Rekomendasi lagu......
|Belum siap kehilangan~ Stevan Pasaribu|
"Mau kamu secinta apapun sama aku, kalau takdirnya kita pisah. Aku dan kamu bisa apa?"
~Adeva Putri Embun
o0o
Deva bergegas masuk ke dalam rumahnya ketika melihat mobil terparkir di depan rumahnya. Ia yakin itu mobil teman Kirana, Mamanya sudah pulang ternyata. Deva masuk ke dalam rumah.
Saat di ruang tamu, ia melihat Mamanya bersama teman kerjanya. Tante Janna, kalau Deva tidak salah. "Ma? Udah pulang," ucap Deva pelan.
Deva mengerenyit ketik Mamanya nampak tertunduk dengan handphone di telinganya. "Ma?" Panggil Deva mendekati Kirana. Duduk di samping wanita itu dan melayangkan tatapan bertanya apa kepada Tante Janna.
Tante Janna nampak menghela napas sambil menggeleng kecil. "Mama kenapa? Dari mana aja?" Tanah Deva pelan sambil memeluk Kirana dan mengusap punggung Mamanya itu.
"Papa kamu Deva," lirih Kirana pelan. Isak tangisnya mulai terdengar saat mengucapkan sepatah kata.
"Papa kenapa ma?"
"Dia di kantor polisi, tadi polisi nelpon. Mama—" ucapan Kirana terhenti karena isak tangis Kirana makin kuat dan memeluk Deva erat sekali.
Deva menahan nafasnya. Hal yang ia paling takutkan akhirnya terjadi. Hal yang ia tidak ingin kan dan menyangkal jika semua ini tidak benar terjadi. Deva harus apa. Ini sungguh kenyataan yang menjengkelkan, ia harus bagaimana menghadapi dunia.
"Papa kamu pembunuh Deva!" Suara mamanya terdengar putus asa dengan tangis yang makin kuat. Oh shit, Deva sudah janji tidak ingin menangis saat hari seperti ini datang. Tapi melihat Mamanya yang down Deva malah ikut menangis.
"Istirahat aja dulu kalian, kalau ada apa-apa telpon Tante ya. Tante pulang dulu," ucap Janna pamit, sempat mengusap punggung Kirana dan rambut Deva sebelumnya.
"Makasih ya Tante," lirih Deva pelan. Ia tersenyum kecil, tapi ketahuilah Deva terlihat tersenyum pedih saat ini juga.
"Ma," lirih Deva pelan. "Mama istirahat aja yuk, besok kita ke kantor polisi. Kalau sekarang udah malam Ma," ucap Deva pelan.
"Gimana mau istirahat. Mama pusing, pantasan papa kamu itu kabur. Ternyata dia udah jadi buronan polisi. Kurang ajar!"
Deva menghela nafas, wajar mamanya semarah ini. Deva juga ingin rasanya marah. Tapi ia tak tau harus melupakannya ke siapa. Bagaimana nanti jika mamanya tau ternyata korban adalah keluar Aksa, padahal Kirana sangat mendukung hubungan Deva dengan Aksa.
"Kita harus gimana? Mama ngga tau lagi harus apa. Besok rumah ini bakalan ikut disita bank. Mama belum ada pinjaman, minjam ke siapa segitu banyak tanpa jaminan."
Deva mengangguk mengerti. "Pasti ada jalannya ma, kita istirahat ya. Mama kelihatan capek," ucap Deva prihatin melihat wajah dan kantung mata menghitam Kirana.
"Tidur sama mama ya, mama mau dipeluk," lirih Kirana kembali memeluk Deva. Deva tentu saja mau, ini yang ia cita-citakan dari dulu sebenarnya.
"Ayo ma," ajak Deva mengiring Kirana ke kamarnya.
🎱🎱🎱🎱🎱
Tengah malam pukul 2 pagi, Deva terbangun. Melepas pelukan Kirana dari pinggangnya lalu mengambil handphone yang ia charger semalam. Deva keluar kamar mamanya, pergi ke dekat jendela lalu duduk di sana.
Deva kembali menangis, di hadapan Kirana tadi ia sedikit menangis lebih banyak menenangkan sang Mama. Tapi kali ini ia ingin terisak, menyalurkan perasaan sedih dan kecewanya. Tidak hanya pada sang papa, tapi juga kepada Tuhan.
Deva selalu bertanya mengapa Tuhan begitu kejam padanya, apa salahnya sebenarnya. Tangis Deva tergugu di tengah sunyi nya malam. Tangannya membuka room handphone dan mencoba menelpon Aksa.
