Assalamualaikum...
.
.
.
Alhamdulillah, setelah berhari-hari nyari mood sama ide buat nulis, akhirnya nemu juga wkwkwk.
Nungguin yaaak wkkw
Jangan baper deh๐ถ
Dahlah
Setor vote dulu yuk
****
HASAN masih ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apalagi, ketika Alka dengan gamblang mengatakan, jika Citra adalah wanita ular. Meskipun Hasan tak ingin ambil pusing dengan ucapan ambigu Alka, tapi Hasan tetap penasaran.
Hasan membawa Citra ke sebuah taman yang cukup ramai pengunjung. Hasan duduk di kursi yang terdapat pohon besar di sana.
"Jelasin sama gue," ucap Hasan, serius.
"Lo masih ngga percaya sama gue, San?" Hasan menggeleng pelan. "Gue percaya. Buat gue lebih percaya dengan penjelasan yang sebenarnya dari lo."
Citra terdiam, kemudian setelahnya ia mengangguk, dan menceritakan segalanya dari awal.
Flashback On
Alka berjalan menghampiri Citra yang tengah memilih buku. Ia berdiri tepat di hadapannya.
"Sedalam apapun lo nyembunyiin bangkai, tetep bakal ke cium baunya."
Citra terkejut, ia langsung mundur ke belakang. "Ngapain lo di sini Alka? Mau belajar atau gimana?" tanyanya, ceria.
"Gak usah so gak tahu, Cit. Gue tau, lo suka kan sama Hasan,"
Citra tertawa, menggelengkan kepalanya pelan. Ia beralih memeluk bukunya.
"Lo ngomong apa sih, Kaa. Kalimat lo ambigu."
Alka satu langkah maju mendekati Citra, ia menyandarkan satu tangannya di tembok.
"Lo tau? Hasan mau di jodohin sama pacar gue."
Citra terdiam beberapa detik.
Kehilangan itu udah kaya hal biasa, Cit.
"Ya-yaa terus? Urusannya sama gue apa?" Citra berusaha menormalkan raut wajahnya. Agar Alka tidak semakin curiga terhadapnya.
Alka memiringkan sudut bibirnya, "lo itu udah kaya tisu, Cit. Di ambil lalu di buang. Perjuangkan hak lo, dan gue bakal perjuangin hak gue."
Citra di buat tak mengerti dengan ucapan Alka. Hak? Dimana hak Citra pada Hasan. Dia hanya pacar, bukan calon istri.
"Gak usah bawa-bawa gue. Urus aja hubungan lo sama si Nenek Sihir itu." Citra berniat untuk pergi, tapi Alka mencekal tangannya. Mengembalikan tubuhnya ke posisi awal.
"Perjodohan ini, Hasan yang rencanain, Cit. Biar dia bisa balas dendam sama gue dan Rindu."
Citra membelalakan matanya sempurna. Menghempaskan tangan Alka kasar.
"Jangan salahin Hasan, Alka. Setiap ada masalah, selalu Hasan yang di salahin. Hasan itu kaya kambing hitam!" tunjuknya di depan wajah Alka. "Dia selalu di jadikan kambing hitam atas masalah yang menimpa orang lain. Jangan menyalah artikan diamnya dia. Dia diam karena ada sebabnya. Dan lo gak berhak bilang apa-apa tentang dia."
Alka tertawa sumbang, mengejek Citra dengan tawanya yang begitu tak di sukai Citra. Citra mendelik kesal, benar kata Hasan, jika Alka dan Rindu memang sama saja.
"Udahlah, gak usah so alim kaya si Hasan. Intinya, lo mau kerjasama, sama gue gak?" Citra diam, menunggu Alka kembali berbicara. "Hasan tetep buat lo, dan Rindu tetep sama gue."
"Basi lo, Alka. Kalo Rindu bukan jodoh lo, buat apa lo maksain diri?"
"Karena gue cinta sama dia."
"Sayangnya lo selalu di bodohi sama perasaan lo sendiri."
"Gue gak butuh pendapat lo, Citra. Gak usah gengsian jadi orang."
"Gak, gue gak mau ngikutin ide konyol lo."
"Ngapain lo sama si Alka, Citra."
Hasan ...
