus menangkap tubuhnya.
Terkejutnya Hyunjin tak sebanding dengan Jisung yang berpikir jika nasibnya harus berakhir di lantai. Menyadari jika ia tengah berada dalam dekap Hyunjin yang menolongnya membuat terkejutnya lebih hebat lagi. Dan ketika ia mendongakkan kepalanya, ia dapat melihat wajah Hyunjin yang juga menatapnya.
"Jisung, lo yakin mau ngelakuin ini?" Tatapan itu masih terus mencoba halau inginnya. Dan Jisung mengangguk untuk yang kesekian kalinya.
"Lo hobi banget kesandung." Ujar Hyunjin sembari membantu Jisung kembali berdiri dengan baik. Sedang Jisung yang mengingat beberapa potongan kecil di kepalanya hanya bisa terdiam. Ia menundukkan kepalanya dan kali ini, Jisung mempercepat langkahnya untuk keluar dari rumah mereka.
"Aneh banget." Ujar Hyunjin sebelum menyusul Jisung.
Saat di dalam mobil, Jisung masih tak berani menatap ke arah Hyunjin. Ia takut jika memori yang tiba-tiba terputar di kepalanya adalah saat ia bercinta dengan Hyunjin.
"Jisung, lo udah baikan?"
"Baikan gimana?"
"Sama Changbin. Malam itu kalian kenapa? Changbin sampe khawatir banget sama lo. Gue bisa bawa lo pulang juga karena dia." Jisung tertegun sejenak, kemudian menoleh pada Hyunjin. Ia memang belum cerita apapun pada Hyunjin tentang dirinya yang memutuskan hubungan dengan Changbin.
"Gue udah..." Jisung menghentikan kalimatnya, sebuah memori kembali terputar di kepalanya.
Jisung merangkak ke atas pangkuan Hyunjin. Membuat lelaki yang tengah menyetir itu harus menghentikan mobilnya. Dan tanpa izin dari si pemilik, Jisung mendaratkan labiumnya pada perpotongan leher lelaki itu. Hingga Jisung dengan beraninya membubuhi banyak kecupan sampai pada telinga Hyunjin.
"Hngh- sakit." Tanpa belas kasih pada Hyunjin yang terangsang oleh gerakan pinggulnya di atas pangkuan lelaki itu
"Ji- sshh lo ngapain.. jangan begini." Hyunjin berbicara sambil menahan gejolak dirinya yang terangsang akibat Jisung yang menggodanya.
"Bantuin gue-sshh Hyunjin."
Ronaan hampir memenuhi wajah Jisung, memori itu akhirnya terputar satu per satu di kepalanya. Dan rasanya sekarang, Jisung ingin mengubur dirinya dalam-dalam. Bagaimana mungkin dia yang menggoda Hyunjin yang bukan orang terkasihnya, padahal ia baru saja usai dengan sang mantan.
"Bego banget gue." Gumam Jisung. Sedang Hyunjin yang tak mendengarnya hanya fokus pada jalan mereka.
*****
Rasanya Jisung akan pasrah jika harus menerima hukuman dari ayahnya. Tatapan lelaki yang membuatnya menjadi ada di dunia itu memang tak sanggup membuatnya berkutik.
Di tambah lagi bundanya berada di sana. Pasti bundanya kecewa karena ia berbohong pada mereka. Tapi itu hanya perasaan Jisung saja, nyatanya tak demikian yang terjadi.
"Ayah, Jisung mau membuat pengakuan." Tuan Han mengetuk-ngetukkan jemarinya di atas pegangan sofa. Jangan sebut ia orang tua jika ia tak tau semua tentang anaknya. Ia hanya menunggu si anak jujur padanya.
"Katakan saja Jisung."
"Sebenarnya, Yeji menghilang saat pernikahan kami. Dan Hyunjin yang merupakan saudara kembar Yeji, menggantikan Yeji dengan menyamar sebagai dia. Maaf ayah, Jisung tak jujur sejak awal." Tuan Han menghela nafas berat.
"Jangan marah pada keluarga Hyunjin ayah, ini kesalahan Jisung karena memilih tidak ingin mengaku sejak lama." Lanjut Jisung, berharap sang ayah mengabulkan permintaannya. Hyunjin yang melihat Jisung tampak merasa bersalah pun memilih diam untuk sesaat. Rasanya tidak tega melihat sahabatnya itu tampak terpuruk.
"Tenang saja, ayah tidak akan menyalahkan mereka. Karena calon kamu sudah pulang ke rumah sekarang." Baik Jisung maupun Hyunjin tampak terkejut mendengarnya.
"Maksudnya ayah?"