Dua kali panggilan Deva menghela napas, ia tidak yakin akan di jawab. Oke baiklah, memang tidak waktunya untuk bicara dengan Aksa. Deva hampir saja memasukkan handphonenya, tapi saat dering di layar utamanya dengan nama Aksa di sana Deva kembali menariknya.
"Halo?" Suara Aksa mengalun di heningnya rumah Deva.
Deva jelas sekali tau jika suara cowok itu tidak baru bangun tidur.
Dari suaranya, Aksa mungkin sama dengan Deva. Belom tidur atau tidak bisa tertidur sedari tadi. "Aksa," lirih Deva pelan memanggil cowok itu.
"Kejadian juga kan?" Kekeh Deva pelan sambil menahan isak tangisnya.
"Va?" Lirih Aksa pelan memanggil cewe itu. "Bukan keinginan gua, bukan juga keinginan lo. Tapi emang udah semestinya."
Deva menghapus kasar air matanya yang keluar deras saat mendengar suara Aksa. "Iya, gua ngerti. Sangat ngerti Aksa, yang jadi pertanyaan gua kenapa harus lo. Dan kenapa harus gua?"
Aksa tidak bicara lagi, begitupun dengan Deva yang nangis dari tadi. "Deva, bukan salah kita. Bukan salah takdir juga, gua juga bingung salah siapa."
"Kadang gue mikir, kenapa gua bisa ketemu sama cewe sebaik lo. Akhirnya gua lihat ke diri gua sendiri, ya mungkin gua emng pantas sama lo."
"Tapi kenapa saat ini, semua itu hilang? Kenapa harus ke hubungan kita? Gua ngga pernah bisa tidur nyenyak akhir-akhir ini, banyak hal yang gua pikirkan."
"Tentang lo, tentang orangtua kita. Deva, maafin gua ya."
Deva mengangguk paham, membenarkan apa yang dikatakan Aksa tadi. "gua ngerti Aksa, gua paham."
Kembali hening, suara hanya suara helaan nafas dari keduanya saja yang terdengar sedari tadi. "Besok sidang papa gua kan? Padahal, lusa hari kelulusan." Deva terkekeh kecil sambil menangis mengucapkannya.
"Maafin gua Va, salah gua," lirih Aksa sekali lagi.
"Gua ngga nyalahin lo Aksa. Apapun yang terjadi di hubungan kita saat ini, ngga ada salahnya sama lo."
Kembali hening untuk beberapa saat. Tidak ada yang mau memulai pembicaraan. Semuanya kembali dalam mode hening.
"Aksa, sesuai yang gua bilang di halte kemarin. Saat papa gua ketangkap, kita udah selesai kan? Kita akhiri ini ya, ini terlalu menyakitkan. Bagi gua, lo dan orang-orang di sekitar kita. Gua ngga kebayang, gimana perasaan bunda lihat kita masih lanjut."
"Adik lo Anya juga bakalan mikir, kenapa kakaknya bisa jahat kaya gini. Mempertahankan hubungan sama anak pembunuh ayahnya sendiri."
Aksa menghela nafas di balik telpon. Lalu sekejap nya Deva mendengar suara bantingan barang dengan suara teriakan Aksa. Deva memejamkan matanya, ia tau Aksa mungkin tidak di rumah. Bisa jadi cowok itu di luar. Tapi mendengar kemarahan Aksa di sana, Deva sedikit takut.
Laku suara panggilan terputus mengakhiri panggilan mereka dan— mungkin hubungan mereka malam ini. Deva tertawa miris, baru saja ia ingin bangkit tapi kenapa selalu aja ada penghalangnya. Kenapa selalu saja alam tidak merestuinya.
Deva membuka layar teleponnya, mencari kontak Ayu lalu menelpon cewe itu. Deva tidak yakin akan diangkat, buktinya panggilan kedua Ayu belum mengangkat juga. Deva mencoba satu kali lagi.
Kali ini Ayu bener mengangkatnya.
"Deva? Lo kalau gabut ngga gini juga kali," suara serak bercampur nada kesal dari Ayu terdengar dari sana.
Deva tertunduk, suara tangisnya tiba-tiba keluar dari mulutnya. Baru tadi sore ia curhat pada Ayu, tapi malam itu semuanya terjadi sendirinya. Deva meringis saat suara Ayu yang tadi kesel berubah khawatir di ujung sana.
"Deva, you oke?"
Deva menggeleng. "Ngga Yu. Semuanya udah terjadi. Dan gua ngga baik-baik aja."
"Apa yang terjadi Deva? Gua ke rumah lu ya sekarang."
"Ngga usah Yu jangan. Papa gua udah ketangkap. Benar, dia pembunuh papanya Aksa Yu, hiks."
"Dev..."
Deva mengabaikan panggilan Ayu ia menangis kuat. "Bagaimana nanti Yu, teman-teman natap gua. Keluarga Aksa pasti marah banget ke gua. Kenapa gua Yu."