Flashback off
"Yang di omongin sama Alka itu bener, Cit," ungkap Hasan sendu.
Citra tak menggubris ucapan Hasan. Ia tetap menatap Hasan lekat, sudut matanya perlahan mulai mengeluarkan air mata.
"Kalo lo mau marah, marah aja Cit. Kalo lo mau benci sama gue, benci gue Cit." Hasan menggenggam tangan Citra erat. "Satu hal yang perlu lo tau, gue gak akan pernah ninggalin lo."
"Kenapa lo gak bilang ini dari dulu, San. Gue bakal ngalah, kalo emang itu di perlukan." ucapnya, menunduk.
"Lo gak perlu ngalah, lo harus jadi pemenangnya." tangan Hasan tergerak untuk menyatukan jari tangannya dengan tangan Citra.
"TapiโRindu? Mama, Papa kamu?"
Hasan diam, sembari menunduk. Jeda tiga detik, Hasan mendongak.
"Ikut gue," Citra menggeleng cepat, menahan tangan Hasan. "Kemana, San?"
"Ketemu sama orang tua gue."
"Ta-tapi, nanti,"
"Gak ada tapi-tapian. Buat orang tua gue percaya, kalo lo yang terbaik buat gue."
"Hasan gue takut Mama sama Papa lo gak suka dan marah sama gue."
Hasan tersenyum tipis, mengacak rambut Citra gemas. "Orang tua gue gak sejahat itu, mereka gak sekejam para mertua yang ada di televisi."
Citra kembali mencegah Hasan yang ingin menyeretnya pergi. "Nanti Nana gimana, San? Dia pasti kecewa sama gue. Secara gak langsung gue udah rebut perhatian lo dari dia."
"Lo harus pinter, gak usah ngomongin itu sama dia. Ngerti?" Citra menggaruk kepalanya, dan mengangguk ragu.
****
"Neng Nana kenapa masih di sekolah?" tanya Pak Yayan menyapa. Sudah satu jam Nana menunggu Kakak, tapi Kakak belum juga terlihat.
"Pak Yayan liat Kakak Nana gak?"
Pak Yayan berpikir sejenak, ia menggelengkan kepalanya.
"Engga, Neng. Dari tadi Bapak di belakang lagi bersih-bersih."
Nana manggut-manggut, kedua pipinya ia kembang kempiskan.
"Bapak telfon Ibu aja atuh yah? Biar supir Neng Nana jemput ke sini," kedua mata Nana memicing menatap Pak Yayan.
"Ibu? Bapak punya kontak Mama Nana? Kok bisa?"
Pak Yayan meringis, menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal
"Itu, Neng, emmm..."
"Bapak nyolong kontak Mama Nana ya! Ngaku, ajak Pak."
"Engga Neng, astagfirullah... Itu maksud sayaโ"
"Nana oh Nana, kenapa engkau tak pulang."
"Macam mana dia tak pulang, tidak ada yang menjemput."
Nana seperti pernah mendengar nada dari lagu itu. Tapi Nana lupa apa.
Juna mengerlingkan kedua alisnya. Kedua orang yang gilanya selalu tak terkendali, sudah muncul tiba-tiba di depan Nana. Sambil nyanyi khas upin-ipin.
"Dik, Nana, kenapa belum pulang?"
"Kan, kata aing juga gak ada yang menjemput, Juned." Sahut Ristand kesal.
"Ih, kan aing cuma basa-basi. Lo gak usah malu-maluin deh, Rus,"
Nana memperhatikan adu mulut kedua Kakak kelasnya. Tatapan Nana beralih pada Juna. Ia melihat Juna dari atas sampai bawah. Nana teringat dengan ucapan Kakak, jika Kak Juna mempunyai penyakit menular. Nana mundur menjauh, mengusap pundaknya gusar.
"Lah, kenapa lo mundur Na?" kata Juna, bingung.
"Hehe, Kakak kan belum sembuh sakitnya."
Rustand tercengang, ia kemudian tertawa keras, sampai terpingkal-pingkal. Juna menekukkan wajahnya, mendelikan matanya pada Nana yang terlihat begitu polos, sampai percaya dengan Kakak tersayangnya yang bernama Hasanudin itu.
"Cepat sembuh ya, Kakak," ledek Ristand, di sertai dengan tawa.