"Yeji sudah kembali ke rumah, dan dia sudah setuju mau menikah denganmu." Jisung melihat ke arah bundanya seolah meminta penjelasan bahwa yang ia dengar salah. Namun bundanya pun hanya bisa diam dan membenarkan dengan anggukannya.
"Tapi kalian tidak harus buru-buru. Ayah akan membiarkan kalian saling mengenal terlebih dulu. Lalu, nanti saat libur tiba, baru kalian akan menikah." Jisung memejamkan mata dan menghela nafasnya berat.
"Apa memang harus Jisung menikah dengan orang yang sama sekali tidak Jisung cinta, ayah?" Air muka ayahnya tampak tak bersahabat.
"Kenapa? Kamu mau menolaknya lagi? Bukannya lelaki yang kamu cintai bahkan selalu menduakanmu? Jadi alasan apalagi yang bisa kamu pakai untuk menolak perjodohan ini, Jisung?" Jisung tertawa miris mengingat bagaimana saat ia kembali di duakan oleh seorang yang mendapatkan hatinya. Tapi yang lebih menyedihkan dari itu adalah, ia akan selalu di cengkeram oleh ayahnya. Ayahnya tau segala tentangnya bahkan hingga sesuatu yang menyakitkan untuknya.
"Ya, aku memang selalu di khianati. Bahkan oleh ibu kandungku sendiri. Dia meninggalkanku setelah menyadari bahwa aku memang anaknya. Bukan anak dari pengkhianatan suaminya."
Plak!
Rasa tamparan di pipi Jisung yang bahkan menyisakan bercak dan pecah yang membuat sudut bibirnya berdarah, tak sebanding dengan rasa sakit yang selama ini ia pendam. Sedang si pelaku penamparan yang tak lain adalah ayahnya sendiri tampak masih menatap penuh amarah padanya.
"Kenapa ayah? Apa aku bonekamu? Yang bisa diperlakukan sesuka hati? Ah, karena Jisung ini anak dari wanita yang mengganggu hubungan ayah dan lelaki itu?"
"Jisung!" Bundanya yang berteriak marah Jisung. Hingga Jisung pun menoleh pada bundanya, namun tatapan yang biasa lembut itu tak Jisung temukan disana.
"Bunda gak takut ayah masih.."
Sebuah tamparan lagi yang akan Jisung terima, tapi ia tak merasakan sakit sebab Hyunjin menahan tangan pelakunya. Ia menarik Jisung ke samping tubuhnya dengan tetap menahan tangan wanita yang selama ini Jisung elukan. Pun Jisung yang mengetahui bundanya hampir menamparnya, tak dapat mencegah air matanya yang hendak turun.
"Maaf Tuan dan Nyonya Han, tentang pernikahan yang kalian rencanakan silahkan rundingkan dengan keluarga saya. Saya permisi." Hyunjin menarik tangan Jisung dan membawanya keluar dari rumah keluarga lelaki yang masih diam dan menurutinya.
Sedang ayah dan bunda Jisung hanya diam melihat keduanya pergi.
*****
Menatap kosong pada ruang yang biasa ia tempati bersama kekasihnya. Atau sekarang bisa ia sebut sebagai mantan kekasih. Merasa bodoh karena mengkhianati wanita yang ia sayang tanpa berpikir panjang.
Minho menghela nafas berat, ia meraba ranjang dimana terkadang kekasihnya menangis sebab rindu rumahnya tapi tak berani untuk pulang. Tetapi pada akhirnya wanita itu pergi meninggalkannya, mungkin sekalian untuk melepaskan rindunya. Hanya saja ia tak yakin Yeji masih mau menerimanya setelah pengkhinatan tanpa disengaja yang ia lakukan.
Dia bahkan masih memiliki tanggung jawab untuk anak yang ada di kandungan sepupunya. Meski entah bagaimana akhirnya nanti setelah ia menceritakan semuanya pada keluarga mereka.
Rasa sedihnya yang terpancar dapat di lihat oleh lelaki yang mengintipnya dari luar kamar. Seharusnya ia senang karena Minho akan bertanggung jawab untuknya, dan bahkan telah mengakhiri hubungannya dengan kekasihnya. Tapi, Felix tetap tak bisa melihat sepupunya itu terlihat bersedih.
Felix menghela nafas sebelum pergi menuju kamarnya. Ia mengambil tas yang ia rasa cukup untuk menampung sedikit barang-barangnya. Lebih baik ia pergi daripada meninggalkan luka tak kasat mata untuk seorang yang masih sangat ia cintai.