"Va? Gua harus apa? Gua juga bingung.
Deva menggeleng. "Cukup dengerin gua nangis aja Yu," lirih Deva pelan.
🎱🎱🎱🎱
Pagi ini Deva bangun dengan mata pandanya. Mungkin begitu juga dengan Kirana, mata panda yang ia bawa pulang semalam dari Bandung, malah bertambah karena menangis. Deva duduk di mobil Tante Jenna. Beliau dengan baiknya mendampingi Mamanya saat ini.
"Jangan emosi, ini kantor polisi. Nnati bicara baik-baik. Pastian ada alasan atas semua kejadian," ucapan Tante Jenna benar. Deva memang agak sedikit emosi saat ini. Ingin rasanya menampar Papanya, berteriak kenapa ia terlahir dari darah seorang biadap seperti itu.
"Sidang akan terlaksana, dan ya papa kamu tidak membawa pengacara. Tidak membawa pembelaan. Bahkan saya dengar, dia mengaku salah tanpa ada paksaan dari pihak polisi. Mungkin besok lusa, sidang hukuman papa kamu."
Tante Jenna berbicara di kemudi, mungkin kata-katanya memang tertuju pada Deva. Tapi kata-kata itu juga untuk mamanya yang sedari tadi diam. Nampak sekali stress di mata Mamanya. Matanya bahkan masih berkaca-kaca.
"Gua kira, dia Hendra meninggal karena serangan jantung. Gua waktu itu curiga kenapa papa Deva ngga pergi ke pemakaman beliau. Gua ngga tau kalau Hendra ternyata meninggal karena dibunuh."
"Setelah kejadian itu, anak istri Hendra menghilang. Dan parahnya, Deva pacaran sama anaknya Hendra," ucap mamanya kepada Tante Jenna.
Deva kira semalam, mamanya tidak tau siapa korban dari papanya. Ternyata mamanya tau. "Lagi-lagi gua buat anak gua sakit hati Jen," lirih mamanya menatap Deva.
"Deva baik-baik aja kok Ma. Mungkin bukan takdir Deva sama Aksa," ucap Deva pelan.
"Nyesel Jen. Dari dulu lu selalu bilang cerain Andres. Tapi gua masih bertahan, mau dia selingkuh. Tapi gua masih bertahan. Andai dulu gua udh cerai sama Andres, pasti sekarang ngga akan sesakit ini."
Tante Jenna mengangguk mengerti atas ucapan Kirana. "Ngga ada yang harus disesali. Semua sudah terjadi, apa boleh buat. Gua ada kok, kapan pun lo call gua, gua akan selalu ada."
Ucapan Tante Jenna adalah penutup pembicaraan mereka di atas mobil setelah mobil Tante Jenna memasuki wilayah kantor polisi. Deva menghela nafas, akhirnya terjadi juga. Kecurigaannya dan Aksa tentang papanya memang terjadi.
Deva memasuki kantor polisi, menatap Tante Jenna yang mengangguk seakan memberi kode jika semua akan baik-baik saja jika Deva masuk menemui papanya. Nampak mamanya bicara dengan salah satu polisi disana, cukup serius. Deva diam berdiri di samping Tante Jenna.
Deva menatap televisi yang menyala di atas sudut kantor polisi. Deva menghela nafas pedih, lihat lah wajah papanya terpampang jelas disana. Belum lagi wajah mamanya yang ikut terseret karena istri dari seorang pembunuh.
Dev terus menatap televisi yang menampilkan berita tentang papanya. Lalu setelahnya Deva menunduk, ia ingin menangis. Ia takut kini menghadapi dunia, bagaimana pandangan orang setelah ini.
Deva merasakan bahunya di usap. "I'ts okay. Semua akan baik-baik aja. Percaya sama saya. Apa yang saat ini kita rasakan sakit, maka besok akan terasa baik-baik saja."
Deva mengangguk. Ia memegang tangan Tante Jenna. "Terimakasih banyak Tan," ucap Deva lirih.
🎱🎱🎱🎱
Im really sorry gais.
Seminggu ini kesehatan mental aku down banget. Tiap malam aku ngga bisa mikir gimana lanjutin cerita ini, dokter juga bilang ngga boleh sering lihat handphone.
And ya, akhirnya AKSA terbengkalai.
Aku ragu kalian masih nunggu Aksa apa kagak. Tapi kalau masih ada yang nunggu, thanks ya sist and bro.
Aku udah mendingan, tapi ya harus diperhatikan juga. Dan ya, mungkin 2 Minggu kedepannya ngga up. Sorry gais.
Selamat menunaikan ibadah puasa ya.....