Mobil hitam berhenti tepat di depan mereka. Kaca mobil terbuka, menampilkam sosok Mamanya dan-Kak Rindu?
"Masyaa Allah, ada calon ibu mertua yang baiknya dunia dan akhirat." Juna membungkuk sopan, sembari menangkupkan telapak tangannya.
"Tante, Tante kenapa bisa sama Rindu?" tanya Ristand langsung pada inti.
"Na, masuk sayang," Nana mengangguk, dan masuk di pintu bagian belakang. Rindu hanya menekukkan wajahnya, ketika Ristand dan Juna terus membisikkan ucapan yang tak enak di dengar, suara mereka keras hyung.
Mobil hitam itu langsung melaju, meninggakan kedua orang itu tanpa ada basa-basi terlebih dahulu. Seperti yang sering mereka lakukan pada orang lain.
"Kak Rindu ngapain se-mobil sama Mama Nana? Gak ada yang jemput yah, Kak, sama kayak Nana tadi gak ada yang jemput, terus ada Mama." Rindu memutar bola matanya malas, ia masih bersedekap, tanpa mau menjawab ucapan Nana.
"Mama yang ajak Rindu buat satu mobil. Kak Rindu mau main di Rumah, sayang." Nana membulatkan mulutnya, menggut-manggut mengerti.
Nana memiringkan kepalanya, menatap Rindu yang tengah mendengarkan musik menggunakan earphone. Rindu membuka mata, ia terbelalak saat melihat Nana yang tengah menatapnya.
"Mama, Kak Rindu kayaknya gak mau di ajak main sama Mama."
****
Tatapan yang di lemparkan Rindu kepada Citra, begitu sinis. Citra pun tak kalah sinis pada Rindu. Citra ingin protes pada Hasan, kenapa Hasan membawanya ke sini, di saat ada musuhnya juga di sini. Bodohnya, Citra malah mau ikut bersama Hasan.
"Jadi, Citra adik kelasnya Hasan yah?" Citra tersenyum ramah, dan mengangguk canggung.
Hasan datang dengan pakaian santai, bersama dengan Nana yang berlari menyusul langkahnya.
"Bukan, Ma. Citra itu pacar Hasan."
"What?!!"
"Apa?!"
"Ha?!!"
Citra ternganga, ia memalingkan wajah ke arah lain. Rasanya ia ingin tenggelam saja ke dasar lautan.
"Gila! Anjir gila!" teriak Rindu tak percaya.
"Apa Mama masih mau jodohin Hasan sama dia," Hasan menunjuk Rindu.
"Kakak pacaran sama Kak Citra? Nana setuju banget Kak!" pekik Nana senang, berbeda dengan Rindu dan Lisa yang masih tak percaya.
Lisa mengangkat satu tangannya. Kepalanya tiba-tiba berdenyut nyeri.
"Hasan, kamu gak bercanda kan? Selama ini Mama gak pernah tau kalo kamu pacaran,"
Rindu geleng-geleng kepala pada Citra. "Gila sih, skandal mantan ketos sama bendaharanya yang di gosipin ada affair emang bener adanya."
"Bungkam mulut lo. Lo gak tau apa-apa." pungkas Hasan dingin.
"Aku cuma mau sama Citra, Ma. Aku gak akan pernah lepasin Citra gitu aja, hanya karena di jodohin sama dia."
"Woi! Gue juga gak mau di jodohin sama lo!" teriak Rindu tak terima. Hasan hanya fokus menunggu jawaban Mama, dan tak menggubris ucapan Rindu.
"Pacaran lama belum tentu bakal sampai di pelaminan Hasan."
"Hasan bakal merjuangin apa yang menurut Hasan baik." Hasan menggenggam tangan Citra, dan menunjukannya pada Mama. "Citra yang tepat, gak mungkin Hasan sia-siakan. Kasih Hasan kesempatan buat ngasih bukti sama, Mama."
"Tapi, Papa kamu?" Lisa menggeleng. "Its okay, Itu hak dan keputusan kamu. Bicarakan ini sama Papa kamu, dia yang bakal memutuskan. Apa perjodohan ini bakal di lanjut atau engga."
"Gak usah di lanjut, Tan. Rindu bahagia banget kalo perjodohan ini di batalkan."