Dengan gerakan seperlahan mungkin, ia keluar dari kamarnya. Dan beruntung ia tak melihat Minho dimanapun. Mungkin lelaki itu telah menghabiskan malam dengan mengerjakan setumpuk pekerjaan dari tempatnya magang seperti malam sebelumnya.
Setelah berhasil keluar dari rumah, Felix memanggil taksi dan segera masuk ke dalamnya. Ia memandangi tangan bekas ia mencoba membunuh dirinya sendiri. Mengingat lembutnya Minho yang mencoba meyakinkannya untuk bahagia bersamanya. Tapi nyatanya, ia sama sekali tak memiliki kesempatan itu.
Sepanjang perjalanan tanpa arah tersebut, Felix memutuskan untuk menuju rumah tempat sahabatnya tinggal. Meski ia tidak tau banyak tentang kejadian yang di alami sahabatnya, tapi ia merindukan Jisung. Felix tak berniat berbicara langsung atau sekedar meminta maaf, ia tau maafnya bahkan tak berguna meski pintu maaf dari Jisung untuknya akan selalu ada. Ia hanya rindu melihat wajah Jisung, Jisung yang pasti akan menangis jika mengetahui dia ingin mengakhiri hidupnya.
Setibanya di sana, Felix memandangi rumah Jisung. Menunggu sesaat mungkin tidak buruk, berharap sahabatnya itu keluar dari rumahnya untuk sesaat. Ya, walau ia tak akan berharap lebih lama.
Namun, tak berapa lama kemudian, ia melihat cahaya di belakang punggungnya. Sebuah mobil berhenti di dekatnya.
"Felix?" Ia mengenali suara itu, suara sang sahabat yang mungkin berjalan kearahnya. Tapi ia terlalu malu untuk sekedar menatap wajah Jisung. Jadi ia mengabaikan panggilan tersebut dan memutuskan kembali melangkah menuju taksi yang sengaja ia minta menunggu.
Greb!
Langkah kakinya terhenti, ditahan oleh sebuah tangan yang menggenggam pergelangan tangannya. Dengan segera Jisung berpindah ke hadapannya. Akibatnya Felix segera menunduk, untuk menghindari tatapan sahabatnya itu.
"Lo mau kemana, Lix?" Felix masih tak tau akan mengatakan apa. Meski ada keinginan memeluk Jisung, ia tak mungkin bisa menjadi tak tau diri lagi dan egois dengan keinginannya.
"Tangan lo kenapa Lix? Dan kenapa lo disini? Kenapa bukan sama kak Changbin? Ada apa sama lo, Lix?" Rasanya begitu menikam saat Jisung mengatakan hal yang seharusnya tak diucapkan dengan begitu ringan. Seolah tak berarti apapun pengkhianatan yang ia lakukan.
Jisung masih menggenggam pergelangan tangan Felix. Ia menghela nafas berat, karena mungkin sulit untuk mendapatkan jawaban jika ia terus memaksa.
"Sorry gue ngehalangin langkah lo. Gue cuma ngerasa lo sedang gak baik-baik aja, Lix." Felix mengangkat wajahnya, tak percaya dengan apa yang ia dengar barusan. Jisung yang minta maaf padanya, dan bahkan mengetahui tentangnya.
"Ayo masuk, kita bicara di dalam Lix. Muka lo pucet, biar sekalian istirahat aja." Entah berapa banyak Jisung mengutuknya lewat kebaikan yang tak pernah ia harapkan sebelumnya. Felix akhirnya merendahkan tubuhnya untuk memohon maaf pada sahabatnya, tapi Jisung tak membiarkan hal itu. Ia lekas menangkap tubuh Felix dan membawanya untuk kembali berdiri.
"Kenapa Ji? Lo bisa ngusir gue atau bahkan ngebunuh gue sekarang. Kenapa lo kayak gini?" Ucap Felix di sela isakan yang tepat berada di samping telinga Jisung.
"Karena lo disini. Karena lo sahabat gue. Seberapa inginnya gue benci lo, gue hanya dibayangin saat kita bersama, Lix." Dan pada akhirnya egois Felix kembali, ia memeluk erat tubuh sahabatnya itu. Menumpahkan sesal dan rasa bersalahnya serta syukurnya karena ia masih memiliki Jisung.
Hyunjin yang menyaksikan dua bersahabat itu dari dalam mobilnya saling berpelukan, hanya diam dan menghela nafas berat.
"Semakin lo terlihat kuat, semakin lo tampak hancur dimata gue, Han Jisung. Dan gue semakin ingin menjadi obat buat semua rasa sakit lo." Gumam Hyunjin sembari mengusap matanya yang berair.
✍🏻 To be continue.
Note :
Hallo, ada yang kangen story ini gak? Atau kangen aku gitu .g 👀