Malam harinya, keluarga bahagia itu tengah berkumpul di Ruang tengah. Nana bisa melihat jika Kakak tengah risau untuk memulai percakapan dengan Papa.
"Pa, Nana boleh bicara gak?"
Eshan terkekeh kecil, "kamu bukannya lagi ngomong, Na?"
"Bukan itu maksud Nana, Pa," Eshan tertawa lagi, melihat raut wajah Nana yang tertekuk lucu.
"Iya, kamu mau ngomong apa?"
Nana menatap Kakaknya dulu, Kakak juga tengah memperhatikan Nana. Nana menggigit bibir bawahnya gugup.
"Nana boleh gak, minta sesuatu sama Papa."
"Minta?" Nana mengangguk cepat. Eshan mengerutkan keningnya, dan menatap Lisa penuh tanya.
"Kamu kekurangan sesuatu? Uang jajan? Kan udah Papa kasih," Nana menggeleng lagi. "Terus apa?"
"I-itu, Kakakโ"
"Ngapain lo bawa-bawa gue." sentak Hasan galak.
"Gak jadi deh," ujar Nana, sembari menunduk.
"Kok gak jadi? Bilang aja, kenapa?" ucap Eshan, melirik Nana dan Hasan bergantian.
"Emmm... Papa sayang gak sama Kakak?"
Eshan menyatukan kedua alisnya, ia bingung dengan tingkah dan pertanyaan dari Nana, jelas Nana tahu apa jawabannya.
"Orang tua mana yang gak sayang sama anaknya. Papa sayang lah,"
"Emmm... Kalo Papa sayang sama Kakak, pasti Papa pengen Kakak bahagia, kan," Eshan mengangguk mengiyakan.
"Tentu,"
Nana menatap ke arah Kakak yang sedang waspada pada Nana. Sangat kental raut kepanikan di wajahnya.
"Kalo Kakak bahagia, apa Papa bakal bahagia?"
Eshan melirik Hasan lagi, kemudian menatap Nana. "Ya, kebahagiaan Kakak, kebahagian Papa juga."
Nana tersenyum senang, ia berdiri, dan beralih duduk di samping Papanya.
"Kalo gitu, gak pa-pa kan, kalo Kakak gak mau di jodohin sama Kak Rindu. Kakak nggak bahagia, berarti Papa juga gak akan bahagia kan, kalo Kakak gak bahagia?"
Hasan membelalakkan matanya sempurna, benar dugaannya. Jika adiknya akan mengatakan suatu hal yang ingin Hasan katakan sedari tadi.
"I-itu Pa, Nana bercanda," elak Hasan takut.
Nana menggeleng tegas, ia memegang tangan Papanya dan memberikan tatapan memohon.
"Nana udah besar, Pa. Nana bukan anak kecil yang gak ngerti apa-apa. Kakak pandai menutupi kesedihannya dari kita. Tapi..." Nana menatap Hasan sendu, "Nana adiknya Kakak. Nana sayang sama Kakak, Nana tau kalo Kakak suka sedih sendiri. Nana gak bisa liat Kakak sedih, dan ngerasa terbebani sama perjodohan ini. Nana mau Kakak bahagia dengan pilihan Kakak sendiri."
Hati Hasan mulai menghangat, sebegitu pedulinya Nana pada Hasan. Dia benar-benar membuktikan, bahwa kebahagian Hasan adalah kebahagiaannya juga. Dan kesedihan Hasan adalah hal yang paling Nana benci. Nana bertanggung jawab untuk membuat Kakak kembali bahagia.
"Benar, Hasan?" tanya Eshan lugas.
Hasan melipat bibirnya, ia mengangguk penuh keyakinan pada Papanya. Nana tersenyum mengembang, ia sangat bahagia melihat Kakak membenarkan penuturannya.
"Apa harus di jelasin sama Nana dulu, baru kamu bilang iya?" Hasan menggeleng cepat.
"Engga, Pa. Tadi Hasan mau ngomong, tapi Hasna mendahului."
"Papa bakal bicara sama Pak Rendra, Papa tahu kamu gak bahagia Hasan. Kamu harus berterimakasih sama adik kamu," Eshan mengecup kening Nana, lalu merangkulnya.
Hasan tersenyum.
"Jangan, Pa, adik sama kakak itu emang harus saling membantu. Kita kan, satu team. Iya kan, Kak?"
Hasan tersenyum lagi, mengangguk membenarkan.
"Besok libur, hari senin kalian mulai ujian. Fokus belajar, sekarang kalian tidur."
Keduanya mengangguk serempak, Nana memeluk Papa dan Mamanya bergantian. Nana mengusap penuh sayang perut Mama.
"Jadi adik yang baik, jangan nakal ya, adik Nana."
Setelah sampai di atas, Hasan menghampiri Nana. Mengusap kepalanya pelan.
"Makasih, lo udah bantu ngurangin masalah gue. Gue beruntung punya adik kayak lo,"
"Nana lebih beruntung punya Kakak kayak Kakak. Kakak udah banyak ngasih Nana pelajaran dalam bersikap, dan berpikir. Nana seneng, Kakak gak berubah lagi sama Nana," balasnya, sembari memeluk Hasan.
Hasan membalas pelukan Nana, ia menaruh dagunya di atas kepala adiknya.
"Lo cukup jadi adik yang baik dan penurut, lo harus jadi anak yang rendah hati sama semua orang. Gue gak akan janji buat gak berubah,"
Mendengar itu, Nana langsung mengurai pelukan dari Kakaknya.
"Kenapa Kakak gak mau ngasih janji?"
"Gue takut gak bisa menepati. Keadaan bisa berubah dalam sekejap Na,"
"Nana gak akan biarin itu terjadi!" ucapnya yakin.
"Lo gak akan bisa nahan waktu,"
"Engga, Kak. Nana bakal terus berusaha, agar semuanya gak berubah."
"Apa lo mau punya Kakak yang suka bikin lo celaka?" hati Nana terasa sesak.
"Kata siapa! Siapa yang bilang kalo Kakak suka bikin Nana celaka?! Engga! Itu gak pernah ada di benak Nana."
"Lo bakal tau nanti, Na. Alasan kenapa gue gak pernah bisa buat jagain lo dari dekat, alasan kenapa gue gak mau deket-deket sama lo." Hasan tersenyum kecut. "Selama gue ada di sini, gue bakal terus jagain lo dari ke jauhan. Akan ada masanya, takdir kembali membuat kita terpisah lagi."
Nana mencibik ingin menangis.
"Gak boleh, Kakak gak boleh jauh lagi sama Nana. Nana gak akan biarin itu. Nana sayang sama Kakak, Nana bakal lakuin apa aja buat Kakak." Nana kembali memeluk Kakak. "Nana suka ngira kalo Kakak itu jahat, benci sama Nana, gak sayang sama Nana. Nana bilang itu gak sengaja. Hati Nana tetep yakin, kalo Kakak sayang sama Nana. Hiks... Jangan jauh lagi sama Nana. Kakak gak kasihan sama Nana?"
'Tuhan, sesakit ini menahan asa yang tersimpan di dalam dada. Aku ingin lebih dekat, namun rasa takut itu masih tersimpan rapat. Kenyataan sudah memberi bukti, jika dia baik-baik saja saat di dekatku. Apakah yang terjadi dulu hanya kebetulan? Tidak, di dunia ini, tidak ada yang namanya kebetulan. Semuanya sudah di rencanakan oleh-Mu. Tuhan ... Terimakasih, karena sudah memberikan aku keberanian untuk sekadar memeluknya seperti saat ini. Jaga dia, Tuhan... Jika aku tidak bisa menjaganya dari dekat.'
"Tidur, Na, udah malem," kata Hasan, mengusap pelan airmata Nana.
Nana menggeleng, "Kakak harus janji sama Nana, Kakak gak akan jauhin Nana lagi kan?"
Hasan tersenyum tipis, lalu mengangguk singkat.
"Semoga takdir tetap berpihak untuk lo ataupun gue."
"Nana sayang Kakak."
****
Gaess gimana sama part ini?
Sedih kalo inget Hasan๐ฅ
Team Hasan bahagia mana nih? Selain Nana๐๐คญ
Dahlah
JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK
REKOMENDASIIN CERITA INI SAMA TEMEN-TEMEN KALIAN YA.
06-April-2021